Zaid, anggap saja begitu, menemui Khalaf bin Tamim. Zaid adalah karyawan dari Khalaf, seorang pebisnis yang cukup kaya raya di daerah Mada’in Kisra. Fulan mengatakan kepada Khalaf bahwa di sebuah penginapan ada seorang yang meninggal dunia namun sama sekali tak ada kain kafan yang bisa untuk membungkusnya (karena miskin, pen.). Sebut saja Fulan.
Penasaran dengan kabar itu, Khalaf langsung mengecek langsung jenazah Fulan. Benar saja, ia melihat langsung jenazah Fulan yang tertutup kain telah terbujur. Jenazah tersebut sedang ditunggu beberapa orang yang tak lain adalah kawan-kawan Fulan. Anehnya, di atas perut jenazah terdapat batu bata.
Kepada Khalaf, beberapa orang yang ada di sana mengabarkan siapa dan bagaimana Fulan semasa hidup. Mereka menceritakan banyak hal, mulai dari masalah ibadah yang dilakukan hingga keutamaan/kelebihan yang dimiliki Fulan.
Adanya jenazah yang tak segera diurus membuat Khalaf mengambil inisiatif untuk segera mengurusnya. Ia segera menyuruh satu orang untuk membelikan beberapa keperluan jenazah sebagaimana mestinya (kain kafan dan beberapa barang lain).
Tak lupa, ia juga menyuruh satu orang untuk mencari para penggali kubur. Sedangkan Khalaf sendiri menghangatkan air untuk keperluan memandikan jenazah.
Belum juga berselang lama, tiba-tiba jenazah Fulan tersebut bangun dari tidur. Sontak, batu bata yang ada di atas perutnya pun terjatuh.
“Binasa! Celaka! Neraka!” teriak Fulan.
Kejadian ini jelas membuat orang-orang yang di sana berhamburan dan lari tunggang langgang karena merasa takut. Khalaf lantas mendekati Fulan tersebut dan memegang lengan atasnya. Sambil menggoyang-goyangkan lengan tersebut, Khalaf bertanya, “Siapa kamu dan apa yang terjadi denganmu?”
Fulan tersebut menjawab, “dahulu, semasa hidup, saya merupakan bagian dari sebuah aliran keagamaan di Kufah. Salah satu ajarannya adalah menghujat dua sahabat Nabi, Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Selain itu, juga diajarkan untuk berlepas diri dari mereka berdua.”
Karena kasihan dengan kondisi tersebut, Khalaf pun menasihatinya agar segera bertobat kepada Allah. Meminta ampun kepadaNya dan tidak mengulangi apa yang telah dilakukannya itu.
“Percuma. Tak ada gunanya lagi,” jawab Fulan. Ia melanjutkan, dirinya saat ini sudah akan dimasukkan ke dalam neraka.
Di alam sana, Fulan diberi tahu, “Kamu akan dikembalikan ke dunia dan menceritakan kepada kawan-kawanmu tentang apa yang kamu lihat di sini. Selepas itu, kamu akan mati lagi”.
Persis setelah mengatakan beberapa kalimat itu, Fulan kembali ke keadaan semula (mati).
Khalaf menunggu kain kafan yang tadi ia beli. Setelah tiba, ia pun berkata kepada orang-orang yang ada di sana bahwa ia tak berkenan mengurus (memandikan, mengkafani, mensalati, dan menguburkan) jenazah Fulan tersebut. Khalaf pulang.
Jenazah tersebut lantas diurus oleh kawan-kawan dari jenazah tersebut. Mereka ternyata bagian dari komunitas aneh tersebut. Setelah semua selesai, kawan-kawan Fulan menanyai Khalaf mengapa tak berkenan mengurus jenazah Fulan.
“Setan telah berkata-kata dengan lisan si Fulan,” jawab Khalaf tegas. (Maksudnya adalah apa yang dikatakan Fulan tentang menghujat dua sahabat Nabi sungguh seperti perkataan setan, pen.)
***
Selain tentang ketidakbolehan menghujat sabahat Nabi, satu pesan penting yang bisa diambil dari kisah di atas adalah bagaimana kita mengambil peran dalam masalah-masalah yang berhukum yang fardu kifayah.
FYI, fardu kifayah adalah status hukum dalam Islam yang mana harus ada orang yang mengerjakannya. Bila sama sekali tak ada, maka seluruh orang dinilai berdosa. Dalam kisah di atas, fardu kifayah yang dimaksud adalah mengurus jenazah.
Ada banyak sekali hal dalam kehidupan ini yang berhukum fardu kifayah, misalnya menjadi dokter, penegak hukum, politisi, menghafal Al-Qur’an dan lain sebagainya. Tak semua orang berkewajiban memiliki keahlian di bidang-bidang tersebut. Namun, jika tak ada sama sekali yang bisa, maka semua orang akan dianggap berdosa.
Walhasil, sebagai seorang muslim, kita hendaknya bisa mencermati kondisi sekitar, mana peluang yang belum ada pengisinya. Di sanalah, hendaknya kita mengisinya (bila mampu). Bukankah keberadaan (misalnya) dokter di satu desa akan bisa membantu masyarakat? Tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila tak ada dokter sama sekali di desa tersebut.
Sumber Kisah:
Al-Jauzî, Jamâluddîn Abi al-Farj bin. ’Uyûn Al-Hikâyat. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2019.
https://islami.co/kisah-islami-ketika-jenazah-terbangun-dan-menceritakan-sesuatu/
Komentar
Posting Komentar