Demokrasi Lokal ala Sulsel

Luka taro arung, Telluka taro ade’
Luka ade’, telluka taro anang
Luka taro anang, telluka taro tomaega

Batal pendapat raja, tidak batal pendapat adat/konstitusi
Batal pendapat adat/konstitusi, tidak batal pendapat wakil masyarakat
Batal pendapat wakil masyarakat, tidak batal pendapat orang banyak

Demokrasi pada dasarnya kekuasaan rakyat. Sebuah negara demokrasi memiliki konsep tentang bagaimana menjadikan kepemimpinan bukan sebagai tirani terhadap rakyat. Namun lebih jauh, demokrasi sangat tergantung pada paradigma yang dianut masyarakat. Sehingga kita bisa melihat berbagai konsep demokrasi saat ini. Mulai dari sosialisme hingga liberalisme sama sama mengklaim diri sebagai paling demokratis.

Tapi terlepas dari faktor ideologi tersebut, kepemimpinan adalah hal yang mutlak bagi setiap komunitas, tak terkecuali bagi masyarakat Bugis-makassar dimasa lalu. Pada tulisan sederhana ini dipaparkan tentang bagaimana kekuasaan raja ditujukan untuk kebaikan rakyatnya. Sehingga kekuasaan tidak menjadi tirani yang menindas rakyatnya.

Atraksi Bissu dalam sebuah acara adat
Di sebutkan pada berbagai kronik, secara umum terjadi kondisi chaos yang disebut dengan istilah sianre baleni tauwe (=orang saling memangsa laksana ikan). Terjadi pertentangan antara komunitas-komunitas adat selama puluhan atau mungkin ratusan tahun. Tidak adanya pemimpin yang mampu menyatukan semua komponen masyarakat kala itu ditambah dengan pertarungan untuk merebut sumber produksi menjadi penyebab. Kondisi itu terus berlangsung hingga kedatangan tokoh fenomenal yang disebut To Manurung.

To Manurung inilah yang kemudian diangkat menjadi pemimpin (tepatnya raja) dari beberapa komunitas adat sehingga terbentuk kerajaan. To Manurung tersebar dihampir seluruh Sulawesi Selatan. To Manurung inilah yang meletakkan dasar-dasar pemerintahan atau konstitusi kerajaan yang secara umum dikenal sebagai Ade’, Rapang, Wari, Bicara. Ade’ berarti hukum dasar, Rapang berarti yurisprudensi, Wari berarti aturan keprotokuleran, dan Bicara berarti permufakatan. Hingga terintegrasinya syariat Islam pada abad ke-17, konstitusi itu ditambahkan dengan sara’ yaitu syariat.

Ketika To Manurung diangkat sebagai raja, terjadi kontrak sosial yang mengatur hubungan antara raja sebagai penguasa dan rakyat yang diwakili oleh para matowa. Inti dari kontrak sosialnya adalah kewenangan yang diberikan pada penguasa dan kewajiban penguasa melindungi rakyatnya. Seorang raja mesti berjanji agar menjaga rakyatnya dari ketakutan dan kemiskinan. Artinya, seseorang diangkat menjadi raja karena  upayanya untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.

Pada periode berikutnya, ketika To Manurung telah berketurunan, ia dikabarkan menghilang. Kepemimpinan berikutnya diwariskan secara genetik. Meski demikian, seorang raja tetap dipilih secara terbatas oleh dewan adat yang masa lalu adalah matowa-matowa. Dalam pemilihan itu, tetap dipertimbangkan kualitas individual, seperti Lempu (kejujuran), Acca (kepandaian), Warani (keberanian) dan Getteng (konstensi).

Dalam menjalankan roda pemerintahan, seorang raja tetap diawasi oleh dewan adatnya. Seperti Bate Salapang di Gowa, Ade’ Seppulo Dua di Luwu, Ade' Pitue di Bone, Ade' Aruwa di Sidenreng, Arung Patappuloe di Wajo, Pappangeppa di Soppeng. Apabila seorang raja dianggap berhasil, maka ia akan dipertahankan dalam menjabat posisi tersebut. Apabila seorang raja dianggap melanggar hak-hak rakyat, maka melalui mekanisme persidangan dewan adat, raja itu akan ditegur secara halus. Jika tetap dilanggar, teguran itu diperkeras. Bahkan jika memang raja tersebut sangat lalim, tak jarang diupayakan proses eksekusinya. Ada beberapa raja dibeberapa kerajaan di sulawesi selatan yang rajanyat terbunuh oleh rakyatnya sendiri akibat tidak mengindahkan dan melanggar adatnya. Banyak pula raja yang dipecat dari jabatannya, atau mengundurkan diri karena tidak mampu mengemban amanah. Ini merupakan pengejawantahan prinsip Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge' mainge' pi nafaja.

Apabila seorang raja lalim sangat kuat posisinya dan tidak bisa ditegur atau dijatuhkan, telah menjadi tradisi bagi orang bugis makassar untuk mallekke dapureng yang secara harfiah berarti berpindah penghidupan ditempat lain. Dalam hal ini merantau. Sebab bagi orang bugis makassar, lebih baik menderita dinegeri orang, lebih baik keluar merantau daripada hidup menjadi budak dinegeri sendiri. Jiwa kemerdekaan begitu melekat dalam sanubari orang Bugis makassar.
 
sumber : https://www.diskusilepas.id/2014/01/demokrasi-lokal-ala-sulsel.html

Komentar