Teknokrat yang dihormati di Indonesia hingga Jerman. Negarawan di masa transisi yang kini kembali ke haribaan Ilahi.
IBU Pertiwi berduka. Salah satu putra terbaik, seorang
teknokrat dan negarawan Bacharuddin Jusuf Habibie berpulang ke
Rahmatullah. Sang “Bapak Pesawat” menutup hayatnya di usia 83 tahun pada
Rabu (11/9/2019) sekira pukul 18.05 WIB di RPSAD Gatot Subroto,
Jakarta. Sang Presiden RI ketiga itu bakal selalu dikenang kiprah dan
baktinya sepanjang hidupnya.
Habibie lahir di Parepare, 25 Juni 1936 dari pasutri blasteran
Gorontalo-Jawa, Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA Tuti Marini
Puspowardojo. Sejak kecil ia sudah tergolong kutubuku. Saking sukanya
membaca, tulis A. Makmur Makka dalam True Life of Habibie: Cerita di Balik Kesuksesan, Sri Sulaksmi, kakak pertama Habibie, mesti memaksanya untuk mau bermain dengan anak-anak sebayanya.
Selain pandai mengaji, Habibie tergolong introvert. Ia baru
14 tahun alias masih ABG ketika ditinggal wafat ayahnya. Habibie lah
yang diandalkan sang ibu untuk merantau ke Jawa mengejar pendidikan
setinggi mungkin guna mewujudkan impian ayahnya. “BJ Habibie mendengar
sendiri di malam ketika ayahnya meninggal, ibunya berteriak-teriak dan
bersumpah di depan jasad suaminya, bahwa cita-cita suaminya terhadap
pendidikan anak-anaknya akan diteruskannya,” sebut Makmur.
Sampailah Habibie ke Bandung dengan masuk SMAK Dago, di mana ia
menggemari pelajaran-pelajaran eksakta, utamanya Fisika. Setelah
melanjutkan ke Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1954, Habibie mulai
gandrung terhadap pesawat berangkat dari kegemarannya terhadap aeromodelling.
“Ia punya model pesawat terbang yang dibuat sendiri dan selalu
diperagakan. Tetapi model tersebut tak pernah sempat disempurnakan. Ia
pernah masuk Aeromodelling Club, tapi tak punya waktu banyak untuk itu,”
sambungnya.
Namun pendidikannya di ITB hanya sampai enam bulan lantaran Habibie
kepincut kuliah di luar negeri sebagaimana kawannya, Kenkie Laheru. Dari
kawannya itu dia mengajukan visa pelajar ke Kementerian Perguruan
Tinggi dan Ilmu Pengetahuan di Jakarta.
“Habibie berangkat ke Jakarta dan menemui petugas yang berwenang. Dia
ditanya mau pilih jurusan apa? Habibie memilih Ilmu Fisika. Dijawab
oleh petugas, bahwa tidak ada jurusan Fisika, hanya ada jurusan lain,
termasuk Ilmu Aeronautika,” imbuh Makmur.
Jurusan terakhir itulah yang diambil Habibie lantaran di Ilmu
Aeronautika paling banyak bersinggungan dengan Fisika. Habibie pun masuk
ke Technische Hochschule Aachen (kini RWTH Aachen University). Ia
berangkat dengan jalur membeli devisa pemerintah. Semua biayanya
dikucurkan dari peninggalan mendiang ayahnya lewat perkenan sang ibu.
“Habibie memilih jurusan itu juga dengan dasar pertimbangan pesan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Moh. Yamin. ‘Kamu inilah harapan
bangsa,’ ucap Yamin sambil mengelus-elus kepalanya,” tutur Makmur.
Baca juga: Nurtanio, Patriot Udara Indonesia
Alasan lain Habibie menggeluti ilmu tentang pesawat terbang, lantaran
ia juga ingin mendalami teknologi pesawat Jerman yang dikaguminya.
Sejak belia, Habibie terkagum-kagum pada pesawat tempur Jerman era
Perang Dunia II, Messerschmitt 109, bikinan teknokrat Willy
Messerschmitt. Kebetulan, kampus yang dipilih Habibie merupakan tempat
Messerschmitt kuliah.
Berturut-turut pada 1960 dan 1962, Habibie senantiasa cemerlang melahap ilmu-ilmu yang digalinya dan berbuah gelar Diplom-Ingenieur hingga Ingenieur.
Ia satu-satunya mahasiswa Indonesia yang kuliah dengan ongkos sendiri,
bukan beasiswa negara sebagaimana sejumlah kompatriotnya kala itu.
Sembari menyelesaikan studi doktoralnya, ia menyibukkan diri jadi
tangan kanan Hans Ebner, teknokrat di Lehrstuhl und Institut für
Leichtbau, dan bekerja paruh waktu dengan menjadi penasihat di
manufaktur keretaapi Waggonfabrik Talbot. Gelar Doktoringenieur akhirnya diperoleh Habibie pada 1965.
Pulang ke Tanah Air
Selagi ia meneruskan karier di pabrik pesawat
Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB) di Hamburg, pada 1973 sebuah panggilan
pulang mendatangi Habibie. Kakak ipar Habibie, Brigjen Subono Mantofani,
menyampaikan kabar yang datangnya dari Presiden Soeharto itu. Soeharto
yang mendengar kecemerlangan Habibie di Jerman sampai menduduki posisi
Wakil Presiden Direktur Teknik MBB, ingin memanfaatkan pikirannya untuk
ikut membangun negeri.
Dua malam setelah tiba di Indonesia pada 26 Januari 1974, Habibie
menghadap Soeharto di Jalan Cendana. Soeharto memintanya membantu
pembangunan industri. Habibie menyanggupinya. Habibie pun
bertanggungjawab membangun industri pesawat di Industri Pesawat Terbang
Nusantara/IPTN (kini PT Dirgantara Indonesia/PT DI).
Baca juga: Kekecewaan Soeharto pada Habibie
Ia memulainya dengan membuat sebuah rancangan pesawat, meski harus
mencari mitra asing. “Habibie akhirnya mendapat mitra yang
diinginkannya, yaitu CASA Spanyol yang setuju bekerjasama dalam
pembuatan NC 212 Aviocar Twin-turboprop,” kata Makmur.
Puncak kiprah Habibie adalah produksi pesawat N-250, yang lahir saat
Habibie memimpin IPTN merangkap sebagai menteri riset dan teknologi.
Habibie menamainya “Gatotkoco”. Ia memperlihatkan “mahakaryanya” itu ke
hadapan Presiden Soeharto pada 10 Agustus 1995.
Pesawat itu lepas landas dengan sempurna dari Lanud Husein
Sastranegara, Bandung, berputar di udara Jawa Barat, Laut Jawa, dan
kembali ke Lanud Husein. Rombongan, termasuk Soeharto, menampakkan wajah
haru dan kagum. “Saya menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya
kepada IPTN. Mudah-mudahan akan jadi kebanggaan Indonesia dan juga
negara-negara berkembang lainnya yang senasib dengan Indonesia,” tutur
Soeharto dikutip Media Indonesia, 11 Agustus 1995.
Lingkaran Politik
Hingga 1998, Habibie dipercaya Soeharto sebagai wakilnya di Kabinet
Pembangunan VII. Namun di tahun itu prahara politik pecah dan
melengserkan Soeharto. Otomatis Habibie menggantikan posisi Soeharto,
memimpin Indonesia ke era baru: Reformasi.
Habibie harus menakhodai negeri dalam kondisi sulit di masa
transisi itu. Tuntutan kemerdekaan Timor Timur merupakan salah satu yang
terpelik. Habibie akhirnya membuat sejarah dengan mengeluarkan opsi
referendum yang berbuah kemerdekaan Timor Timur.
Belum lagi kritik soal Timor Timur reda, konfik internal Partai
Golkar pada 1999 menambah berat jalan yang harus dilalui Habibie.
Mengutip Rully Chairul Azwar dalam Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era,
muncul perpecahan Golkar kubu Habibie dan Akbar Tandjung. Hasilnya,
laporan pertanggungjawaban Habibie di Sidang Umum MPR ditolak dan
membuat Habibie harus mundur dari pencalonan presiden kendati sebelumnya
sudah resmi dicalonkan.
Akbar Tandjung menyanggah perpecahan itu. “Formalnya kita mendukung. Cuma di intern kita banyak aspirasi yang tidak mendukung. Terutama aspirasi anggota Fraksi ABRI di DPR. Mahadi cs. juga enggak
mau. Waktu itu kan banyak kasus sekitar Pak Habibie, seperti kasus Bank
Bali. Pokoknya dilihat Pak Habibie masih Orde Baru-lah. Konsekuensinya
kita tak bisa kontrol orang kita. Bangsa Agun cs. itu, termasuk Agus
Gumiwang Ginandjar,” kata Akbar dikutip Rully.
Baca juga: Membidani Industri Strategis Dalam Negeri
Tepat 20 Oktober 1999, Habibie melepaskan jabatannya dan digantikan
KH Abdurrahman Wahid. Selepas itu, ia lebih banyak berkiprah lagi di
Jerman. Kendati sempat ditawari status warga negara kehormatan oleh
negeri maju itu, Habibie menolaknya lantaran kecintaannya pada Indonesia
yang tak mengenal dwi-kewarganegaraan.
sumber: https://historia.id/politik/articles/akhir-hayat-sang-teknokrat
Komentar
Posting Komentar