
Etnis.id - Ini tentang masa kecilku yang
kuingat-ingat saat hujan mengguyur Jakarta siang ini, Jumat 24 Januari
2020. Sebagai tukang makan, camilan yang pas dikunyah saat hujan di
Makassar terngiang-ngiang.
Beberapa tahun yang lalu, setiap
berangkat ke sekolah, saya selalu menyisipkan duit Rp500 untuk membeli
seporsi songkolo. Besarnya seperti telapak tangan anak berumur 9 tahun.
Nikmat
saat itu. Makanan masih sangat murah. Songkolo begitu sedap saat musim
hujan seperti ini. Apalagi dimakan sewaktu hangat. Sampai saya berada di
rantau sekarang, sulit sekali menemukan songkolo.
Saya tidak tahu
nama songkolo jadi apa kalau di Jakarta. Tetapi di ibu kota, camilan
berbahan dasar ketan memang ada yang jaja. Saya sudah pernah mencobanya.
Pada
suatu pagi yang entah tanggal berapa, seorang kawan sesama perantau
belum tidur-tidur juga. Ia melek melewati malam dengan mendengarkan lagu
dan menonton youtube sembari rebahan di kasur.
Ia lalu berdiri.
Memegang-megang perutnya yang tak dibungkus kain baju. "Beh, lapar
sekali saya rasa." Ia menawariku makanan yang nikmat diasup saat pagi
hari. Saya mengiyakan tawarannya.
Ia bergegas memakai baju. Keluar
pagar dan celingak-celinguk melihat pedagang makanan apa saja yang
mencari nafkah pada pagi hari di Jakarta yang sudah ramai seusai salat
Subuh.
Kami yang tinggal di Tebet, Jakarta Selatan, merasa
beruntung. Di belakang kontrakan yang berukuran kecil, ada pedagang
lalapan yang buka 24 jam. Tapi itu tak mungkin untuk kami beli.
Alasannya,
ayam goreng dengan lalapan selada serta irisan timun dan cabai tumis
terasi yang payah serta berminyak, tak enak masuk di mulut saat pagi.
Terlalu berat bagi kami yang sudah tambun dan buncit.
Di sebelah
kontrakan, kawan saya menemukan pedagang nasi kuning. "Nasi kuning
saja?" Saya mengiyakan. Akhirnya ia pergi ke gerobak kecil dekat
kontrakan kami yang bersampingan dengan gang penghubung dari gang satu
ke gang lainnya.
Di sana, seorang pedagang menjual nasi ulam, nasi
kuning, nasi campur dan lain-lain. Ia juga menjual irisan tempe, tahu,
bakwan dengan kadar minyak yang cukup banyak bagi orang normal.
Temanku
membeli dua bungkus nasi dengan lauk berisi telur balado, mi dan
gorengan yang kusebutkan di atas. Tak lupa, ia membeli camilan yang
belakangan saya ketahui bernama ketan serundeng.
"Deh, ada songkolo nubeli (kamu beli songkolo?)."
Kawan
saya mengangguk dan berujar kalau dia ingin mencobanya. Ia rindu dengan
makanan Sulawesi Selatan. Alhamdulillah, saya juga merasa sama. Toh, di
kontrakan, kami berkumpul bersama anak-anak Makassar jua.
Karena tergoda ketan serundeng, saya lebih dulu menjadikan camilan itu sebagai appetizer.
Saya memegangnya, "bolehlah," pikirku. Teksturnya mirip songkolo yang
ada di Makassar. Besarnya hampir menutupi telapak tanganku. Saya
menggigitnya sekali. Beda. Saya tak menemukan kekuatan santan di kukusan
ketannya. Hambar. Ketannya juga agak kasar permukaannya. Duh.
Saya
kunyah terus. Kurasakan serundengnya hinggap di langit-langit mulutku.
Parutan kelapanya tak seperti serundeng yang ada di Makassar pada
umumnya. Beda. Kelapa goreng yang kunikmati di Jakarta bermain dengan
rasa pedas yang lemah.
Kurasakan sedikit garam dan rempah yang tak bisa kutebak apa namanya. "Deh, lain-lainnya songkolonya di Jakarta di'? Cobamko (Songkolo di Jakarta lain ya? Cobalah)," ujarku.
Kawanku menggigitnya. Mencecap ketan serundeng sebentar, berkomentar dan menjawab pertanyaanku. "Iyo, bedai memang. Mungkin tawwa disesuaikan sama lidahnya orang sini. Lebih enakji songkolo ta (Iya, memang beda. Mungkin disesuaikan sama lidah orang Jakarta. Songkolo di Makassar lebih enak)," mulutnya terus mengunyah.
Akhirnya, karena lapar, saya meninggalkan ketan serundeng itu dan beralih ke main course:
Nasi kuning. Perasaan saya campur aduk. Andai Makassar itu dekat,
mungkin saya sudah ke sana untuk makan songkolo sahaja. Nasib anak
rantau. Kasihan.
Dalam cuaca yang dingin di Jakarta, saat hujan
mengguyur genteng. Ingatanku berlibur ke Makassar. Mengingat-ingat
makanan pagiku yang aduhai, yang nikmatnya dimakan saat hujan. Apalagi
bersama kawan-kawan sambil bercerita ngalor ngidul.
Songkolo di
Makassar, saya lukiskan begini rasanya--sebab saya pengingat yang parah
jika satu momen menyentil kepekaanku ihwal rasa. Songkolo di Makassar
legit dan gurih.
Di Makassar, banyak sekali pedagang songkolo.
Hampir di setiap kelurahan, selalu ada songkolo yang eco. Tapi yang
paling terkenal, adalah Songkolo Alhamdulillah. Orang-orang Makassar
kerap menyebutnya dengan Songkolo Timbang.
Mengapa Songkolo
Timbang? Untuk membeli, ketannya harus disesuaikan dengan jumlah duit
yang kamu punya. Timbangannya bergantung dengan porsi yang kamu ingini.
Satu
kesyukuran karena rumahku dengan Songkolo Alhamdulillah sangat dekat.
Saya tinggal di Antang, di Kelurahan Antang. Jika berjalan kaki, butuh
waktu 7 sampai 10 menit. Jika naik motor, hanya butuh waktu 2 sampai
tiga menit.
Saat pagi, kursi-kursi masih lowong. Keadaan masi
sepi. Saya sering ke sana. Biasanya, hanya ada satu sampai tiga
bapak-bapak yang makan di tempat. Entah ia akan pergi bekerja atau apa.
Lain cerita kalau malam. Saya pernah antre lama, saat ingin membungkus
dua porsi songkolo.
Lain lagi dengan yang makan di tempat. Selama
saya pergi sewaktu malam hari, dalam keadaan yang keroncongan, banyak
pemuda dan pemudi yang makan di sana. Tua-muda dan menengah
atas-menengah bawah, jadi satu. Tak ada tempat vip yang memisahkan kelas
seperti restoran pada umumnya. Semua pengunjung disamakan kelasnya:
Orang-orang cipuru' (lapar).
Songkolo Alhamdulillah buka
24 jam. Pemilik Songkolo Alhamdulillah mengubah persepsi publik, kalau
songkolo asyik juga dijadikan kawan begadang.
Selama pengalamanku
hidup puluhan tahun, memang songkolo akrab dengan masyarakat Makassar
saat pagi hari. Barangkali, karena permintaan pasar, maka untuk
mengakomodirnya, pedagang membuat songkolo begadang.
Rasa
songkolonya kira-kira seperti ini, ketannya legit karena pengaruh santan
yang kuat serta warnanya cerah dan mengkilat. Mau dibilang berminyak,
tidak. Begitu yang saya rasakan.
Serundengnya cihuy. Gula merah
yang pasti disangrai bersama beberapa rempah, saling berpadu membentuk
satu rasa orisinal. Gurih. Rasa garamnya sederhana dan gula merahnya
tidak terlalu kuat. Tidak bikin eneg.
Yang paling saya sukai dari
Songkolo Alhamdulillah ini (saya kasih bocoran ya) adalah sambalnya yang
tidak terlalu pedas dan malah senang bermain-main dengan terasi.
Kayaknya, tak cukup puas makan songkolo tanpa sambal tumisnya.
Percayalah.
Sambal disempurnakan dengan ikan teri yang sudah
disiapkan. Bayangkanlah, bagaimana gula merah, santan, terasi dan garam
serta kriuk ikan teri jadi satu di lidahmu. Apalagi saat kau baru bangun
pagi dan kedinginan karena hujan.
Orang-orang Makassar baik yang
merantau dan tidak pasti tahu rasa seperti ini. Omong-omong, saya cuma
makan satu ketan serundeng yang ada di Jakarta. Mana tahu, kawan-kawan
punya rekomendasi ketan serundeng di Jakarta yang nikmat seperti di
Makassar. Kabari ya!
sumber: https://etnis.id/songkolo-yang-tak-cukup-dimakan-saat-pagi/
Komentar
Posting Komentar