Suku Bugis terkenal sebagai pelaut yang ulung. Pena sejarah
telah mencatat ketangguhan pelaut Bugis menaklukan samudera. Bahkan
sebelum penunggang unta datang ke Australia, nelayan Bugis sudah
menginjakan kaki di benua itu.
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero,
yang masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan
Yunan. Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk
beberapa kerajaan. Masyarakat Bugis pun kemudian mengembangkan
kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan sendiri. Beberapa kerajaan
Bugis kuno antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto,
Sidenreng, dan Rappang.
Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra sangat dikenal.
Wilayah jelajah mereka pun sangat luas, mulai dari Malaysia, Filipina,
Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar, hingga Afrika Selatan.
Buktinya, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan, terdapat sebuah suburb yang bernama Maccasar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka.
Tidak hanya darah pelaut yang diwariskan, pola makan mereka juga
khas. Seperti halnya suku lain di Indonesia, masyarakat Bugis juga
memiliki makanan dan minuman tradisional yang terus terpelihara hingga
kini. Ada banyak makanan dan minuman tradisional yang dimiliki orang
Bugis. Selain konro dan coto makassar, Suku Bugis juga memiliki peganan
yang khas yaitu barongko pisang.
Pada zaman dahulu barongko pisang tergolong makanan mewah dan hanya
khusus disajikan bagi kaum bangsawan dari kerajaan-kerajaan Bugis.
Umumnya raja-raja Bugis menikmati panganan yang berbahan pokok pisang
ini sebagai makanan penutup. Kudapan ini hanya disajikan pada saat
tertentu, seperti pernikahan dan upacara adat.
Barongko berwarna putih kekuningan, berbentuk segitiga dan dikemas
secara tradisional dengan menggunakan daun pisang. Seperti bahan dasar
sebagain besar kuliner lain di Sulawesi Selatan, bahan utama kue
Barongko adalah pisang. Umumnya, pisang yang digunakan adalah jenis
pisang kepok yang oleh masyarakat Bugis dikenal sebagai uttti loppo yang berarti pisang besar.
Pisang besar inilah yang kemudian dihaluskan lalu dicampur dengan
bahan lainnya antara lain gula pasir, telur, santan kental, vanili,
garam dan lainnnya. Setelah itu dibungkus dengan menggunakan daun pisang
dengan pola segitiga tiga dimensi dan disemat dengan lidi, lalu
dikukus. Setelah masak, ditunggu dulu beberapa saat barulah kue ini
disajikan dalam keadaan dingin.
Meski terkesan sederhana dan mudah, namun kue ini jarang ditemui.
Barongko baru muncul di acara-acara istimewa seperti sunatan, akikah,
mappanre temme, atau pesta pernikahan. Pasalnya, di daerah asalnya
pembuatan barongko tidak dilakukan dengan sembarangan. Barongko harus
dibuat oleh orang yang sudah berpengalaman, agar rasa asli barongko
tetap terjaga.
Di luar acara-acara istimewa tadi, ada satu momen dimana barongko
selalu tersaji di rumah-rumah orang Bugis, yaitu saat bulan Ramadan
tiba. Selain rasanya yang manis, lembut dan dingin, barongko juga
dianggap aman untuk pencernaan dan menambah stamina. Karenanya tepat
bila disajikan sebagai makanan pembuka setelah menjalankan puasa Ramadan
sehari penuh. Rasa yang manis, teksturnya yang lembut dan juicy membuat
siapapun yang mencicipi kue ini sulit untuk beranjak dan melupakan
begitu saja cita rasa kelezatan yang khas dari barongko.
Selain itu, meskipun terlihat sederhana dan mudah cara membuatnya,
namun kue barongko mempunyai nilai filosofis yang tinggi. Menurut
sebagian besar masyarakat Bugis, barongko pisang tidak hanya dikerjakan
dengan tangan-tangan terampil dan berpengalaman tetapi juga dibuat
dengan hati. Hal ini sejalan dengan nilai filosofi tinggi yang
terkandung di dalamnya.
Sebagian besar masyarakat Bugis menyebut barongko sebagai kue
kejujuran. Bahan utama yang terbuat dari pisang dan kemudian dibungkus
kembali dengan tanaman yang sama dengan bahan dasarnya (daung pisang)
merepresentasikan kejujuran.
Maknanya, bahwa haruslah sama apa yang terlihat di luar dengan apa
yang tersimpan di dalam diri kita. Hal ini tentunya mengajarkan kita
bahwa apa yang diucapkan harus sama dengan apa yang dilakukan, dan apa
dikerjakan harus sama dengan apa yang dirasakan. Makna lainnya adalah
apa yang terpikirkan dan yang dirasakan haruslah selaras dengan tindakan
yang dilakukan.
Karena nilai budayanya inilah maka kue tradisional barongko
ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda pada tahun 2017 oleh
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi, jika suatu saat anda merasa
dikhianati atau merasa nilai kejujuran semakin memudar, ingat masih ada
barongko "Si Manis-Lembut" khas Pinisi yang hingga sekarang masih tetap
dipertahankan eksistensi rasa dan nilai filosofisnya.
sumber: https://indonesia.go.id/ragam/kuliner/ekonomi/barongko-si-manis-lembut-dari-bugis
Komentar
Posting Komentar