Kala M. Jusuf Nyaris Direnggut Maut


Upaya perundingan Pangdam Kol. M. Jusuf dengan Selle berubah menjadi pertempuran jarak dekat. Nyaris meminta nyawa Jusuf.

 

TANPA pemberitahuan sebelumnya, Pangdam Hasanuddin Kolonel M. Jusuf disertai Komandan PM Kodam Hasanuddin Letkol CPM Sugiri, As-Ops Koandait (Komando Antar Daerah Indonesia Timur) Letkol Suraksono, dan Kepala Kepolisian Sulawesi Selatan/Tenggara Kombes Pol. Mardjaman mendatangi pos komando Yon 330 Siliwangi –yang ditugaskan memberi bantuan kodam setempat dalam mematahkan pemberontakan Kahar Muzakkar– di Enrekang, 2 April 1964. Kedatangan mereka mengagetkan para pimpinan Yon 330 yang saat itu sedang rapat.
Setelah makan siang bersama, Jusuf mengatakan dirinya minta disediakan satu kompi pasukan untuk mengawalnya esok. “Besok aku akan mengadakan pertemuan dengan Andi Selle agar ia kembali ke jalan yang benar. Sebagai putera Sulawesi saya ingin mengajaknya baik-baik untuk bersama-sama membangun Sulawesi ini. Pertemuan ini dipersiapkan oleh Letkol Eddy Sabar, komandan Brigif 011, namun saya tidak tahu pasti bagaimana kelanjutan dari pertemuan ini. Karena itu siapkan satu kompi 330 untuk pengamanan, dan tugaskan seorang perwiramu yang baek untuk mendampingi saya!” kata Jusuf, dikutip Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M. Jusuf Panglima Para Prajurit.

Andi Selle merupakan Dan Yon Bau Massepe di Korps Cadangan Nasional Sulawesi Selatan yang dipimpin Kahar Muzakkar. Selle dan Kahar kemudian berpisah jalan. “Dalam minggu-minggu sebelum hari yang telah ditetapkan untuk integrasi resmi Korps Cadangan Nasional, pertentangan intern yang pertama di kalangan pengikut-pengikut Kahar Muzakkar terjadi ketika Andi Selle memihak Pemerintah dalam persoalan apakah integrasi Korps Cadangan Nasional Sulawesi Selatan akan dilakukan batalyon demi batalyon atau tidak,” tulis Cornelis van Dijk dalam Darul Islam, Sebuah Pemberontakan.
“Penggabungan Batalyon Bau Masseppe Andi Selle ke dalam Tentara sebagai Batalyon 719 pada 7 Agustus 1951 hanyalah memperbesar pertentangan antara Kahar dan Tentara, selanjutnya.”
Dalam perjalanan waktu, besarnya kebebasan yang dimiliki para komandan batalyon, termasuk Selle, membuat mereka menyalahgunakan posisi militer yang ada untuk mencari keuntungan pribadi. Seperti Andi Sose, Andi Selle juga tumbuh menjadi warlord yang merugikan masyarakat dan negara. Dalam Paths and Rivers: Sa’dan Toraja Society in Transformation, Profesor Roxana Waterson dari National University of Singapore menggambarkan keduanya sebagai oportunis, serakah, menggunakan posisi militer untuk terlibat dalam perdagangan barter yang amat menguntungkan, berusaha mengendalikan ekspor regional dengan mengorbankan pemerintah pusat, mematok harga lokal, dan menarik pajak barang dalam perjalanan ke kota-kota dataran rendah.
“Laporan Staf Angkatan Darat tahun 1961, yang saat itu jelas-jelas dianggap sebagai liabilitas, menggambarkannya sebagai seorang oportunis dan petualang ambisius, siap memperkaya dirinya dengan cara apa pun yang mungkin dan selalu mencari peluang untuk mendapat untung dari kedua belah pihak, apakah pemerintah atau gerilyawan,” lanjut Roxana.
Oleh karena itulah Dan Yon 330 Siliwangi Mayor Himawan Soetanto menaruh curiga besar saat Jusuf menerangkan rencana perundingannya dengan Selle. “Bakalan rame nih!” kata Himawan kepada wakilnya, Yogie S. Memet, mengomentari keterangan Jusuf.
Namun, Himawan tetap mematuhi perintah Jusuf dengan mempersiapkan pasukan yang diminta. Dua kompi dipersiapkannya untuk perundingan itu, yakni Kompi E/330 di bawah Lettu Mukardanu sebagai kompi pengawal dan Kompi D/330 di bawah Lettu Anwar Rasyim sebagai kompi cadangan. Sepuluh prajurit terbaik diplot menjadi pengawal pribadi Jusuf. Sementara untuk pendamping Jusuf, Himawan menugaskan Kapten Jayadi.

Pada pukul 07 pagi keesokan harinya, Jusuf berangkat ke Pinrang, tempat perundingan, dikawal satu peleton dari Kompi E/330. Para pengawal pribadi Jusuf yang dipimpin Peltu Daud Supriyanto menggunakan jip Gaz dan jip yang digunakan Jayadi. Anggota kompi yang lain naik truk. Jusuf sendiri menggunakan sedan Dodge milik gubernur Sulawesi Selatan yang dipinjamnya untuk keperluan resmi. Sedan itu berada di belakang jip Jayadi dan di depan truk kompi. Di sedan itu juga ikut Letkol Sugiri dan Kombes Mardjaman, keduanya duduk di baris supir.
Begitu konvoi mendekati lokasi perundingan, Desa Lappangeng, para prajurit Siliwangi mulai curiga karena ratusan pengawal Selle dengan beragam senjata sudah bersiap di sepanjang jalan. “Pasukan Siliwangi yang cuma satu kompi itu ditambah sejumlah kecil pasukan dari Raiders Hasanuddin akhirnya berbaur dengan pasukan Andi Selle di tepi-tepi jalan. Semua bersenjata lengkap dan berdiri dengan raut muka tegang,” tulis Atmadji. Kecurigaan prajurit Siliwangi makin bertambah ketika melihat mobil Jusuf dibuntuti sebuah power wagon berisi tujuh pengawal Selle bersenjata bren, yang kemudian menjaga pintu bangunan tempat perundingan.
“Andi Selle datang dengan memakai baju merah dengan disertai oleh salah seorang kepercayaannya Sersan Mayor Mansyur,” tulis Badan Pembina Corps Siliwangi Jakarta Raya dalam Album Kenangan Perjuangan Siliwangi.
Kecurigaan itu akhirnya tak berbuah apa-apa. Tak lama kemudian, Jusuf dan Selle beriringan keluar dari tempat perundingan sambil tersenyum dan berbincang. Keduanya lalu menaiki mobil Jusuf, yang di dalamnya ada Sugiri, Mardjaman, dan supir. Mobil itu akan membawa mereka ke rumah Bupati Pinrang H. Andi Makkulau, sekitar delapan kilometer dari tempat perundingan, untuk makan siang atas permintaan Selle. Jusuf duduk di kursi belakang kiri dan Selle di belakang kanan.
Di sebuah pertigaan dalam perjalanan, mobil Jusuf bukannya berbelok ke kanan malah lurus. Mobil seolah-olah menuju Pare-Pare lalu ke Makassar. Para pengawal Selle pun mengkhawatirkan pemimpinnya akan dibawa lari ke Makassar untuk ditangkap. Sebuah jip pengawal Selle lalu mendahului mobil Jusuf. Jip itu mendadak berhenti. Beruntung supir masih sempat menghentikan mobil Jusuf sehingga tak menabrak mobil di depannya.
Sejurus kemudian, tulis Atmadji, “Jusuf melompat turun dan memerintahkan pengawal untuk menangkap Selle, dan Selle juga turun dari sisi yang lain dan memberikan perintah.”

Tembak-menembak jarak dekat antara pengawal Jusuf dan pengawal Selle pun tak terhindarkan. “Tiga penumpang di mobil Dodge terkena peluru semua karena tidak sempat ke luar mobil. Kolonel Sugiri tewas, Kombes Pol. Mardjaman mengalami luka-luka di tangan, sementara supir Langa, luka di kepala hingga topinya robek. Mobil Dodge penuh dengan lubang-lubang peluru. Dan pihak pengawal pribadi juga gugur Praka Adang B dan sejumlah prajurit Kujang lainnya mengalami luka-luka ringan,” sambung Atmadji.
Hampir bersamaan dengan perintah Jusuf kepada Daud agar menangkap Selle, Selle pun memerintahkan prajuritnya untuk menembak Jusuf. “Hampir bersamaan dengan bunyi senjata otomatis yang ditujukan ke sedan, salah seorang pengawal Jusuf yaitu Praka Syamsudin melempar granat ke arah jip yang memotong konvoi yang kemudian disusul dengan tembakan Thompson Sersan Kopong Poyong, juga pengawal Jusuf yang lain.”
Tembak-menembak makin sengit setelah pasukan pengawal Jusuf yang tertinggal jauh di belakang tiba. Sementara tangan kanannya memegang senapan, Peltu Daud langsung melompat dan merangkul Jusuf untuk memberi perlindungan sambil menarik panglima ke arah mobil Gaz. Dalam upaya perlindungan itulah Daud roboh setelah dadanya diterjang peluru pengawal Selle.
Jusuf terpaksa meneruskan perjalannya ke jip Gaz tanpa perlindungan. “Menurut Jusuf, sewaktu ia berjalan menuju jip Gaz, Andi Selle malah meneriakkan komando kedua: ‘Ikuti dia dan tembak!’ Para pengawal kemudian terus mengalihkan tembakan ke arah Jusuf. Tetapi ia sendiri merasa ada sesuatu yang panas di belakang lehernya dan punya insting bahwa ada sesuatu yang melindungi nyawanya,” tulis Atmadji.
Begitu Jusuf masuk ke dalam jip, supir langsung menancap gas sekuat mungkin menerobos apa saja yang ada di depan tanpa menghiraukan hujan peluru di sekitarnya. Jusuf dan penumpang lain dalam jip pun selamat.
Sementara, para prajurit Siliwangi dan pengawal Selle masih baku tembak meski hanya beberapa menit. Namun karena pasukan Siliwangi lebih menguasai cara menembak dan menguasai posisi, korban lebih banyak jatuh dari pihak Selle. Tak lama kemudian, Selle dan para pengawalnya yang tersisa melarikan diri ke hutan. “Tetapi dalam tembak-menembak yang terjadi Andi Selle, yang berhasil melarikan diri, tertembak bahunya,” tulis Van Dijk.

sumber:  https://historia.id/militer/articles/kala-m-jusuf-nyaris-direnggut-maut

 

Komentar