Provinsi Sulawesi Selatan terdapat beberapa macam suku yang budaya dan bahasanya sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Suku bahasa yang ada di Sulawesi Selatan, jika diklasifikasikan dari
jumlah penduduk terbanyak, kabupaten yang mendiami, tokoh yang terkenal,
hingga kebudayaan suku tersebut:
1. Suku Makassar:

gambar : kaskus.co.id
Makassar adalah sebuah nama kota di provinsi Sulawesi Selatan saat
ini. Kota ini didiami oleh orang-orang Suku Makassar yang terkenal
dengan panggilan “daeng”. Selain itu, Makassar terkenal dari beberapa
sisi, mulai dari sejarahnya yang panjang, budayanya yang beragam,
kulinernya yang membuat tenggorakan ngiler, pemandangan pantainya yang
indah, hingga kebrutalan mahasiswa dan tingkat kekerasannya yang tinggi.
Inilah yang membuat kota Makassar terkenal, setidaknya menjadi
stereotip.
Suku Makassar, sebagai suku terbesar di Sulawesi Selatan, menyimpang
sejarah yang sangat panjang. Dalam catatan sejarah yang tertulis dalam
“lontara”, suku Makassar sudah menguasai Pulau Sulawesi sejak abad
ke-16. Bahkan kekuasaan orang-orang Suku Makassar saat itu meliputi
Seluruh pulau Sulawesi, Sebagian Kalimantan, Sebagian Pulau Maluku, Nusa
Tenggara, Hingga Timor-Timur (Timor Leste saat ini). Menurut sejarah,
kekuasaan orang-orang Suku Makassar ditandai dengan adanya pohon
Lontara. Dimana ada pohon lontara, maka disitulah batasnya kekuasaan
orang Makassar.
Suku Makassar sendiri terdiri dari beberapa sub suku yang tersebar
luas di selatan pulau Sulawesi, tersebar dari Kota Makassar, Kabupaten
Gowa, Takalar, Je’neponto, Bantaeng, Bulukumba, Selayar, Maros, dan
Pangkep. Sub suku itu seperti, suku Makassar Lakiung, Turatea (Suku
Je’neponto dan Bantaeng), Suku Konjo (Bulukumba dan Sebagian Maros), dan
Suku Selayar. Sub suku ini memiliki dialek bahasa yang berbeda-beda,
tetapi masih dalam rumpun bahasa Makassar. Di perkirakan jumlah populasi
orang suku Makassar sekitar 1,8 juta jiwa.
Sejak dulu, Suku Makassar adalah pelaut ulung. Bahkan karena kekuatan
lautnya, sehingga mampu menyatukan daerah-daerah yang luas seperti
Sulawesi, Kalimantan, Nusatenggara, Timur Leste dan Maluku kedalam satu
kekuasaan Kesultanan Goa (Makassar). Orang Makassar adalah orang yang
pantang menyerah. Walaupun, pada pertempuran melawan Belanda, mereka
kalah, tetapi sebagian besar pejuang-pejuang Makassar tidak menerima
kekelahan tersebut. Mereka menyebar ke pulau Jawa, Kalimantan dan
Sumatera. Mereka itu seperti Karaeng Galesong, yang Hijrah ke tanah Jawa
dan kerap mengganggu armada Belanda di laut hingga dia di juluki oleh
Spielman “Bajak Laut”. Selain itu ada nama ulama besar saat itu yang
mengabdi untuk kerajaan Banten melawan Belanda, Syekh Yusuf
al-Maqassary. Bahkan Syekh Yusuf lebih di kenal di Afrika Selatan
sebagai penyebar agama Islam, setelah dibuang Belanda kesana. Hingga
saat ini, namanya masih diabadikan menjadi sebuang nama kampung di
Afrika Selatan “Kampung Makassar”.
Masih banyak sisi-sisi keunikan dari suku Makassar yang belum sempat
diulas, seperti keunikan sisi kulinernya (pisang ijo, pisang efek, pallu
butung, pallu basa, pallu konro, kacipo, dumpi eja, dan lain-lain) dari
segi pemadangan alam pantai yang terkenal (Pantai Losari, tanjung
Bayam, tanjung Bunga, Pasir putih/pantai Bira di Bulukumba dan
lain-lain). Selain itu, masih banyak peninggalan budaya, teknologi dan
bangunan kuno seperti benteng, istana, tarian, kesenian daerah, perahu
kora-kora, perahu pinisi dan lain-lain.
Syair
Berikut beberapa contoh syair dalam bahasa Makassar :
Le’ba kusoronna biseangku, kucampa’na sombalakku, tamassaile punna teai labuang
Bila perahu telah kudorong, layar telah terkembang, takkan ku berpaling kalau bukan labuhan yang kutuju.
Bila perahu telah kudorong, layar telah terkembang, takkan ku berpaling kalau bukan labuhan yang kutuju.
Ku alleangi tallanga na toalia
Arti bahasa: Lebih baik tenggelam dari pada kembali (latar belakang kata tersebut dari seorang pelaut yang telah berangkat melaut)
Makna: Ketetapan hati kepada sebuah tujuan yang mulia dengan taruhan nyawa.
Arti bahasa: Lebih baik tenggelam dari pada kembali (latar belakang kata tersebut dari seorang pelaut yang telah berangkat melaut)
Makna: Ketetapan hati kepada sebuah tujuan yang mulia dengan taruhan nyawa.
Eja pi nikana doang
Seseorang baru dapat dikenali atas karya dan perbuatannya
Seseorang baru dapat dikenali atas karya dan perbuatannya
Teai mangkasara’ punna bokona loko’
Bukanlah orang Makassar kalau yang luka di belakang. Adalah simbol keberanian agar tidak lari dari masalah apapun yang dihadapi.
Bukanlah orang Makassar kalau yang luka di belakang. Adalah simbol keberanian agar tidak lari dari masalah apapun yang dihadapi.
Tokoh yang terkenal, yaitu
Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Syech Yusuf Tajul Khalwati (lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 3 Juli 1626
– meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72
tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia yang lahir dari
pasangan Abdullah dengan Aminah dengan nama Muhammad Yusuf. Nama ini
diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibu
Syekh Yusuf. Nama lengkapnya setelah dewasa adalah Tuanta’ Salama’ ri
Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari
Al-Banteni.
Dalam peperangan melawan Belanda tahun 1682, Syekh Yusuf ditangkap
dan diasingkan ke Srilanka pada bulan September 1684. Di Sri Lanka,
Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid
ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan. Kembali ditangkap
Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan,
pada bulan Juli 1693. Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap berdakwah,
dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699,
pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan,
Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai
‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.
Sultan Hasanuddin, Ayam Jantan Dari Timur
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun, adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. dia diangkat menjadi Sultan ke 6 Kerajaan Gowa dalam usia 24 tahun (tahun 1655).
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun, adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. dia diangkat menjadi Sultan ke 6 Kerajaan Gowa dalam usia 24 tahun (tahun 1655).
Sementara itu belanda memberinya gelar Het Haantjes van Het Oosten alias
Ayam Jantan dari Timur karena kegigihannya dan keberaniannya dalam
melawan Kolonial belanda. Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, merupakan
putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan
Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili
Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa
merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur
perdagangan.
2. Suku Bugis:

“Panrita” Penasehat Kerajaan Bugis
Ugi bukanlah sebuah kata yang memiliki makna. Tapi merupakan kependekan dari La Satumpugi, nama seorang raja yang pada masanya menguasai sebagian besar wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. La Satumpugi terkenal baik dan dekat dengan rakyatnya. Rakyatnya pun menyebut diri mereka To Ugi, yang berarti Orang Ugi atau Pengikut Ugi.
Dalam perjalanannya, seiring gerakan ke-Indonesiaan, Ugi
dibahasa-Indonesiakan menjadi Bugis dan diidentifikasikan menjadi salah
satu suku resmi dalam lingkup negara Republik Indonesia. Maka muncul dan
terkenallah Suku Bugis di Indonesia; bahkan di seluruh dunia.
Wilayah Wilayah utama Suku Bugis di Sulawesi Selatan adalah Barru,
Sidrap, Pinrang, Parepare, Soppeng, Bone, Wajo, dan Palopo.
Wilayah-wilayah tersebut berkembang melalui tiga kerajaan besar Suku
Bugis, yaitu Kerajaan Bone, Kerajaan Soppeng, dan Kerajaan Wajo.
Ditambah beberapa kerajaan kecil lainnya.
Invasi Kerajaan Gowa pimpinan Sultan Hasanuddin terhadap
Kerajaan-Kerajaan Bugis membuat banyak orang Bugis merantau untuk
menyelamatkan diri. Maka bisa kita dapati saat ini banyaknya kampung
Suku Bugis di wilayah lain di luar Sulawesi Selatan, seperti di Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Kalimantan; bahkan sampai di
wilayah negara tetangga: Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Agama Pada mulanya, agama Suku Bugis adalah animisme yang diwariskan
secara turun-temurun. Namun animisme itu terkikis sejak ulama asal
Sumatera bernama Datuk Di Tiro menyebarkan ajaran Islam di Sulawesi
Selatan. Islam kemudian menjadi agama utama Suku Bugis hingga kini.
Pun demikian, beberapa komunitas Suku Bugis tidak mau meninggalkan
animisme. Ketika Pemerintah Indonesia menawarkan kepada mereka lima
agama untuk dianut, mereka lebih memilih agama Budha atau Hindu yang
mereka anggap menyerupai animisme mereka. Maka jangan heran kalau ada
orang Bugis yang menunjukkan KTP-nya bertuliskan agama Budha atau Hindu.
Raisa Pake Baju Bodo Bugis
Bahasa dan Adat Suku Bugis memiliki bahasa sendiri, bahkan dilengkapi dengan huruf sendiri yang disebut huruf lontara’. Bahkan uniknya, logat bahasa Bugis berbeda di setiap wilayahnya; ada yang kasar dan ada yang halus.
Bahasa dan Adat Suku Bugis memiliki bahasa sendiri, bahkan dilengkapi dengan huruf sendiri yang disebut huruf lontara’. Bahkan uniknya, logat bahasa Bugis berbeda di setiap wilayahnya; ada yang kasar dan ada yang halus.
Selain bahasa, Suku Bugis juga kental dengan adat yang khas: adat
pernikahan, adat bertamu, adat bangun rumah, adat bertani, prinsip
hidup, dan sebagainya. Meskipun sedikit banyaknya telah tercampur dengan
ajaran Islam.
Bahasa, huruf, dan adat sendiri yang dimiliki Suku Bugis menandakan
satu hal: Suku Bugis pada masanya memiliki peradaban yang luar biasa
hebatnya. Nenek moyang Suku Bugis adalah orang-orang pintar yang mampu
menciptakan dan mewariskan ilmu pengetahuan.
Tokoh yang terkenal, yaitu: BJ. Habibie (mantan Presiden), Jusuf kalla (mantan wapres), AM. Mallarangeng dll.
3. Suku Mandar:

Parade Gadis-Gadis Cantik Suku Mandar
Suku Mandar merupakan suku asli yang berada di Sulawesi Barat (dulunya bagian dari Propinsi Sulawesi Selatan). Wilayah utama Suku mandar mendiami kabupaten Polewali, Mandar dan Majene. Penyebaran suku Mandar ini juga berada di provinsi Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.. Populasi suku Mandar di Sulawesi Barat diperkirakan lebih dari 260.000 orang dan di Kalimantan Selatan 29.322 orang pada sensus tahun 2000.
Suku Mandar masih berkerabat dengan suku Bugis dan Makassar, karena
terdapat kedekatan dalam segi asal-usul sejarah, budaya dan bahasa. Suku
Mandar ini termasuk salah satu suku yang suka hidup di laut, termasuk
salah satu suku bahari, tapi mereka berbeda dengan suku Bajo dan
suku-suku laut. Pemukiman mereka kebanyakan berhadapan langsung dengan
laut lepas. Mereka menganggap lautan sebagai rumah dan ladang untuk
mencari sumber kehidupan.
Dalam catatan sejarah Tana Mandar, dijelaskan bahwa Pitu Ulunna Salu
(Tujuh Hulu Sungai) dan Pitu Ba, Bana Binanga (Tujuh Muara Sungai),
adalah negara wilayah Mandar. Orang-orang dari wilayah itu, menyatakan
diri masih bersaudara dalam kesatuan Mandar. Orang Mandar percaya bahwa
mereka berasal dari Ulu Sa’ (nenek moyang), yang bernama Tokombong di
Wura (laki-laki) dan Towisse di Tallang (perempuan). Mereka itu di sebut
juga To-Manurung di Langi.
Kehidupan laut bagi suku Mandar adalah kehidupan yang telah dilakoni sejak ribuan tahun yang lalu, sejak dari zaman nenek moyang mereka yang telah bersahabat dengan laut. Laut bagi mereka adalah pemberi segalanya bagia mereka, yang memberi banyak sumber pengetahuan bagi mereka.
Pengetahuan laut mereka adalah rumpon (roppong) adalah merupakan
teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan yang diciptakan oleh para
pelaut Mandar, yang terbuat dari rangkaian daun kelapa dan rumput laut,
dan satu lagi yaitu perahu sandeq, yang merupakan perahu layar bercadik
khas Mandar yang memiliki kecepatan yang tinggi.
Perahu-perahu suku Mandar terbuat dari kayu, namun mampu dengan
lincah menyeberangi lautan bebas. Panjang sekitar 8-11 m dan lebar 60-80
cm, dan di sisi kiri dan kanan dipasang cadik dari bambu sebagai
penyeimbang. Untuk berlayar, perahu tradisional ini mengandalkan
dorongan angin yang ditangkap dengan layar berbentuk segitiga. Layar itu
mampu mendorong Sandeq hingga berkecepatan 20 knot. Kecepatan yang
tinggi untuk perahu dari kayu.
Pada masa lalu masyarakat suku Mandar memiliki ras nomaden laut, beberapa abad yang lalu, banyak dari mereka melakukan perjalanan melintas laut menyeberang ke pulau-pulau lain, sehingga banyak ditemukan pemukiman suku Mandar di daratan pulau Kalimantan, terutama di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Suku Mandar memiliki tradisi adat dan bahasa yang sangat kuat. Filosofi hidup dan prinsip hidup mereka berbeda dengan suku Bugis, Makassar, Toraja dan suku lainnya yang menjadi suku tetangga mereka di Sulawesi.
Agama mayoritas suku Mandar adalah pemeluk agama Islam yang taat,
diperkirakan sekitar 90% adalah pemeluk agama Islam, sedangkan pemeluk
agama lain hanya sebesar 10%. Beberapa tradisi adat dan budaya suku
Mandar banyak dipengaruhi oleh budaya Islam.
Suku Mandar dalam kehidupan sehari-hari untuk bertahan hidup,
mayoritas adalah berprofesi sebagai nelayan. Mereka menangkap ikan
dengan perahu-perahu layar berukuran kecil selama beberapa hari. Mereka
pandai menentukan kapan harus melaut sesuai dengan kondisi angin dan
cuaca yang akan mereka hadapi di tengah laut. Selain itu beberapa ada
juga yang berprofesi sebagai pedagang. Di halaman rumah, mereka
memelihara beberapa hewan ternak untuk melengkapi kebutuhan daging bagi
keluarga mereka.
4. Suku Toraja

Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang
yang berdiam di negeri atas”. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku
ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman,
rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja
merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan
orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka
masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal
tahun 1900-an, misionaris Belandadatang dan menyebarkan agama Kristen.
Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten
Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja
dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog.
Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya,
dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi
masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor
pariwisata yang terus meningkat.
Identitas etnis
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri
mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum
penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di
daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak
beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual
menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam
dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran
tinggi Sulawesi. “Toraja” (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang,
dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan
penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada
awalnya “Toraja” lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang
luar—seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar
dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran
tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja
memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa’dan Toraja, dan
identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana
Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis
utama—suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut),
suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan),
dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).
sumber: https://andihidayat1505.wordpress.com/2018/06/01/suku-suku-yang-terdapat-di-sulawesi-selatan/
Komentar
Posting Komentar