Suatu perbuatan bisa saja halal dan
boleh bagi seseorang tapi diharamkan bagi orang lainnya , tergantung
pada kondisi orang tersebut. Allah menjelaskan hal ini dalam beberapa
ayat Al Qur’an antara lain didalam surat Al maidah ayat 3 :
3.
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai , darah, daging babi , (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk,dan diterkam binatang buas, kecuali
yang sempat kamu menyembelihnya , dan (diharamkan bagimu) yang
disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan
anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.
Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah
kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu
jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al maidah 3)
Kapan seseorang boleh memakan atau
menghalalkan apa yang dilarang itu, maka hanya orang yang
bersangkutanlah yang tahu sampai berapa besar kondisi darurat yang
dialaminya. Setiap orang bertanggung jawab terhadap keputusan yang
diambil. Jika mereka bertanya pada orang yang tidak tahu keadaan mereka
yang sebenarnya maka jawabannya adalah haram. Maka yang bisa
memutuskan hanyalah dirinya sendiri. Satu kisah tentang kondisi seperti
itu diceritakan sebagai berikut
Adalah Abu ‘Abdurrahman Abdullah ibn al
Mubarak al Hanzhali al Marwazi, seorang ulama’ masyhur di Makkah yang
menceriterakan riwayat ini.
Suatu ketika, setelah selesai menjalani
ritual ibadah haji, ia beristirahat dan tertidur. Dalam tidurnya ia
bermimpi melihat dua Malaikat yang turun dari langit, dan mendengar
percakapan keduanya.
”Berapa orang yang datang tahun ini (untuk haji) ?” tanya satu malaikat kepada malaikat lainnya.
”Tujuh ratus ribu jama’ah” jawab Malaikat yang ditanya.
”Berapa banyak dari mereka yang diterima ibadah hajinya ?”
”Tidak satupun”
—– *** —–
Percakapan itu membuat sang Abdullah al Mubarak bergemetar.
”Apa ?” ia menangis dalam mimpinya.
“Semua orang – orang ini telah datang dari belahan bumi yang jauh,
dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan,
berkelana menyusuri padang pasir yang luas, dan semua usaha mereka
menjadi sia – sia ?”
Sambil gemetar, ia melanjutkan mendengar percakapan kedua malaikat itu.
”Namun ada seseorang, yang meskipun
tidak datang menunaikan ibadah haji, akan tetapi ibadah hajinya diterima
dan seluruh dosanya telah diampuni. Berkat dia seluruh ibadah haji
mereka diterima oleh Allah”
”Kenapa bisa begitu ?”
”Itu kehendak Allah”
”Siapa orang tersebut ?”
”Sa’id ibn Muhafah tukang sol sepatu di Kota Dimasyq (Damaskus)”
Mendengar ucapan itu, Abdullah al
Mubarak itupun langsung terbangun dari tidurnya. Sepulang haji, ia tak
langsung pulang menuju rumah, akan tetapi langsung menuju kota Damaskus,
Syiria. Hatinya bergetar dan bertanya – tanya.
Sesampai disana, ia langsung mencari
sang tukang sol yang disebut Malaikat dalam mimpinya. Hampir semua
tukang sol sepatu ia tanya, apakah ada tukang sol sepatu yang bernama
Sa’id ibn Muhafah.
”Ada, di tepi kota” jawab salah seorang tukang sol sepatu sambil menunjuk arahnya.
Sampai disana ia mendapati seorang
tukang sol sepatu yang berpakaian amat lusuh, “Benarkah anda bernama
Sa’id ibn Muhafah ?” tanya ibn al Mubarak.
”Betul, siapakah tuan ?”
”Aku Abdullah ibn al Mubarak”
Sa’id pun terharu, “Tuan adalah Ulama’ terkenal, ada apa gerangan mendatangi saya ?”
Sejenak, Ulama’ itupun kebingungan, darimana ia akan memulai pertanyaanya. Akhirnya iapun menceritakan perihal mimpinya.
”Saya hendak tahu, adakah sesuatu yang
telah anda perbuat, sehingga anda berhak mendapatkan pahala haji mabrur,
dan membuat mabrur ibadah haji para jama’ah yang lain ?”
”Wah saya sendiri tidak tahu”
”Coba ceritakan bagaimana kehidupan anda selama ini”
Maka Sa’id ibn Muhafah pun bercerita, “Setiap tahun, setiap musim haji, aku selalu mendengar suara talbiyah : ‘Labbaika Allahumma labbaika. Labbaika laa syariika laka labbaika. Innal hamda wanni’mata laka wal mulka. laa syariika laka’ dan,
setiap kali aku mendengar talbiyah itu, aku selalu menangis ‘ya Allah
aku rindu Makkah. ya Allah aku merindu Ka’bah. Ijinkan aku datang,
ijinkan aku datang ya Allah’ oleh karena itu, sejak puluhan tahun yang
lalu. Setiap hari saya menyisihkan uang dari hasil kerja saya sebagai
tukang sol sepatu. Sedikit demi sedikit saya kumpulkan, hingga akhirnya
pada tahun ini, saya memiliki 350 dirham, cukup untuk saya berhaji, saya
sudah siap berhaji”
”Tapi anda batal berangkat haji”
”Benar”
”Apa yang terjadi ?”
”Ketika itu, Istri saya hamil, dan mengidam. Waktu saya hendak berangkat, saat itu dia ngidam berat”
”Suamiku, menciumkah engkau bau masakan yang nikmat ini ?”
”Iya, sayang”
”Cobalah kau cari, siapakah yang masak sehingga baunya begitu nikmat. Mintalah sedikit untukku”
”Ustadz, kemudian sayapun mencari
sumber bau masakan itu. Ternyata berasal dari gubug yang hampir runtuh.
Disitu ada seorang janda dan enam anaknya. Saya mengatakan kepadanya
bahwa istri saya ingin masakan yang ia masak, meskipun sedikit. Janda
itu diam saja memandang saya, sehingga saya mengulangi perkataan saya”
Akhirnya dengan perlahan ia mengatakan, “tidak boleh, Tuan”
”Dijual berapapun akan saya beli”
”Makanan itu tidak dijual, Tuan” katanya sambil berlinang mata.
”Kenapa ?”
Sambil menangis, janda itu menjawab, “Daging ini halal untuk kami dan haram untuk Tuan”
Dalam hati saya, “Bagaimana ada makanan
yang halal untuk dia, tetapi haram untuk saya, padahal kita sama-sama
muslim ?” Karena itu saya mendesaknya lagi “Kenapa ?”
”Sudah beberapa hari ini kami tidak
makan. Di rumah sama sekali tak ada makanan. Hari ini kami melihat
keledai mati, lalu kami ambil sebagian dagingnya untuk kami masak, dan
kami makan” Sesenggukan janda itu menjelaskan.
”Bagi kami daging ini adalah halal,
karena andai kami tak memakannya kami akan mati kelaparan. Namun bagi
Tuan, daging ini haram”
Mendengar ucapan tersebut, saya
menangis, kemudian kembali pulang. Aku ceritakan perihal kejadian itu
pada istriku, iapun menangis. Hingga akhirnya, kami memasak makanan dan
mendatangi rumah janda tersebut.
”Ini masakan untukmu”
Uang peruntukan Haji sebesar 350 dirham
pun saya berikan pada mereka. “Pakailah uang ini untukmu sekeluarga.
Gunakanlah untuk usaha, agar engkau tidak kelaparan lagi”
Ya Allah … disinilah Hajiku
Ya Allah … disinilah Makkahku
Mendengar cerita tersebut, Abdullah al Mubarak pun tak bisa menahan air matanya.
Mudah mudahan ini bisa menjadi pelajaran dan ibrah bagi kita semua.
sumber: http://www.fadhilza.com/2017/08/kisah-hikmah/halal-buat-kami-tapi-haram-buat-kamu.html
Komentar
Posting Komentar