Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan. Selain dengan jalan damai, Islam juga disebarkan melalui peperangan dengan raja-raja Bugis yang menolak Islam.
Hari
ini dalam sejarah Islam di Nusantara, 22 September 1605 (Jumat, 9
Jumadil awal 1014 H), Raja Tallo sekaligus mangkubumi Kerajaan Gowa, I
Malingkang Daeng Manyonri’, memeluk Islam. Dia mendapat nama Islam,
yaitu Sultan Abdullah Awwalul Islam. Pada saat yang sama, Raja Gowa
ke-14, I Manga’rangi Daeng Manrabia, juga memeluk Islam. Dia menerima
nama Islam, yaitu Sultan Alauddin.
Raja Gowa dan Raja Tallo
memutuskan memilih Islam dan mengundang guru agama dari Koto Tengah,
Minangkabau yang berada di Aceh, untuk mengajarkan Islam di Sulawesi
Selatan. Datanglah tiga mubalig yang dikenal sebagai Dato’ Tallu di
Makassar atau Datu’ Tellu di Bugis, yaitu Dato’ri Bandang (Abdullah
Makmur alias Khatib Tunggal), Dato’ri Pattimang (Sulaiman alias Khatib
Sulung), dan Dato’ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu). Ketiganya
berperan penting dalam Islamisasi di Sulawesi Selatan.
Menurut Prof. Dr. Ahmad M. Sewang dalam Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI sampai Abad XVII, Sultan
Alauddin kemudian mengeluarkan dekrit pada 9 November 1607 di hadapan
jemaah salat Jumat bahwa Kerajaan Gowa sebagai kerajaan Islam dan pusat
Islamisasi di Sulawesi Selatan. Islam menjadi agama kerajaan dan agama
masyarakyat.
Untuk merealisasikan dekrit itu, Sultan Alauddin
mengirim utusan ke kerajaan-kerajaan tetangga dengan membawa hadiah
untuk para raja. Kerajaan-kerajaan yang menyambut baik antara lain
Sawitto, Balanipa di Mandar, Bantaeng, dan Selayar.
Selain dengan
jalan damai, menurut Ahmad, penyebaran Islam juga dilakukan dengan
peperangan. Tiga kerajaan Bugis: Bone, Wajo, dan Soppeng yang tergabung
dalam aliansi Tellunpoccoe (tiga kerajaan besar), persekutuan untuk
menghadapi Kerajaan Makassar, menolak seruan agar memeluk Islam. Maka,
pecahlah perang antara Kerajaan Makassar yang terdiri dari Kerajaan Gowa
dan Tallo melawan Kerajaan Bugis yang terdiri dari Kerajaan Bone,
Soppeng, dan Wajo. Menurut lontara Bugis perang itu disebut mussu selleng (perang pengislaman) yang oleh antropolog Prancis, Christian Pelras, penulis Manusia Bugis, diterjemahkan sebagai Islamic war.
“Meskipun
terjadi perang dengan raja-raja Bugis yang menolak ajakan pengislaman
akibat kesalahpahaman, Gowa senantiasa tetap menyebarkan Islam menurut
prinsip dawah Islamiyah. Bagi masyarakat Bugis perang itu dianggap
sebagai musu selleng (perang pengislaman) yang menyimpan banyak
korban dan dendam,” tulis Prof. Dr. Abu Hamid dalam biografi ulama
Sulawesi Selatan, Syekh Yusuf Seorang Ulama Seorang Pejuang.
Ahmad
menyatakan bahwa terlepas dari motivasi yang mendorong Sultan Alauddin
mengumumkan perang terhadap kerajaan-kerajaan Bugis, perang itu
menguntungkan proses Islamisasi di Sulawesi Selatan sebab diiringi
dengan pengislaman terhadap raja-raja yang ditaklukkan. Gowa menaklukkan
Kerajaan Soppeng pada 1609, Kerajaan Wajo pada 1610, dan Kerajaan Bone
1611. Dengan Raja Bone masuk Islam, sebagian besar wilayah Sulawesi
Selatan telah memeluk Islam, kecuali Tana Toraja.
“Dengan
demikian proses Islamisasi antara 1605 sampai 1611 merupakan periode
penerimaan Islam secara besar-besaran. Setelah itu, dimulailah proses
sosialisasi Islam ke dalam struktur kerajaan dan kehidupan masyarakat.
Kelihatannya, proses itu berjalan dengan tidak banyak menimbulkan
pertentangan. Hal ini terjadi karena sejak semula, penyebaran Islam
dilakukan atas prakarsa raja, serta atas kemampuan adaptasi yang
diperlihatkan oleh para penyiar Islam,” tulis Ahmad.
sumber: https://historia.id/agama/articles/perkembangan-islam-di-sulawesi-selatan
Komentar
Posting Komentar