Benny Moerdani disebut sukses melindungi Presiden Soeharto hingga menjelang akhir kekuasaannya. Terpental karena ketersinggungan sang presiden.
RIA
Moerdani tak pernah melupakan kejadian itu. Suatu hari, di jalanan
Jakarta ia menemukan selebaran dan surat kaleng yang isinya
mendiskreditkan Leonardus Benyamin Moerdani (akrab dipanggil Benny
Moerdani). Segera ia membawa selebaran-selebaran itu ke rumahnya. Maksud
hati ingin memberitahu sang ayah, namun sampai di rumah Ria justru
mendapatkan Benny tengah membaca selebaran-selebaran yang sama.
Seperti disampaikan kepada penulis Julius Pour dalam Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan,
Ria menyatakan rasa khawatirnya terhadap isi selebaran-selebaran
tersebut. Namun sejak awal sang ayah memang kerap mengingatkan dia dan
ibunya untuk selalu siap menghadapi kenyataan terburuk.
“…Pekerjaan saya ini banyak resikonya, jadi kamu sama Mama harus selalu bersiap-siap…” ungkap jenderal kelahiran Surakarta itu.
Penjaga Soeharto
Kala diwawancara oleh jurnalis Far Eastern Economic Review David
Jenkins, Benny mengaku hubungannya dengan Soeharto layaknya hubungan
antara anak dan ayah. Sang jenderal sendiri mengenal Soeharto secara
akrab saat mereka berdua terlibat dalam Operasi Trikora dan Operasi
Naga, dua aksi militer Indonesia untuk menguasai Irian Barat pada awal
1960-an.
Kepada Historia, pengamat militer Salim Haji
Said menyebut sejak awal Benny sudah “cocok” dengan Soeharto, begitu
juga sebaliknya. Ketika Soeharto sudah menjadi presiden, sementara Benny
menjadi intel di Kuala Lumpur dan kemudian Seoul. Namun setiap sang
presiden melawat ke luar negeri, Benny selalu didatangkan secara khusus
untuk menjaga keselamatan Soeharto.
“Artinya Soeharto sudah lama percaya kepada Benny dan mengakui keandalannya sebagai security officer…” ujar Said.
Hal
senada juga diungkapkan oleh kolega dekat Benny yakni Marsekal Muda TNI
(Purn) Teddy Rusdy. Menurut anak buah Benny semasa di badan intelijen
tersebut, loyalitas atasannya itu kepada Soeharto tak perlu diragukan
lagi. Begitu loyalnya, hingga hal-hal terburuk tentang Soeharto dan
keluarganya yang mengancam masa depan pemerintahannya pun selalu dia
sampaikan kepada sang presiden sendiri.
“Dia itu seorang loyalis
beneran, tidak pernah dia melaporkan sesuatu hal yang sifatnya ABS (Asal
Bapak Senang) saja kepada Pak Harto,” ujar Teddy Rusdy.
Pamor
Benny sebagai penjaga setia Soeharto itu memunculkan ketidaksenangan di
sebagian pihak yang merupakan lingkaran terdekat dari Soeharto. Sebagai
contoh, pada saat Benny akan diangkat sebagai Panglima ABRI, muncul
selentingan isu yang menyebut dia akan melakukan kudeta terhadap
Soeharto.
Isu yang bertiup kencang tersebut sempat membuat
menantu Soeharto yakni Kapten Prabowo Soebianto nyaris melakukan
gerakan. Menurut Sintong Panjaitan dalam Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando
karya jurnalis Hendro Subroto, Prabowo bahkan sempat mendatangi Mayor
Luhut Panjaitan untuk mengajak atasannya tersebut menyelamatkan negara
dari kudeta Letnan Jenderal L.B. Moerdani.
Teddy sendiri menyebut
isu itu sebagai omong kosong. Ketika selentingan tersebut bertiup,
Teddy mengaku langsung meminta pendapat kepada sejumlah jenderal seperti
Try Soetrisno dan Eddi Soedradjat dan Brigadir Jenderal Jasmin selaku
atasan Prabowo di Kopassandha (sekarang Kopassus). Mereka kompak
menyatakan ketidakpercayaannya akan isu tersebut.
“Pernyataan Pak Benny Moerdani mau kudeta adalah fitnah tanpa fakta,” ujar Teddy dalam biografinya: 70 Tahun Teddy Rusdy: Think Ahead karya Servas Pandur.
Lalu
apakah Presiden Soeharto sendiri mempercayai isu tersebut? Sejarah
membuktikan Soeharto tetap mendapuk Benny sebagai Panglima ABRI
menggantikan Jenderal M. Yusuf.
Disingkirkan
Pada
Februari 1988, suhu politik Indonesia mulai menghangat. Berbagai
kalangan menyebut nama Benny sebagai calon Wakil Presiden selain
Sudharmono dan H.J. Naro. Kendati sempat mengencang, isu itu ditepis
langsung oleh Benny. Alih-alih menyatakan keinginannya untuk menjadi
Wakil Presiden, ia justru memberi jalan kepada koleganya Try Soetrisno
dengan “mengorbankan” jabatannya sebagai Panglima ABRI.
“…Kalau
saya masih menjadi Ketua “Partai ABRI”. Tetapi sejak dua jam lalu, ketua
partai sudah bukan di tangan saya lagi, melainkan Try…” ungkap Benny
dalam biografinya. Nyatanya harapan Benny kandas. Soeharto justru
“memilih” Sudharmono sebagai pendampingnya hingga 1993.
Meski Try
tidak terpilih, Benny tetap duduk di Kabinet Pembangunan V sebagai
Menteri Pertahanan. Walaupun demikian, upaya Benny untuk memuluskan
jalan Try ke posisi Wakil Presiden dengan berbagai manuver politik
membuat sikap Soeharto berubah. Dia mulai “mencurigai” Benny.
Puncaknya
terjadi ketika anak-anak Soeharto beserta sebagian mantu-mantunya
terlibat berbagai bisnis besar di Republik ini. Banyak kalangan yang
gerah melihat situasi tersebut. Teddy masih ingat, saat menjadi Panglima
ABRI, dia bersama Benny sempat membuat analisa bahwa kondisi itu akan
menjadi faktor tidak menguntungkan secara politis bagi Presiden
Soeharto.
Soal ini sempat disampaikan langsung oleh Benny kepada
Soeharto. Alkisah suatu hari dia datang ke jalan Cendana lantas diajak
bermain biliar oleh Soeharto. Di tengah permainan itulah secara hat-hati
Benny menyampaikan kritiknya terhadap tingkah laku anak-anak dan
mantu-mantu Soeharto yang dinilainya sudah “keluar jalur” dalam
melakukan bisnis.
Menurut Julius Pour, Benny menyebut kondisi
tersebut membahayakan bagi Soeharto. Namun secara tegas, dia menyatakan
ABRI masih berada di belakang sang presiden. “Tapi saya tidak bisa
menjamin mereka juga bakal mendukung putra-putri Bapak…” ujar Benny.
Usai
Benny bicara, tetiba Soeharto meletakan tongkat biliar, lalu
meninggalkan Benny begitu saja. Sang jenderal tadinya mengira, Soeharto
pergi ke toilet. “Ternyata dia meninggalkan saya untuk tidur. Maka saya
sadar dia marah atas kata-kata yang baru saja saya ucapkan…” demikian
pengakuan Benny kepada penulis Julius Pour.
Sejak itulah,
Soeharto seolah tak lagi membutuhkan Benny. Baginya, sedekat apapun
hubungan Benny dengan dirinya, sang loyalis tersebut tidak berhak
mengurusi urusan pribadinya, termasuk soal bisnis anak-anak dan para
mantunya. Hal ini pula yang disampaikan Soeharto kepada Try Soetrisno
saat suatu hari sang wapres menyampaikan keprihatinan para jenderal
senior terhadap kegiatan bisnis putra-putrinya.
“Try, apakah ada
aturannya atau undang-undang yang melarang anak pejabat berbisnis? Kalau
ada, saya tidak mau jadi Presiden…” kata Soeharto seperti dilansir
Salim Haji Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintah Otoriter Soeharto.
Karier
Benny lambat laun tenggelam. Pada saat Presiden Soeharto melantik para
menteri yang duduk di Kabinet Pembangunan VI, sosoknya tak lagi nampak.
sumber: https://historia.id/modern/articles/loyalis-yang-disingkirkan
Komentar
Posting Komentar