Debut pertama.
Bagai anjing gembala
menari cha-cha.
Bagai anjing gembala
menari cha-cha.
tirto.id
- "Apa yang membuatmu ingin menulis lagu? Itu adalah caramu untuk bisa
menelusup ke hati seseorang. Kamu ingin berakar di sana, atau setidaknya
memiliki gema. Rasanya menyentuh hati manusia lain itu sudah jadi
obsesiku."
Keith Richards sudah tahu sejak lama bahwa ia akan jadi musisi dan menyentuh hati jutaan orang. Namun, ia tak menyadari bahwa bahwa Mick Jagger, kawan sekelasnya di SD Wentworth, Kent akan menjadi rival abadinya sekaligus calon rekan band-nya. Pada 1950-an, saat Jagger pindah ke Wilmington, sekitar 8 kilometer dari Kent, Richards merasa perpisahan itu biasa saja. Tak berbekas apapun di hati seorang anak SD.
Pertemuan Jagger dan Richards kembali terjadi pada 1960 dengan suasana yang mirip sinetron musikal manapun. Di stasiun Dartford, Richards tak sengaja bertemu dengan Jagger yang membawa piringan hitam Chuck Berry dan Muddy Watters, dua idola Richards. Mereka kemudian memutuskan untuk bikin band. Diajak pula Dick Taylor, kawan Jagger yang turut menggemari blues. Ada pula Alan Etherington dan Bob Beckwith—yang menurut Keith di biografinya, Life (2010) adalah satu dari sedikit sekali gitaris yang punya amplifier. Kuintet ini menamakan diri sebagai Blues Boys.
Di tempat lain, Brian Jones bermain bersama Blues Incorporated. Jones, gitaris, adalah pria brilian berotak jenius tetapi punya banyak masalah. Ia menghamili beberapa perempuan, juga pernah dipecat dari tempat kerja karena mencuri. Ia pergi ke London untuk kabur dari segala masalahnya, dan bermain musik. Di Blues Incorporated, Brian bermain bersama pemain keyboard Ian Stewart dan drummer Charlie Watts.
Melalui pemain bass bernama Dick Taylor, Jones mulai rutin ngejam bareng Stewart, Richards, Jagger, Bob Beckwith, dan Alan Etherington. Mereka mulai memainkan lagu-lagu blues klasik dan sedikit rock n roll. Repertoarnya mulai dari John Lee Hooker, Buddy Holly, juga Chuck Berry. Tapi tak seperti sekarang, Jagger merupakan seorang pemalu, karenanya menjadi vokalis latar. Mereka mulai rutin bermain di klub-klub seputaran London, terutama di klub bernama Korner milik penyiar radio dan musisi blues terkenal Inggris, Alexis Korner.
Dalam Brian Jones: The Making of Rolling Stones (2014), Jagger tetap menjadi vokalis latar. Di atas panggung itu, ia mulai mengatasi rasa malu. Musik rock n roll membuat darahnya panas dan membuat keliaran yang semula terkurung jadi lepas. Ia sering joget di atas panggung dengan ugal-ugalan. Suatu hari ada seorang perempuan datang pada Andy Hoogenboom, pemain bass Korner.
"Apakah pria yang berjoget dengan gila itu akan bermain lagi hari ini?"
Yang dimaksud adalah Jagger. Kelak, joget ala Jagger ini begitu menginspirasi banyak orang. Chris Jagger, adik Mick, mengatakan gaya joget Jagger itu dipengaruhi oleh penari Inggris Victor Silvester, sedikit cha-cha-cha, dan gaya eksplosif ala James Brown. Maroon Five bahkan membuat ode khusus berjudul "Moves Like Jagger".
Musisi di band datang dan pergi. Hingga akhirnya menyisakan beberapa orang: Brian Jones dan Keith Richards di gitar, Mick Jagger naik pangkat jadi vokalis utama, pemain bass Dick Taylor, Mick Avory pada drum, dan Ian Stewart pada keyboard. Suatu hari Jones, Jagger, dan Richards ingin memasang iklan di Jazz News untuk memberi tahu band mereka akan manggung.
"Siapa nama bandnya?"
Tiga orang bloon ini saling berpandangan. Untung ada piringan hitam The Best of Muddy Waters yang sedang diputar dan di speaker terdengar track pertama, "Rollin' Stone". Tiga orang ini langsung berteriak:
"The Rolling Stones!"
"Ketika kamu bermain dan penonton bersemangat, rasanya melebihi apapun. Ada momen-momen tertentu yang membuatmu merasa terbang meninggalkan bumi dan tak ada yang dapat menyentuhmu. Kamu merasa terbang karena kamu bermain bersama orang-orang yang punya tujuan sama. Dan ketika itu berhasil, rasanya kamu seperti punya sayap," kata Richards.
Jalan menuju ketenaran masih jauh. Untuk hidup, kadang mereka masih perlu mencuri makanan. Pada 1962, Bill Wyman masuk menggantikan Taylor. Pada 1963, giliran Charlie Watts yang menggantikan Avory. Kepingan terakhir dalam puzzle kesuksesan Stones adalah Andrew Loog Oldham yang menjadi manajer. Richards menyebut masuknya Oldham membuat, "segalanya bergerak dengan kecepatan amat tinggi. Dalam waktu dua minggu, tiba-tiba saja kami dapat kontrak rekaman."
Andrew pula yang mengatur agar Stones tak tampil sebagai kembaran Beatles. Ia ingin Stones menjadi antitesis Beatles yang dianggap anak manis. Stones—walau pada awal kariernya memakai stelan jas serupa Beatles—pada akhirnya mempunyai citra yang amat berbeda. Stones adalah anak-anak bengal yang memainkan musik blues cepat dan liar.
Sehari setelah meneken kontrak rekaman, Stones masuk ke Studio Olympic, tapi kebanyakan lagu direkam di Studio Regent Sounds pada periode Januari dan Februari 1964. Richards menyebut Regent adalah studio kecil yang penuh dengan kotak telur, tape recorder bermerek Grundig, dan perekam yang digantung di tembok.
Album debut ini diberi judul sederhana: The Rolling Stones. Dirilis pada 16 April 1964, tepat hari ini 54 tahun lalu, album ini berisi 12 lagu. Dari semua senarai lagu, hanya satu yang merupakan lagu Stones sendiri, yakni "Tell Me (You're Coming Back)" yang dibuat oleh Jagger dan Richards. Sisanya lagu klasik dari musisi yang sudah masyhur, seperti "Carol" milik Chuck Berry, "Route 66" dari Bobby Troup, sampai "Little by Little" dari Phil Spector.
Album ini juga dirilis di Amerika Serikat pada 30 Mei 1964 dengan judul England's Newest Hit Makers. Saat itu tanah Amerika adalah daratan yang asing dan sukar ditembus. The Beatles dianggap sudah membuka jalan bagi band-band Inggris untuk masuk ke sana. Stones mengikuti jalannya, tetapi menempuh rute yang amat berbeda.
Dalam Mick Jagger (2012), buku biografi yang ditulis oleh
Philip Norman, disebutkan ada banyak perbedaan saat Beatles dan Stones
memasuki pasar Amerika. Beatles sudah punya lagu "I Want to Hold Your
Hand" yang jadi nomor satu di berbagai tangga lagu Amerika Serikat.
"Jelas, kemunculan pertama album Rolling Stones itu masih jauh dari level Lennon dan McCartney," tulis Norman.
Di sini lah, peran Andrew Oldham tampak dominan. Ia membuat Stones hadir sebagai, "penyakit herpes baru." Sebuah band yang amat berlawanan dibanding Beatles. Oldham membuat beberapa kalimat promosi yang disebar di berbagai koran dan tabloid, juga radio.
"Mengikuti jejak Beatles, kini datang para orang Inggris gelombang kedua dengan penampilan serupa anjing gembala yang marah [...] Lebih kotor, lebih liar, dan lebih nakal ketimbang Beatles."
Namun segala promosi itu gagal di Amerika. Stones, terutama Jagger, ternyata lebih sopan dari yang dipromosikan. Apalagi Jagger, yang berasal dari kelas menengah mapan dan sempat sekolah di London School of Economics yang elite itu.
Tapi di Inggris, penjualan album debut Stones itu sukses besar. Philip Norman menyebut bahwa pemesanan awal album debut Stones itu diperkirakan lebih dari 100 ribu keping. Sedangkan debut Beatles, Please Please Me hanya enam ribu. Sebagai propagandis ulung, Oldham menyebut Stones "sukses membuat Beatles tersungkur di kandangnya sendiri".
Perseteruan Stones vs Beatles yang dibuat oleh manajer dan media, kemudian berkembang menjadi semacam kisah rivalitas klasik. Resepnya terus diulang sampai sekarang, termasuk duplikasi pada kasus, misalkan, Oasis melawan Blur.
Dalam buku Beatles VS Stones (2014), penulis John McMilans menyebut pada akhirnya dua band ini memiliki keunggulan masing-masing. Dari segi karier, Stones berhasil melampaui semua band seangkatan mereka. Dari 1964, mereka terus aktif bermusik dan tur bahkan hingga 2018. Sedangkan Beatles harus bubar pada 1970. Namun karena itu pula, fans melihat Stones menua dan sebagian menganggap mereka membosankan.
Sedangkan Beatles yang bisa dibilang bubar di puncak kejayaan, melahirkan apa yang disebut orang Portugal sebagai saudade: perasaan merindukan sesuatu yang tak pernah dialami, atau gairah meraih sesuatu yang tak akan pernah terjadi.
"Secara paradoks, Beatles yang menolak untuk reuni, malah memperkaya warisan musikal mereka. Tidak seperti banyak band pop dan rock tahun 60 dan 70, Beatles pensiun ketika mereka nyaris di puncak kejayaan. Mereka tak merusak katalog musik mereka dengan album medioker, dan mereka tak menjadikan diri sebagai band tur, yang menjual lagu hits dari empat dekade lalu untuk generasi sekarang," tulis McMilans.
Apapun itu, album pertama Stones adalah pondasi bagi karier panjang mereka yang terus bertahan hingga sekarang. Stones mengalami jatuh bangun, termasuk meninggalnya Brian Jones pada 1969. Kehilangan itu sempat membuat Stones limbung, tapi duo Jagger dan Richards berhasil membuat para batu itu tetap menggelinding. Mengingat mereka masih tetap lari-lari di atas panggung di usia 70-an, memang hanya Tuhan yang akan tahu kapan mereka akan berhenti.
Keith Richards sudah tahu sejak lama bahwa ia akan jadi musisi dan menyentuh hati jutaan orang. Namun, ia tak menyadari bahwa bahwa Mick Jagger, kawan sekelasnya di SD Wentworth, Kent akan menjadi rival abadinya sekaligus calon rekan band-nya. Pada 1950-an, saat Jagger pindah ke Wilmington, sekitar 8 kilometer dari Kent, Richards merasa perpisahan itu biasa saja. Tak berbekas apapun di hati seorang anak SD.
Pertemuan Jagger dan Richards kembali terjadi pada 1960 dengan suasana yang mirip sinetron musikal manapun. Di stasiun Dartford, Richards tak sengaja bertemu dengan Jagger yang membawa piringan hitam Chuck Berry dan Muddy Watters, dua idola Richards. Mereka kemudian memutuskan untuk bikin band. Diajak pula Dick Taylor, kawan Jagger yang turut menggemari blues. Ada pula Alan Etherington dan Bob Beckwith—yang menurut Keith di biografinya, Life (2010) adalah satu dari sedikit sekali gitaris yang punya amplifier. Kuintet ini menamakan diri sebagai Blues Boys.
Di tempat lain, Brian Jones bermain bersama Blues Incorporated. Jones, gitaris, adalah pria brilian berotak jenius tetapi punya banyak masalah. Ia menghamili beberapa perempuan, juga pernah dipecat dari tempat kerja karena mencuri. Ia pergi ke London untuk kabur dari segala masalahnya, dan bermain musik. Di Blues Incorporated, Brian bermain bersama pemain keyboard Ian Stewart dan drummer Charlie Watts.
Melalui pemain bass bernama Dick Taylor, Jones mulai rutin ngejam bareng Stewart, Richards, Jagger, Bob Beckwith, dan Alan Etherington. Mereka mulai memainkan lagu-lagu blues klasik dan sedikit rock n roll. Repertoarnya mulai dari John Lee Hooker, Buddy Holly, juga Chuck Berry. Tapi tak seperti sekarang, Jagger merupakan seorang pemalu, karenanya menjadi vokalis latar. Mereka mulai rutin bermain di klub-klub seputaran London, terutama di klub bernama Korner milik penyiar radio dan musisi blues terkenal Inggris, Alexis Korner.
Dalam Brian Jones: The Making of Rolling Stones (2014), Jagger tetap menjadi vokalis latar. Di atas panggung itu, ia mulai mengatasi rasa malu. Musik rock n roll membuat darahnya panas dan membuat keliaran yang semula terkurung jadi lepas. Ia sering joget di atas panggung dengan ugal-ugalan. Suatu hari ada seorang perempuan datang pada Andy Hoogenboom, pemain bass Korner.
"Apakah pria yang berjoget dengan gila itu akan bermain lagi hari ini?"
Yang dimaksud adalah Jagger. Kelak, joget ala Jagger ini begitu menginspirasi banyak orang. Chris Jagger, adik Mick, mengatakan gaya joget Jagger itu dipengaruhi oleh penari Inggris Victor Silvester, sedikit cha-cha-cha, dan gaya eksplosif ala James Brown. Maroon Five bahkan membuat ode khusus berjudul "Moves Like Jagger".
Musisi di band datang dan pergi. Hingga akhirnya menyisakan beberapa orang: Brian Jones dan Keith Richards di gitar, Mick Jagger naik pangkat jadi vokalis utama, pemain bass Dick Taylor, Mick Avory pada drum, dan Ian Stewart pada keyboard. Suatu hari Jones, Jagger, dan Richards ingin memasang iklan di Jazz News untuk memberi tahu band mereka akan manggung.
"Siapa nama bandnya?"
Tiga orang bloon ini saling berpandangan. Untung ada piringan hitam The Best of Muddy Waters yang sedang diputar dan di speaker terdengar track pertama, "Rollin' Stone". Tiga orang ini langsung berteriak:
"The Rolling Stones!"
Baca juga: The Rolling Stones yang Terus Menggelinding
Mulai Meniti Karier
Rolling Stones manggung pertama kali pada 12 Juli 1962 di The Marquee. Mereka memainkan lagu-lagu klasik seperti "Dust My Broom", "Baby What's Wrong", hingga "Got My Mojo Working". Panggung pertama itu begitu membekas."Ketika kamu bermain dan penonton bersemangat, rasanya melebihi apapun. Ada momen-momen tertentu yang membuatmu merasa terbang meninggalkan bumi dan tak ada yang dapat menyentuhmu. Kamu merasa terbang karena kamu bermain bersama orang-orang yang punya tujuan sama. Dan ketika itu berhasil, rasanya kamu seperti punya sayap," kata Richards.
Jalan menuju ketenaran masih jauh. Untuk hidup, kadang mereka masih perlu mencuri makanan. Pada 1962, Bill Wyman masuk menggantikan Taylor. Pada 1963, giliran Charlie Watts yang menggantikan Avory. Kepingan terakhir dalam puzzle kesuksesan Stones adalah Andrew Loog Oldham yang menjadi manajer. Richards menyebut masuknya Oldham membuat, "segalanya bergerak dengan kecepatan amat tinggi. Dalam waktu dua minggu, tiba-tiba saja kami dapat kontrak rekaman."
Andrew pula yang mengatur agar Stones tak tampil sebagai kembaran Beatles. Ia ingin Stones menjadi antitesis Beatles yang dianggap anak manis. Stones—walau pada awal kariernya memakai stelan jas serupa Beatles—pada akhirnya mempunyai citra yang amat berbeda. Stones adalah anak-anak bengal yang memainkan musik blues cepat dan liar.
Sehari setelah meneken kontrak rekaman, Stones masuk ke Studio Olympic, tapi kebanyakan lagu direkam di Studio Regent Sounds pada periode Januari dan Februari 1964. Richards menyebut Regent adalah studio kecil yang penuh dengan kotak telur, tape recorder bermerek Grundig, dan perekam yang digantung di tembok.
Album debut ini diberi judul sederhana: The Rolling Stones. Dirilis pada 16 April 1964, tepat hari ini 54 tahun lalu, album ini berisi 12 lagu. Dari semua senarai lagu, hanya satu yang merupakan lagu Stones sendiri, yakni "Tell Me (You're Coming Back)" yang dibuat oleh Jagger dan Richards. Sisanya lagu klasik dari musisi yang sudah masyhur, seperti "Carol" milik Chuck Berry, "Route 66" dari Bobby Troup, sampai "Little by Little" dari Phil Spector.
Album ini juga dirilis di Amerika Serikat pada 30 Mei 1964 dengan judul England's Newest Hit Makers. Saat itu tanah Amerika adalah daratan yang asing dan sukar ditembus. The Beatles dianggap sudah membuka jalan bagi band-band Inggris untuk masuk ke sana. Stones mengikuti jalannya, tetapi menempuh rute yang amat berbeda.
Antara Stones dan Beatles
Dalam Mick Jagger (2012), buku biografi yang ditulis oleh
Philip Norman, disebutkan ada banyak perbedaan saat Beatles dan Stones
memasuki pasar Amerika. Beatles sudah punya lagu "I Want to Hold Your
Hand" yang jadi nomor satu di berbagai tangga lagu Amerika Serikat."Jelas, kemunculan pertama album Rolling Stones itu masih jauh dari level Lennon dan McCartney," tulis Norman.
Di sini lah, peran Andrew Oldham tampak dominan. Ia membuat Stones hadir sebagai, "penyakit herpes baru." Sebuah band yang amat berlawanan dibanding Beatles. Oldham membuat beberapa kalimat promosi yang disebar di berbagai koran dan tabloid, juga radio.
"Mengikuti jejak Beatles, kini datang para orang Inggris gelombang kedua dengan penampilan serupa anjing gembala yang marah [...] Lebih kotor, lebih liar, dan lebih nakal ketimbang Beatles."
Baca juga:
Namun segala promosi itu gagal di Amerika. Stones, terutama Jagger, ternyata lebih sopan dari yang dipromosikan. Apalagi Jagger, yang berasal dari kelas menengah mapan dan sempat sekolah di London School of Economics yang elite itu.
Tapi di Inggris, penjualan album debut Stones itu sukses besar. Philip Norman menyebut bahwa pemesanan awal album debut Stones itu diperkirakan lebih dari 100 ribu keping. Sedangkan debut Beatles, Please Please Me hanya enam ribu. Sebagai propagandis ulung, Oldham menyebut Stones "sukses membuat Beatles tersungkur di kandangnya sendiri".
Perseteruan Stones vs Beatles yang dibuat oleh manajer dan media, kemudian berkembang menjadi semacam kisah rivalitas klasik. Resepnya terus diulang sampai sekarang, termasuk duplikasi pada kasus, misalkan, Oasis melawan Blur.
Dalam buku Beatles VS Stones (2014), penulis John McMilans menyebut pada akhirnya dua band ini memiliki keunggulan masing-masing. Dari segi karier, Stones berhasil melampaui semua band seangkatan mereka. Dari 1964, mereka terus aktif bermusik dan tur bahkan hingga 2018. Sedangkan Beatles harus bubar pada 1970. Namun karena itu pula, fans melihat Stones menua dan sebagian menganggap mereka membosankan.
Baca juga: Dalih Pembunuhan John Lennon
Sedangkan Beatles yang bisa dibilang bubar di puncak kejayaan, melahirkan apa yang disebut orang Portugal sebagai saudade: perasaan merindukan sesuatu yang tak pernah dialami, atau gairah meraih sesuatu yang tak akan pernah terjadi.
"Secara paradoks, Beatles yang menolak untuk reuni, malah memperkaya warisan musikal mereka. Tidak seperti banyak band pop dan rock tahun 60 dan 70, Beatles pensiun ketika mereka nyaris di puncak kejayaan. Mereka tak merusak katalog musik mereka dengan album medioker, dan mereka tak menjadikan diri sebagai band tur, yang menjual lagu hits dari empat dekade lalu untuk generasi sekarang," tulis McMilans.
Apapun itu, album pertama Stones adalah pondasi bagi karier panjang mereka yang terus bertahan hingga sekarang. Stones mengalami jatuh bangun, termasuk meninggalnya Brian Jones pada 1969. Kehilangan itu sempat membuat Stones limbung, tapi duo Jagger dan Richards berhasil membuat para batu itu tetap menggelinding. Mengingat mereka masih tetap lari-lari di atas panggung di usia 70-an, memang hanya Tuhan yang akan tahu kapan mereka akan berhenti.
sumber: https://tirto.id/gelinding-pertama-the-rolling-stones
Komentar
Posting Komentar