Panglima ABRI asal Indonesia Timur ini rajin menyambangi prajurit-prajurit bawahan dan sangat populer karenanya.
tirto.id
- Jabatan Panglima di Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang dulu
disebut Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), kebanyakan diisi
orang kelahiran Jawa dan Sumatera. Dalam sejarah ABRI, hanya satu orang
saja dari Indonesia Timur yang pernah menjadi orang nomor satu di
kesatuan ini, yakni Andi Muhammad Jusuf Amir alias Andi Mo'mang. Di masa
Orde Baru, yang menjabat Panglima ABRI/TNI merangkap Menteri Pertahanan
Keamanan (Menhankam).
Sebagai Panglima ABRI, Jusuf yang rajin menyambangi bawahan menjadi populer di kalangan prajurit ABRI. Bahkan, ia kerap memberi kenaikan pangkat langsung di lapangan. Hal ini menimbulkan isu bahwa Jusuf hendak menggantikan Soeharto sebagai presiden.
Baca:
Suatu kali, Soeharto mengumpulkan jenderal-jenderalnya. Ada Menteri Dalam Negeri Amir Machmud, Menteri Sekretaris Negara Sudharmono, serta Asisten Intel Hankam Leonardus Benjamin Moerdani. Menanggapi tuduhan itu, dalam pertemuannya dengan Soeharto itu, Jusuf menggebrak meja.
“Bohong! Itu tidak benar semua! Saya ini diminta untuk jadi Menhankam/Pangab karena perintah Bapak Presiden. Saya ini orang Bugis. Jadi saya sendiri tidak tahu arti kata kemanunggalan yang bahasa Jawa itu. Tapi saya laksanakan tugas itu sebaik-baiknya tanpa tujuan apa-apa,” kata Jusuf seperti dicatat dalam biografi M. Jusuf yang ditulis Atmadji Sumarkidjo, Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit (2006).
Semua yang hadir terkejut dan terdiam. Sebelumnya, tak pernah ada yang berani menggebrak meja di hadapan Presiden Soeharto. Pertemuan itu pun dibubarkan.
Pernah ada kejadian, Jusuf dapat surat dari seorang perwira (Mayor X) pada 26 Februari 1983. Jusuf yang kenal dengan sang pengirim surat enggan membeberkan identitasnya. Kala itu, Jusuf akan digantikan oleh Moerdani menjadi panglima dan perwira ini tidak suka kepada Moerdani.
“Saat ini adalah detik-detik bersejarah. Bapak terpanggil untuk menyelamatkan negara. Bapak jangan goyah. Demi TNI kita yang tercinta kalau berdiri teguh sekarang—pasti menang,” tulis Mayor X. Jusuf akhirnya bertemu dengan mayor tersebut di sebuah tangsi sekitar Jakarta Timur.
Di tangsi itu, Jusuf “menemui sejumlah perwira menengah yang telah dikumpulkan Mayor X tadi. Di sana ia mampu menunjukkan kewibawaannya dan meminta mereka tidak melakukan perlawanan atau gerakan lain yang bisa merusak jatidiri TNI,” tulis Atmadji Sumarkidjo.
“Aku paham jiwa-jiwa mereka yang memprotes atau kecewa karena rupanya mereka juga mendengar rencana pergantian Menhankam/Pangab,” kata Jusuf dalam buku yang ditulis Atmadji. “Tetapi dalam sejarah dan budaya TNI tidak mengenal istilah protes, memberontak atau membangkang perintah.”
Mereka pun menurut pada Jusuf. Setelah tak jadi menteri dan panglima, Jusuf menjadi anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak 1983 hingga 1993.
Baca:
Menurut catatan Barbara Sillar Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi Ke DI/TII (1989), dari Sulawesi pada “bulan September (dia) pergi ke Jawa dengan perahu.” Jusuf kala itu jadi bagian dari proyek ekspedisi militer Republik ke Sulawesi, Tentara Rakyat Indonesia Persiapan Sulawesi (TRI-PS) pertama. Ekspedisi yang dipimpin Jusuf berangkat sekitar Juni 1946. Sialnya, ia tertangkap tentara Belanda di lepas pantai Bali dan ditawan di Surabaya selama setahun.
Beruntung, Andi Gappa, abangnya yang anggota Parlemen dari Negara Indonesia Timur (NIT), mengurus pembebasannya. Setelah bebas, dia kembali ke Yogyakarta, dan sempat jadi ajudan Kahar Muzakkar. Ketika itu, pangkat pemuda yang pernah sekolah di Hollandsche Inlandsche School (HIS) Watampone ini adalah kapten. Menjelang Belanda angkat kaki, Jusuf mengikuti latihan Corps Polisi Militer pada 1949. Sebelum revolusi betul-betul kelar, laki-laki dengan nama asli Andi Mo'mang ini disuruh kawin.
“Menurut AM Fatwa, seorang sepupu Jusuf, Kaharlah yang mendesak Jusuf untuk segera kawin,” tulis Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otorites Soeharto (2016). Masih menurut Salim, kawan seperjuangan yang sama-sama berasal dari Sulawesi Selatan, Andi Mattalata—yang kemudian hari jadi Panglima di Sulawesi Selatan juga seperti Jusuf—bertindak sebagai pemimpin panitia perkawinan Jusuf.
Jusuf menikahi Maesaroh, yang merupakan cicit dari pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan. Dari pernikahan itu, Jusuf memperoleh satu anak perempuan tapi berakhir dengan perceraian. Jusuf kemudian menikah lagi dengan Elly Saelan hingga akhir hayatnya pada 2004 itu. Dari ikatan itu, ia beroleh satu anak, Jaury Jusuf Putra, yang meninggal ketika masih bocah.
Selama di Yogyakarta, Jusuf mulai dikenal Sukarno. Bersama mertuanya, Jusuf sering mendatangi Istana Gedung Agung Yogyakarta, tempat tinggal Presiden Sukarno sebagai kala itu. Menurut Andi Mattalata dalam memoarnya Meniti Siri' dan harga Diri (2003), “perangai Kapten Andi Mo'mang sopan dan halus, sangat menarik simpati Presiden. Akhirnya, Kapten Andi Mo'mang dianggap sebagai anak tertua dari Bung Karno.”
Setelah terlibat dalam ekspedisi militer ke Indonesia Timur, Jusuf menginjakkan lagi tanah leluhurnya, Sulawesi Selatan. Dengan pangkat kapten, dia melanjutkan karier militernya meski Belanda sudah angkat kaki. Dia berdinas di Sulawesi Selatan yang penuh gejolak pemberontakan yang dilakukan bekas atasannya, Kahar Muzakkar. Dia sempat juga jadi Komandan Resimen Infantri (RI) ke-24 di Manado.
Namanya pun tercatat sebagai penandatangan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) pada 1957. Namun, dia tak ikut arus pemberontakan. Dia hanya berpikir sebagai tentara: melaksanakan apa yang ditugaskan oleh atasan dan ikut kata pemerintah. “Karir Jusuf menanjak ketika teman-temannya di Permesta akhirnya menjadi pemberontak yang ditumpas TNI,” tulis Salim Said.
Akhirnya, Jusuf menjadi Panglima Kodam di Sulawesi Selatan dengan pangkat kolonel. Hampir lima tahun dia menjadi Panglima Kodam dengan masalah berat yang sulit diatasi pendahulu-pendahulunya sebagai panglima di daerah itu: meredakan pemberontakan Kahar Muzakkar. Di masanya, berkat bantuan pasukan pemukul dari Kodam Siliwangi, Kahar Muzakkar berhasil ditembak mati oleh para prajurit maung pada 3 Februari 1965.
Baca:
Beberapa bulan kemudian, setelah Kahar tertembak, Jusuf ditarik Sukarno menjadi Menteri Perindustrian Ringan. Sampai 14 tahun kemudian, dia tak berkarier di militer meski pangkatnya terus naik. Sebagai menteri, pangkatnya menjadi Brigadir Jenderal. Ketika Sukarno jatuh, dia termasuk jenderal yang menemui sang presiden bersama Basuki Rahmad dan Amir Machmud.
Mereka bertiga menjadi tokoh penting di balik Surat Perintah 11 Maret 1965 (Supersemar). Setelahnya, dia terus jadi menteri sampai gebrakan tangannya di meja Soeharto.
Menggebrak Meja di Depan Soeharto
Jusuf sudah 14 tahun tak jadi komandan atau panglima atau staf militer ketika ia menjadi Panglima ABRI. Jabatan militer terakhirnya adalah Panglima Komando Daerah Militer (KODAM) Hasanuddin (1960-1964). Setelahnya, dia menjadi menteri perindustrian (1964-1978), sejak akhir pemerintahan Sukarno dan dekade awal pemerintahan Soeharto.Sebagai Panglima ABRI, Jusuf yang rajin menyambangi bawahan menjadi populer di kalangan prajurit ABRI. Bahkan, ia kerap memberi kenaikan pangkat langsung di lapangan. Hal ini menimbulkan isu bahwa Jusuf hendak menggantikan Soeharto sebagai presiden.
Baca:
Suatu kali, Soeharto mengumpulkan jenderal-jenderalnya. Ada Menteri Dalam Negeri Amir Machmud, Menteri Sekretaris Negara Sudharmono, serta Asisten Intel Hankam Leonardus Benjamin Moerdani. Menanggapi tuduhan itu, dalam pertemuannya dengan Soeharto itu, Jusuf menggebrak meja.
“Bohong! Itu tidak benar semua! Saya ini diminta untuk jadi Menhankam/Pangab karena perintah Bapak Presiden. Saya ini orang Bugis. Jadi saya sendiri tidak tahu arti kata kemanunggalan yang bahasa Jawa itu. Tapi saya laksanakan tugas itu sebaik-baiknya tanpa tujuan apa-apa,” kata Jusuf seperti dicatat dalam biografi M. Jusuf yang ditulis Atmadji Sumarkidjo, Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit (2006).
Semua yang hadir terkejut dan terdiam. Sebelumnya, tak pernah ada yang berani menggebrak meja di hadapan Presiden Soeharto. Pertemuan itu pun dibubarkan.
Pernah ada kejadian, Jusuf dapat surat dari seorang perwira (Mayor X) pada 26 Februari 1983. Jusuf yang kenal dengan sang pengirim surat enggan membeberkan identitasnya. Kala itu, Jusuf akan digantikan oleh Moerdani menjadi panglima dan perwira ini tidak suka kepada Moerdani.
“Saat ini adalah detik-detik bersejarah. Bapak terpanggil untuk menyelamatkan negara. Bapak jangan goyah. Demi TNI kita yang tercinta kalau berdiri teguh sekarang—pasti menang,” tulis Mayor X. Jusuf akhirnya bertemu dengan mayor tersebut di sebuah tangsi sekitar Jakarta Timur.
Di tangsi itu, Jusuf “menemui sejumlah perwira menengah yang telah dikumpulkan Mayor X tadi. Di sana ia mampu menunjukkan kewibawaannya dan meminta mereka tidak melakukan perlawanan atau gerakan lain yang bisa merusak jatidiri TNI,” tulis Atmadji Sumarkidjo.
“Aku paham jiwa-jiwa mereka yang memprotes atau kecewa karena rupanya mereka juga mendengar rencana pergantian Menhankam/Pangab,” kata Jusuf dalam buku yang ditulis Atmadji. “Tetapi dalam sejarah dan budaya TNI tidak mengenal istilah protes, memberontak atau membangkang perintah.”
Mereka pun menurut pada Jusuf. Setelah tak jadi menteri dan panglima, Jusuf menjadi anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak 1983 hingga 1993.
Jadi Tentara Karena Revolusi dan Keterusan
Tak seperti orang Jawa, Minahasa, dan Ambon, tak banyak orang Bugis yang menjadi serdadu KNIL. Memang ada segelintir orang Bugis yang menjadi kombatan, tapi kebanyakan pantang jadi serdadu. Revolusi kemerdekaanlah yang membuat M. Jusuf jadi tentara, seperti halnya Wolter Mongisidi atau Emmy Saelan. Nama terakhir adalah kakak dari mantan kapten tim nasional sepakbola Indonesia dan juga kakak dari istri kedua Jusuf di kemudian hari, Elly Saelan.Baca:
Menurut catatan Barbara Sillar Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi Ke DI/TII (1989), dari Sulawesi pada “bulan September (dia) pergi ke Jawa dengan perahu.” Jusuf kala itu jadi bagian dari proyek ekspedisi militer Republik ke Sulawesi, Tentara Rakyat Indonesia Persiapan Sulawesi (TRI-PS) pertama. Ekspedisi yang dipimpin Jusuf berangkat sekitar Juni 1946. Sialnya, ia tertangkap tentara Belanda di lepas pantai Bali dan ditawan di Surabaya selama setahun.
Beruntung, Andi Gappa, abangnya yang anggota Parlemen dari Negara Indonesia Timur (NIT), mengurus pembebasannya. Setelah bebas, dia kembali ke Yogyakarta, dan sempat jadi ajudan Kahar Muzakkar. Ketika itu, pangkat pemuda yang pernah sekolah di Hollandsche Inlandsche School (HIS) Watampone ini adalah kapten. Menjelang Belanda angkat kaki, Jusuf mengikuti latihan Corps Polisi Militer pada 1949. Sebelum revolusi betul-betul kelar, laki-laki dengan nama asli Andi Mo'mang ini disuruh kawin.
“Menurut AM Fatwa, seorang sepupu Jusuf, Kaharlah yang mendesak Jusuf untuk segera kawin,” tulis Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otorites Soeharto (2016). Masih menurut Salim, kawan seperjuangan yang sama-sama berasal dari Sulawesi Selatan, Andi Mattalata—yang kemudian hari jadi Panglima di Sulawesi Selatan juga seperti Jusuf—bertindak sebagai pemimpin panitia perkawinan Jusuf.
Jusuf menikahi Maesaroh, yang merupakan cicit dari pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan. Dari pernikahan itu, Jusuf memperoleh satu anak perempuan tapi berakhir dengan perceraian. Jusuf kemudian menikah lagi dengan Elly Saelan hingga akhir hayatnya pada 2004 itu. Dari ikatan itu, ia beroleh satu anak, Jaury Jusuf Putra, yang meninggal ketika masih bocah.
Selama di Yogyakarta, Jusuf mulai dikenal Sukarno. Bersama mertuanya, Jusuf sering mendatangi Istana Gedung Agung Yogyakarta, tempat tinggal Presiden Sukarno sebagai kala itu. Menurut Andi Mattalata dalam memoarnya Meniti Siri' dan harga Diri (2003), “perangai Kapten Andi Mo'mang sopan dan halus, sangat menarik simpati Presiden. Akhirnya, Kapten Andi Mo'mang dianggap sebagai anak tertua dari Bung Karno.”
Setelah terlibat dalam ekspedisi militer ke Indonesia Timur, Jusuf menginjakkan lagi tanah leluhurnya, Sulawesi Selatan. Dengan pangkat kapten, dia melanjutkan karier militernya meski Belanda sudah angkat kaki. Dia berdinas di Sulawesi Selatan yang penuh gejolak pemberontakan yang dilakukan bekas atasannya, Kahar Muzakkar. Dia sempat juga jadi Komandan Resimen Infantri (RI) ke-24 di Manado.
Namanya pun tercatat sebagai penandatangan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) pada 1957. Namun, dia tak ikut arus pemberontakan. Dia hanya berpikir sebagai tentara: melaksanakan apa yang ditugaskan oleh atasan dan ikut kata pemerintah. “Karir Jusuf menanjak ketika teman-temannya di Permesta akhirnya menjadi pemberontak yang ditumpas TNI,” tulis Salim Said.
Akhirnya, Jusuf menjadi Panglima Kodam di Sulawesi Selatan dengan pangkat kolonel. Hampir lima tahun dia menjadi Panglima Kodam dengan masalah berat yang sulit diatasi pendahulu-pendahulunya sebagai panglima di daerah itu: meredakan pemberontakan Kahar Muzakkar. Di masanya, berkat bantuan pasukan pemukul dari Kodam Siliwangi, Kahar Muzakkar berhasil ditembak mati oleh para prajurit maung pada 3 Februari 1965.
Baca:
Beberapa bulan kemudian, setelah Kahar tertembak, Jusuf ditarik Sukarno menjadi Menteri Perindustrian Ringan. Sampai 14 tahun kemudian, dia tak berkarier di militer meski pangkatnya terus naik. Sebagai menteri, pangkatnya menjadi Brigadir Jenderal. Ketika Sukarno jatuh, dia termasuk jenderal yang menemui sang presiden bersama Basuki Rahmad dan Amir Machmud.
Mereka bertiga menjadi tokoh penting di balik Surat Perintah 11 Maret 1965 (Supersemar). Setelahnya, dia terus jadi menteri sampai gebrakan tangannya di meja Soeharto.
(tirto.id - Humaniora)
Komentar
Posting Komentar