Kisah Heroik Pemberontakan Trunojoyo



Berbicara tentang perjuangan Pangeran Trunojoyo atau Raden Nila Prawata, pahlawan dari Madura ini tidaklah lengkap kiranya kalau kita tidak melihat upaya-upaya Sultan Agung dari Kerajaan Mataram dalam memperluas pengaruhnya dan mempersatukan kerajaan-kerajaan di Jawa dan Madura untuk bersatu-padu melawan penjajahan kompeni Belanda pada saat itu.
Tahun 1624, Panembahan Kyai Djuru Kiting selaku panglima pasukan Mataram, dengan kekuatan pasukan berjumlah 50.000 orang, telah berhasil mematahkan pasukan Kraton Arosbaya – Madura yang berkekuatan hanya 2.000 orang.
Dengan bijaksana, Sultan Agung memerintahkan panglimanya Kyai Djuru Kiting, memboyong Raden Praseno, putra Pangeran Tengah (Arosbaya) yang pada waktu itu masih dibawah umur ke Kraton Mataram.
Setelah dewasa Raden Praseno dinikahkan dengan adik dari Sultan Agung sebagai Permaisuri I dan diijinkan kembali ke Madura untuk memimpin Madura dengan gelar: “Pangeran Cakraningrat I” (1624 – 1648) dimana seluruh Madura berada dibawah pimpinannya dengan tetap tunduk dan patuh kepada kekuasaan kerajaan Mataram Sultan Agung di Jawa.
Dari beberapa istri yang lain, Pangeran Cakraningrat I mempunyai 11 (sebelas) orang putra dan putri, dimana putra ke-3 bernama R. Demang Mloyo Kusumo (ibunya Putri Sumenep). R. Demang Mloyo Kusumo atau Raden Maluyo adalah ayah dari Raden Trunojoyo.
Masa kecil Pangeran Trunojoyo dididik dan dibesarkan di lingkungan Kraton Mataram yang pada waktu itu pimpinan kerajaan sudah beralih kepada putra Sultan Agung, yaitu: Susuhunan Amangkurat I.
Tahun 1648, terjadi peristiwa menyedihkan di Kraton Mataram (masa pemerintahan Susuhunan Amangkurat I) perselisihan keluarga yang menyebabkan jatuh korban anggota keluarga kerajaan Mataram, yaitu:
  1. Pangeran Cakraningrat I (Raden Praseno) sehingga disebut Pangeran Siding Magiri (Sidho Hing Magiri).
  2. Raden Ario Atmojonegoro putra pertama Pangeran Cakraningrat I.
  3. Pangeran Ario atau Pangeran Alit, adik Susuhunan Amangkurat I dan
  4. Raden Demang Mloyo Kusumo, ayah Pangeran Trunojoyo.
Terjadi perubahan kekuasan di Madura Raden Undakan putra ke-2 Pangeran Cakraningrat I dinaikkan tahta kerajaan dengan gelar: “Pangeran Cakraningrat II” (1648 – 1707).
Pangeran Cakraningrat II dalam melaksanakan pemerintah kerajaannya ternyata tidak sebijaksana ayahandanya, Pangeran Cakraningrat I. Kekuasaan pemerintahan Madura pada waktu itu hanya diserahkan kepada bawahan-bawahannya yang ternyata hanya melakukan penekanan-penekanan kepada rakyat yang dipimpinnya, sementara Raja Cakraningrat II, terlalu sering berada di Kraton Mataram.
Pangeran Trunojoyo tumbuh sebagai seorang pemuda yang taat kepada agamanya (Islam) dan tidak suka melihat ketidak-adilan yang terjadi baik di Madura ataupun di Jawa.
Beliau segera kembali ke Madura dimana pengaruh kekuasaan Pangeran Cakraningrat II (pamannya) semakin tidak mendapat simpati dari rakyat seluruh Madura. Mengakui kepemimpinan Pangeran Trunojoyo dari Bangkalan sampai dengan Sumenep dan bergelar: “Panembahan Madura”.
Dengan diidampingi Macan Wulung menantu dari Panembahan Sumenep, Pangeran Trunojoyo mulai menyusun perlawanan melawan kompeni Belanda yang dinamakan “Perang Trunojoyo” berlangsung dari tahun 1677 – 1680.
Pasukan Pangeran Trunojoyo bergabung dengan pelaut-pelaut Makassar dibawah pimpinan Karaèng Galesung (yang pada akhirnya menjadi menantu Pangeran Trunojoyo). Bantuan dari Panembahan Giri merupakan satu kekuatan yang sangat ditakuti oleh kompeni Belanda.
Tanggal 13 Oktober 1676, terjadi pertempuran sengit di Gegodok antara pasukan Pangeran Trunojoyo dan pasukan Mataram yang dipimpin oleh Adipati Anom. Dalam perang dahsyat ini telah gugur pimpinan pasukan Mataram, yaitu: Pangeran Purboyo. Satu demi satu daerah kekuasaan kerajaan Mataram berhasil ditaklukkan pasukan Pangeran Trunojoyo.
Sementara itu Susuhunan Amangkurat I sangat bersedih atas kekalahan itu, pasukan Mataram yang dipimpin calon Putra Mahkota Kerajaan Mataram tak berdaya menghadapi pasukan Pangeran Trunojoyo.
Kompeni Belanda mulai turun tangan mencampuri urusan karena kalau kerajaan Mataram ditaklukkan Pangeran Trunojoyo berarti kompeni Belanda tidak akan punya pengaruh lagi di tanah Jawa.
Cornelis Speelman, pada tanggal 29 Desember 1676 berangkat dari Betawi dengan 5 kapal perang dan 1.900 orang pasukan gabungan dari Jepara menyerbu Surabaya. Perang terjadi antara pasukan Pangeran Trunojoyo dan pasukan kompeni Belanda, walaupun akhirnya Pangeran Trunojoyo harus mundur ke Kediri. Sementara pasukan kompeni Belanda terus mendesak ke Madura ke pusat cadangan pasukan Pangeran Trunojoyo, kompeni Belanda berhasil menaklukkan pasukan cadangan Pangeran Trunojoyo di Madura, tapi pada lain pihak pasukan Pangeran Trunojoyo berhasil menduduki Kraton Kartasura.
Jatuhnya ibu kota Mataram, karena tidak ada dukungan sama sekali kepada Susuhunan Amangkurat I, bahkan dari para Pangeran dan Bangsawan Kraton Kartasura. Dalam keadaan sakit, Susuhunan Amangkurat I terpaksa harus mengungsi dari Istana didampingi putranya Adipati Anom.
Di desa Tegal Wangi, akhirnya Susuhunan Amangkurat I mangkat, jenasahnya dikebumikan di desa itu, sehingga disebut “Susuhunan Tegal Wangi” tapi sebelum mangkat, beliau masih berkesempatan menobatkan putranya menjadi penggantinya dengan gelar: “Susuhunan Amangkurat II”.
Secara singkat dipaparkan bahwa Kraton Mataram sepeninggal Sultan Agung, pengganti beliau baik itu Susuhunan Amangkurat I ataupun Susuhunan Amangkurat II tidak dapat menunjukkan wibawa Kraton Mataram sebagai kerajaan besar di Jawa.
Sedikit demi sedikit, kompeni Belanda mulai bertipu-muslihat untuk memperkecil pengaruh kekuasaan Mataram, sementara Pemimpin Kraton (Susuhunan Amangkurat II) tidak peduli akan keadaan kerajaan Mataram dan rakyatnya. Wibawa kerajaan Mataram dari hari ke hari mulai suram, akibat ulah Rajanya yang menjalin hubungan dengan kompeni Belanda.
Setiap perjanjian-perjanjian kontrak yang dilakukan Kerajaan Mataram dengan kompeni Belanda, selalu pihak Kerajaan Mataram yang dirugikan.
Cornelis Speelman, dari pihak kompeni Belanda menawarkan diri untuk ikut memadamkan perlawanan Pangeran Trunojoyo yang sudah tentu nantinya meminta imbalan jasa kepada Kerajaan Mataram.
2 (dua) macam perjanjian berupa kontrak tanggal 19 dan 20 Oktober 1677 digadaikannya pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Mataram senilai 310.000 uang Spanyol dan biaya-biaya perang harus dibayar lunas yang didapat dari pelabuhan-pelabuhan itu. Yang kedua, daerah-daerah bawahan Kerajaan Mataram seperti Karawang dan Pamanukan dialihkan penguasaannya kepada kompeni Belanda.
Di seluruh wilayah kerajaan Mataram, perdagangan candu dan bahan pakaian menjadi hak monopoli kompeni Belanda.Pertempuran tetap berlangsung dengan kemenangan-kemenangan yang selalu ada pada pihak Pangeran Trunojoyo.
Tanggal 04 Januari 1678, Cornelis Speelman mencaplok Semarang, Kaligawe dan sekitarnya dengan ijin dari Susuhunan Amangkurat II. Bulan Agustus 1678, dibentuk pasukan gabungan, tentara Belanda, pasukan Jakarta, Bugis dan Ambon ditambah pasukan Mataram dengan jumlah besar dipimpin oleh Anthonie Hurdt, anggota Raad van Indie menyerbu Kediri, pusat pertahanan Pangeran Trunojoyo.
Pertempuran berkobar dengan dahsyatnya, setiap jengkal tanah Kediri, dipertahankan mati-matian oleh pasukan Pangeran Trunojoyo, akhirnya 25 Nopember 1678 Kediri jatuh ketangan kompeni Belanda.
Kompeni Belanda berhasil mengambil kembali Mahkota Majapahit dan harta-harta yang lain dari Pangeran Trunojoyo ketika menaklukkan Kartasura.
Sangat disayangkan bahwa dalam perjalanan perjuangan Pangeran Trunojoyo, ternyata terjadi konflik intern dalam pasukan Pangeran Trunojoyo, Angkatan Laut Makassar memisahkan diri dari pasukan Pangeran Trunojoyo.
Dari peristiwa jatuhnya Kediri, Pangeran Trunojoyo ke Blitar dan akhirnya menuju Malang dalam kesulitan mencari tempat pertahanan baru. Pasukan Pangeran Trunojoyo mengalami kerugian tewasnya 400 orang prajurit akibat penyakit dan kekurangan bahan makanan.
Lebih-lebih lagi, pengiriman bahan bantuan makanan berupa 8 perahu bahan makanan dari Madura untuk pasukan Pangeran Trunojoyo jatuh ketangan musuh.
Tekanan dan kepungan kompeni Belanda kepada pasukan Pangeran Trunojoyo yang sudah makin melemah karena kekurangan bahan pangan dan serangan penyakit semakin berat. Beliau terpaksa membawa memutar pasukannya berpindah ke Batu. Dalam keadaan prihatin, Pangeran Trunojoyo tetap berhati teguh melanjutkan perjuangan beliau dan dukungan dari daerah-daerah seperti Kediri, Ponorogo dan Kertosono tetap berpihak kepada Pangeran Trunojoyo dan pasukannya 500 orang prajurit Madura dikirim melalui Wirosobo ke Malang untuk memperkuat barisan Pangeran Trunojoyo.
Suatu goncangan batin kembali menguji sang Pangeran ketika di Batu istri beliau meninggal dunia karena terserang penyakit menyusul kemudian satu-satunya putra lelakinya juga meninggal dunia.
Dari Batu beliau beserta pasukan bergeser mengatur strategi pertahanan ke Ngantang, sementara semakin lama jumlah kekuatan pasukan semakin berkurang, kekurangan bahan pangan dan serangan penyakit. Masih beruntung alam dan medan pegunungan serta rimba di Ngantang menghambat laju tekanan pasukan kompeni Belanda.
Kompeni Belanda melakukan sistem pengepungan pagar betis. Daerah pertahanan pasukan Pangeran Trunojoyo dikepung dan diisolir sehingga pada tanggal 15 Desember 1679 sejumlah besar para pelaut Makassar yang bergabung ke pasukan Pangeran Trunojoyo menyerahkan diri kepada kompeni Belanda.
Berbagai keadaan yang berat, tidak membuat Pangeran Trunojoyo dan pasukannya menyerah. Pahlawan tangguh dan pilih tanding ini melakukan perang gerilya, bergerak pindah ketempat yang lebih sulit dicapai oleh tentara kompeni Belanda dibawah pimpinan Couper.
Untuk penyegaran, kompeni Belanda mengganti pimpinan pasukannya, yaitu: Kapten Jonker. 5 hari setelah sebagian besar pelaut-pelaut Makassar menyerah maka pada tanggal 20 Desember 1679 beberapa ratus orang Madura dan Makassar diantaranya para wanita dan beberapa ekor kuda turun dari lereng gunung dan segera ditangkap pasukan kompeni Belanda pimpinan Kapten Jonker.
Dengan mengorek keterangan dari para tawanan ini, Kapten Jonker berhasil mengepung pertahanan terakhir Pangeran Trunojoyo dan sisa pasukannya di gunung Limbangan itu terjadi pada tanggal 26 Desember 1679.
Pahlawan Besar Pangeran Trunojoyo dengan terpaksa harus menyerah karena beberapa pertimbangan dan janji Pangeran Cakraningrat II (pamannya). Ia menyerahkan diri ke Susuhunan Amangkurat II. Kedua tangan beliau diikat dengan Cinde Sutera dan pada hari Selasa Kliwon, tanggal 2 Januari 1680 disekitar tapal batas Kediri beliau gugur sebagai kusuma bangsa ditangan iparnya sendiri (Susuhunan Amangkurat II) dengan sebilah keris yang ditusukkan tanpa perlawanan.

sumber : http://sejarahri.com/kisah-heroik-pemberontakan-trunojoyo/

Komentar