Seri Perang Salib
Perang Salib berpengaruh sangat luas
terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang mana beberapa
bahkan masih berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk internal
antara kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa
ekspedisi Perang Salib (seperti Perang Salib Keempat) bergeser dari
tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota Kristen,
termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel-kota yang paling maju dan
kaya di benua Eropa saat itu. Perang Salib Keenam adalah perang salib
pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik, dan menjadi
contoh preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu
menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci.
Konflik internal antara kerajaan-kerajaan Muslim dan kekuatan-kekuatan
politik pun mengakibatkan persekutuan antara satu faksi melawan faksi
lainnya seperti persekutuan antara kekuatan Tentara Salib dengan
Kesultanan Rum yang Muslim dalam Perang Salib Kelima.
Situasi di Eropa
Asal mula ide perang salib adalah
perkembangan yang terjadi di Eropa Barat sebelumnya pada Abad
Pertengahan, selain itu juga menurunnya pengaruh Kekaisaran Byzantium di
timur yang disebabkan oleh gelombang baru serangan Muslim Turki.
Pecahnya Kekaisaran Carolingian pada akhir Abad Ke-9, dikombinasikan
dengan stabilnya perbatasan Eropa sesudah peng-Kristen-an bangsa-bangsa
Viking, Slav dan Magyar, telah membuat kelas petarung bersenjata yang
energinya digunakan secara salah untuk bertengkar satu sama lain dan
meneror penduduk setempat. Gereja berusaha untuk menekan kekerasan yang
terjadi melalui gerakan-gerakan Pax Dei dan Treuga Dei.
Usaha ini dinilai berhasil, akan tetapi para ksatria yang berpengalaman
selalu mencari tempat untuk menyalurkan kekuatan mereka dan kesempatan
untuk memperluas daerah kekuasaan pun menjadi semakin tidak menarik.
Pengecualiannya adalah saat terjadi Reconquista di Spanyol dan Portugal,
dimana pada saat itu ksatria-ksatria dari Iberia dan pasukan lain dari
beberapa tempat di Eropa bertempur melawan pasukan Moor Islam, yang
sebelumnya berhasil menyerang dan menaklukan sebagian besar Semenanjung
Iberia dalam kurun waktu 2 abad dan menguasainya selama kurang lebih 7
abad.
Pada tahun 1063, Paus Alexander II
memberikan restu kepausan bagi kaum Kristen Iberia untuk memerangi kaum
Muslim. Paus memberikan baik restu kepausan standar maupun pengampunan
bagi siapa saja yang terbunuh dalam pertempuran tersebut. Maka,
permintaan yang datang dari Kekaisaran Byzantium yang sedang terancam
oleh ekspansi kaum Muslim Seljuk, menjadi perhatian semua orang di
Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dari Kaisar Michael VII kepada
Paus Gregorius VII dan sekali lagi pada tahun 1095, dari Kaisar Alexius I
Comnenus kepada Paus Urbanus II.
Perang Salib adalah sebuah gambaran dari
dorongan keagamaan yang intens yang merebak pada akhir abad ke-11 di
masyarakat. Seorang tentara Salib, sesudah memberikan sumpah sucinya,
akan menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu
akan dianggap sebagai “tentara gereja”. Hal ini sebagian adalah karena
adanya Kontroversi Investiture, yang berlangsung mulai tahun 1075 dan
masih berlangsung selama Perang Salib Pertama. Karena kedua belah pihak
yang terlibat dalam Kontroversi Investiture berusaha untuk menarik
pendapat publik, maka masyarakat menjadi terlibat secara pribadi dalam
pertentangan keagamaan yang dramatis. Hasilnya adalah kebangkitan
semangat Kristen dan ketertarikan publik pada masalah-masalah keagamaan.
Hal ini kemudian diperkuat oleh propaganda keagamaan tentang Perang
untuk Keadilan untuk mengambil kembali Tanah Suci – yang termasuk
Yerusalem (dimana kematian, kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga
terjadi menurut ajaran Kristen) dan Antioch (kota Kristen yang pertama) –
dari orang Muslim. Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah faktor penentu
dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang merasa pernah
berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan abadi di Neraka.
Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib
tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka
percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin
masuk surga pada saat mereka meninggal dunia. Akan tetapi, kontroversi
yang terjadi adalah apa sebenarnya yang dijanjikan oleh paus yang
berkuasa pada saat itu. Suatu teori menyatakan bahwa jika seseorang
gugur ketika bertempur untuk Yerusalemlah “penebusan dosa” itu berlaku.
Teori ini mendekati kepada apa yang diucapkan oleh Paus Urbanus II dalam
pidato-pidatonya. Ini berarti bahwa jika para tentara salib berhasil
merebut Yerusalem, maka orang-orang yang selamat dalam pertempuran tidak
akan diberikan “penebusan”. Teori yang lain menyebutkan bahwa jika
seseorang telah sampai ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari
dosa-dosanya sebelum Perang Salib. Oleh karena itu, orang tersebut akan
tetap bisa masuk Neraka jika melakukan dosa sesudah Perang Salib.
Seluruh faktor inilah yang memberikan dukungan masyarakat kepada Perang
Salib Pertama dan kebangkitan keagamaan pada abad ke-12.
Situasi Timur Tengah
Keberadaan Muslim di Tanah Suci harus
dilihat sejak penaklukan bangsa Arab terhadap Palestina dari tangan
Kekaisaran Bizantium pada abad ke-7. Hal ini sebenarnya tidak terlalu
memengaruhi penziarahan ke tempat-tempat suci kaum Kristiani atau
keamanan dari biara-biara dan masyarakat Kristen di Tanah Suci Kristen
ini. Sementara itu, bangsa-bangsa di Eropa Barat tidak terlalu perduli
atas dikuasainya Yerusalem–yang berada jauh di Timur–sampai ketika
mereka sendiri mulai menghadapi invasi dari orang-orang Islam dan
bangsa-bangsa non-Kristen lainnya seperti bangsa Viking dan Magyar. Akan
tetapi, kekuatan bersenjata kaum Muslim Turki Saljuk yang berhasil
memberikan tekanan yang kuat kepada kekuasaan Kekaisaran Byzantium yang
beragama Kristen Orthodox Timur.[9]
Titik balik lain yang berpengaruh
terhadap pandangan Barat kepada Timur adalah ketika pada tahun 1009,
kalifah Bani Fatimiah, Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan penghancuran
Gereja Makam Suci (Church of The Holy Sepulchre).[10]
Penerusnya memperbolehkan Kekaisaran Byzantium untuk membangun gereja
itu kembali dan memperbolehkan para peziarah untuk berziarah di tempat
itu lagi. Akan tetapi, banyak laporan yang beredar di Barat tentang
kekejaman kaum Muslim terhadap para peziarah Kristen. Laporan yang
didapat dari para peziarah yang pulang ini kemudian memainkan peranan
penting dalam perkembangan Perang Salib pada akhir abad itu.
Penyebab Langsung
Penyebab langsung dari Perang Salib
Pertama adalah permohonan Kaisar Alexius I kepada Paus Urbanus II untuk
menolong Kekaisaran Byzantium dan menahan laju invasi tentara Muslim ke
dalam wilayah kekaisaran tersebut.[11][12] Hal ini
dilakukan karena sebelumnya pada tahun 1071, Kekaisaran Byzantium telah
dikalahkan oleh pasukan Seljuk yang dipimpin oleh Sulthan Alp Arselan
di Pertempuran Manzikert, yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam
peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 40.000
orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis
dan Armenia. Dan kekalahan ini berujung kepada dikuasainya hampir
seluruh wilayah Asia Kecil (Turki modern). Meskipun Pertentangan
Timur-Barat sedang berlangsung antara gereja Katolik Barat dengan gereja
Orthodox Timur, Alexius I mengharapkan respon yang positif atas
permohonannya. Bagaimanapun, respon yang didapat amat besar dan hanya
sedikit bermanfaat bagi Alexius I. Paus menyeru bagi kekuatan invasi
yang besar bukan saja untuk mempertahankan Kekaisaran Byzantium, akan
tetapi untuk merebut kembali Yerusalem, setelah Dinasti Seljuk dapat
merebut Baitul Maqdis pada tahun 1078 dari kekuasaan dinasti Fathimiyah
yang berkedudukan di Mesir. Umat Kristen merasa tidak lagi bebas
beribadah sejak Dinasti Seljuk menguasai Baitul Maqdis.
Ketika Perang Salib Pertama didengungkan pada 27 November 1095[13],
para pangeran Kristen dari Iberia sedang bertempur untuk keluar dari
pegunungan Galicia dan Asturia, wilayah Basque dan Navarre, dengan
tingkat keberhasilan yang tinggi, selama seratus tahun. Kejatuhan bangsa
Moor Toledo kepada Kerajaan Leon pada tahun 1085 adalah kemenangan yang
besar. Ketidakbersatuan penguasa-penguasa Muslim merupakan faktor yang
penting dan kaum Kristen yang meninggalkan para wanitanya di garis
belakang amat sulit untuk dikalahkan. Mereka tidak mengenal hal lain
selain bertempur. Mereka tidak memiliki taman-taman atau perpustakaan
untuk dipertahankan. Para ksatria Kristen ini merasa bahwa mereka
bertempur di lingkungan asing yang dipenuhi oleh orang kafir sehingga
mereka dapat berbuat dan merusak sekehendak hatinya. Seluruh faktor ini
kemudian akan dimainkan kembali di lapangan pertempuran di Timur. Ahli
sejarah Spanyol melihat bahwa Reconquista adalah kekuatan besar dari
karakter Castilia, dengan perasaan bahwa kebaikan yang tertinggi adalah
mati dalam pertempuran mempertahankan ke-Kristen-an suatu Negara.
Perang
Perang Salib I
Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman[14],
berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib
yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh
kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan
Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa).
Di sini mereka
mendirikan County Edessa dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang
sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan Kepangeranan
Antiokhia di Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga
berhasil menduduki Baitul-Maqdis (15 Juli 1099 M[15]) dan
mendirikan Kerajaan Yerusalem dengan rajanya, Godfrey. Setelah
penaklukan Baitul-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya.
Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M) dan kota Tyre
(1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan County Tripoli, Rajanya adalah
Raymond.
Selanjutnya, Syeikh Imaduddin Zanki pada
tahun 1144 M, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali
Aleppo, Hamimah, dan Edessa. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya
dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin Zanki. Syeikh Nuruddin
berhasil merebut kembali Antiokhia pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151
M, seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Perang Salib II
Kejatuhan County Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua.[17]
Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh
raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Conrad II. Keduanya memimpin
pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak
maju mereka dihambat oleh Syeikh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil
memasuki Damaskus. Louis VII dan Conrad II sendiri melarikan diri pulang
ke negerinya. Syeikh Nuruddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang
kemudian dipegang oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil
mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M, setelah berhasil
mencegah pasukan salib untuk menguasai Mesir. Hasil peperangan
Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem pada tahun
1187 M, setelah beberapa bulan sebelumnya dalam Pertempuran Hattin,
Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan gabungan County Tripoli dan
Kerajaan Yerusalaem melalui taktik penguasaan daerah. Dengan demikian
berakhirlah Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88
tahun berakhir. Sehabis Yerusalem, tinggal Tirus merupakan kota besar
Kerajaan Yerusalem yang tersisa. Tirus yang saat itu dipimpin oleh
Conrad dari Montferrat berhasil sukses dari pengepungan yang dilakukan
Shalahuddin sebanyak dua kali. Shalahuddin kemudian mundur dan
menaklukan kota lain, seperti Arsuf dan Jaffa.
Perang Salib III
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum
muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Mereka pun menyusun
rencana balasan. Selanjutnya, tentara salib dipimpin oleh Frederick
Barbarossa raja Jerman, Richard the Lionheart raja Inggris, dan Philip
Augustus raja Perancis memunculkan perang Salib III.[18]
Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M dengan dua jalur berbeda. Pasukan
Richard dan Philip melalui jalur laut dan pasukan Barbarossa-saat itu
merupakan yang terbanyak di Eropa-melalui jalur darat, melewati
Konstantinopel. Namun, Barbarossa meninggal di daerah Cilicia karena
tenggelam di sungai, sehingga menyisakan Richard dan Philip. Sebelum
menuju Tanah Suci, Richard dan Philip sempat menguasai Siprus dan
mendirikan Kerajaan Siprus. Meskipun mendapat tantangan berat dari
Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan
ibu kota kerajaan Latin. Philip kemudian balik ke Perancis untuk
“menyelesaikan” masalah kekuasaan di Perancis dan hanya tinggal Richard
yang melanjutkan Perang Salib III. Richard tidak mampu memasuki
Palestina lebih jauh, meski bisa beberapa kali mengalahkan Shalahuddin.
Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib
dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian
ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul
Maqdis tidak akan diganggu.[19]
Perang Salib IV
Pada tahun 1219 M, meletus kembali
peperangan yang dikenal dengan Perang Salib periode keenam, dimana
tentara Kristen dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II, mereka berusaha
merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat
bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Dalam serangan tersebut, mereka
berhasil menduduki Dimyat, Raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu,
al-Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara
lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al-Malik al-Kamil
melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana,
dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam
perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum
muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa
Mesir selanjutnya.
Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti
Mamalik yang menggantikan posisi Daulah Ayyubiyyah, pimpinan perang
dipegang oleh Baybars, Qalawun dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah. Pada
masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1291
M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak
berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.
Kondisi Sesudah Perang Salib
Perang Salib Pertama melepaskan gelombang
semangat perasaan paling suci sendiri yang diekspresikan dengan
pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang menyertai pergerakan
tentara Salib melintasi Eropa dan juga perlakuan kasar terhadap pemeluk
Kristen Orthodox Timur. Kekerasan terhadap Kristen Orthodox ini
berpuncak pada penjarahan kota Konstantinopel pada tahun 1024, dimana
seluruh kekuatan tentara Salib ikut serta. Selama terjadinya
serangan-serangan terhadap orang Yahudi, pendeta lokal dan orang Kristen
berupaya melindungi orang Yahudi dari pasukan Salib yang melintas.
Orang Yahudi seringkali diberikan perlindungan di dalam gereja atau
bangunan Kristen lainnya, akan tetapi, massa yang beringas selalu
menerobos masuk dan membunuh mereka tanpa pandang bulu.
Pada abad ke-13, perang salib tidak
pernah mencapai tingkat kepopuleran yang tinggi di masyarakat. Sesudah
kota Acra jatuh untuk terakhir kalinya pada tahun 1291 dan sesudah
penghancuran bangsa Occitan (Perancis Selatan) yang berpaham Catharisme
pada Perang Salib Albigensian, ide perang salib mengalami kemerosotan
nilai yang diakibatkan oleh pembenaran lembaga Kepausan terhadap agresi
politik dan wilayah yang terjadi di Katolik Eropa.
Orde Ksatria Salib mempertahankan wilayah
adalah orde Knights Hospitaller. Sesudah kejatuhan Acra yang terakhir,
orde ini menguasai Pulau Rhodes dan pada abad ke-16 dibuang ke Malta.
Tentara-tentara Salib yang terakhir ini akhirnya dibubarkan oleh
Napoleon Bonaparte pada tahun 1798.
Peninggalan
Benua Eropa
Perang Salib selalu dikenang oleh
bangsa-bangsa di Eropa bagian Barat dimana pada masa Perang Salib
merupakan negara-negara Katolik Roma. Perang Salib juga menimbulkan
kenangan pahit.[20] Banyak pula kritikan pedas terhadap Perang Salib di negara-negara Eropa Barat pada masa Renaissance.[21][22]
Politik dan Budaya
Perang Salib amat memengaruhi Eropa pada Abad Pertengahan.[23]
Pada masa itu, sebagian besar benua dipersatukan oleh kekuasaan
Kepausan, akan tetapi pada abad ke-14, perkembangan birokrasi yang
terpusat (dasar dari negara-bangsa modern) sedang pesat di Perancis,
Inggris, Burgundi, Portugal, Castilia dan Aragon. Hal ini sebagian
didorong oleh dominasi gereja pada masa awal perang salib.
Meski benua Eropa telah bersinggungan
dengan budaya Islam selama berabad-abad melalui hubungan antara
Semenanjung Iberia dengan Sisilia, banyak ilmu pengetahuan di
bidang-bidang sains, pengobatan dan arsitektur diserap dari dunia Islam
ke dunia Barat selama masa perang salib.
Pengalaman militer perang salib juga
memiliki pengaruh di Eropa, seperti misalnya, kastil-kastil di Eropa
mulai menggunakan bahan dari batu-batuan yang tebal dan besar seperti
yang dibuat di Timur, tidak lagi menggunakan bahan kayu seperti
sebelumnya. Sebagai tambahan, tentara Salib dianggap sebagai pembawa
budaya Eropa ke dunia, terutama Asia.
Bersama perdagangan, penemuan-penemuan
dan penciptaan-penciptaan sains baru mencapai timur atau barat. Kemajuan
bangsa Arab termasuk perkembangan aljabar, lensa dan lain lain mencapai
barat dan menambah laju perkembangan di universitas-universitas Eropa
yang kemudian mengarahkan kepada masa Renaissance pada abad-abad
berikutnya.
Perdagangan
Kebutuhan untuk memuat, mengirimkan dan
menyediakan balatentara yang besar menumbuhkan perdagangan di seluruh
Eropa. Jalan-jalan yang sebagian besar tidak pernah digunakan sejak masa
pendudukan Romawi, terlihat mengalami peningkatan disebabkan oleh para
pedagang yang berniat mengembangkan usahanya. Ini bukan saja karena
Perang Salib mempersiapkan Eropa untuk bepergian akan tetapi lebih karena banyak orang ingin
bepergian setelah diperkenalkan dengan produk-produk dari timur. Hal
ini juga membantu pada masa-masa awal Renaissance di Itali, karena
banyak negara-kota di Itali yang sejak awal memiliki hubungan
perdagangan yang penting dan menguntungkan dengan negara-negara Salib,
baik di Tanah Suci maupun kemudian di daerah-daerah bekas Byzantium.
Pertumbuhan perdagangan membawa banyak
barang ke Eropa yang sebelumnya tidak mereka kenal atau amat jarang
ditemukan dan sangat mahal. Barang-barang ini termasuk berbagai macam
rempah-rempah, gading, batu-batu mulia, teknik pembuatan barang kaca
yang maju, bentuk awal dari mesiu, jeruk, apel, hasil-hasil tanaman Asia
lainnya dan banyak lagi.
Keberhasilan untuk melestarikan Katolik
Eropa, bagaimanapun, tidak dapat mengabaikan kejatuhan Kekaisaran
Kristen Byzantium, yang sebagian besar diakibatkan oleh kekerasan
tentara Salib pada Perang Salib Keempat terhadap Kristen Orthodox Timur,
terutama pembersihan yang dilakukan oleh Enrico Dandolo yang terkenal,
penguasa Venesia dan sponsor Perang Salib Keempat. Tanah Byzantium
adalah negara Kristen yang stabil sejak abad ke-4. Sesudah tentara Salib
mengambil alih Konstantinopel pada tahun 1204, Byzantium tidak pernah
lagi menjadi sebesar atau sekuat sebelumnya dan akhirnya jatuh pada
tahun 1453.
Melihat apa yang terjadi terhadap
Byzantium, Perang Salib lebih dapat digambarkan sebagai perlawanan
Katolik Roma terhadap ekspansi Islam, ketimbang perlawanan Kristen
secara utuh terhadap ekspansi Islam. Di lain pihak, Perang Salib Keempat
dapat disebut sebuah anomali. Kita juga dapat mengambil suatu kompromi
atas kedua pendapat di atas, khususnya bahwa Perang Salib adalah cara
Katolik Roma utama dalam menyelamatkan Katolikisme, yaitu tujuan yang
utama adalah memerangi Islam dan tujuan yang kedua adalah mencoba
menyelamatkan ke-Kristen-an, dalam konteks inilah, Perang Salib Keempat
dapat dikatakan mengabaikan tujuan yang kedua untuk memperoleh bantuan
logistik bagi Dandolo untuk mencapai tujuan yang utama. Meski begitu,
Perang Salib Keempat ditentang oleh Paus pada saat itu dan secara umum
dikenang sebagai suatu kesalahan besar.
Dunia Islam
Perang salib memiliki efek yang buruk tetapi terlokalisir pada dunia Islam.[24]
Dimana persamaan antara “Bangsa Frank” dengan “Tentara Salib”
meninggalkan bekas yang amat dalam. Muslim secara tradisional
mengelu-elukan Saladin, seorang ksatria Kurdi, sebagai pahlawan Perang
Salib. Pada abad ke-21, sebagian dunia Arab, seperti gerakan kemerdekaan
Arab dan gerakan Pan-Islamisme masih terus menyebut keterlibatan dunia
Barat di Timur Tengah sebagai “perang salib”. Perang Salib dianggap oleh
dunia Islam sebagai pembantaian yang kejam dan keji oleh kaum Kristen
Eropa.
Konsekuensi yang secara jangka panjang
menghancurkan tentang perang salib, menurut ahli sejarah Peter
Mansfield, adalah pembentukan mental dunia Islam yang cenderung menarik
diri. Menurut Peter Mansfield, “Diserang dari berbagai arah, dunia Islam
berpaling ke dirinya sendiri. Ia menjadi sangat sensitive dan
defensive……sikap yang tumbuh menjadi semakin buruk seiring dengan
perkembangan dunia, suatu proses dimana dunia Islam merasa dikucilkan,
terus berlanjut.”
Komunitas Yahudi

Terjadi kekerasan tentara Salib terhadap bangsa Yahudi[25][26][27]
di kota-kota di Jerman dan Hongaria, belakangan juga terjadi di
Perancis dan Inggris, dan pembantaian Yahudi di Palestina dan Syria
menjadi bagian yang penting dalam sejarah Anti-Semit, meski tidak ada
satu perang salib pun yang pernah dikumandangkan melawan Yahudi.
Serangan-serangan ini meninggalkan bekas yang mendalam dan kesan yang
buruk pada kedua belah pihak selama berabad-abad. Kebencian kepada
bangsa Yahudi meningkat.[28] Posisi sosial bangsa Yahudi di
Eropa Barat semakin merosot dan pembatasan meningkat selama dan sesudah
Perang Salib. Hal ini memuluskan jalan bagi legalisasi Anti-Yahudi oleh
Paus Innocentius III dan membentuk titik balik bagi Anti-Semit abad
pertengahan.
Periode perang salib diungkapkan dalam
banyak narasi Yahudi. Di antara narasi-narasi itu, yang terkenal adalah
catatan-catatan Solomon bar Simson dan Rabbi Eliezer bar Nathan, “The
Narrative of The Old Persecution” yang ditulis oleh Mainz Anonymus dan
“Sefer Zekhirah” dan “The Book of Remembrance” oleh Rabbi Ephrain dari
Bonn.
Pegunungan Kaukasus
Orang Armenia merupakan pendukung setia Tentara Salib.[29]
Di Pegunungan Kaukasus di Georgia, di dataran tinggi Khevsureti yang
terpencil, ada sebuah suku yang disebut Khevsurs yang dianggap merupakan
keturunan langsung dari sebuah kelompok tentara salib yang terpisah
dari induk pasukannya dan tetap dalam keadaan terisolasi dengan sebagian
budaya perang salib yang masih utuh. Memasuki abad ke-20, peninggalan
dari baju perang, persenjataan dan baju rantai masih digunakan dan terus
diturunkan dalam komunitas tersebut. Ahli ethnografi Rusia, Arnold
Zisserman, yang menghabiskan 25 tahun (1842 – 1862) di pegunungan
Kaukasus, percaya bahwa kelompok dari dataran tinggi Georgia ini adalah
keturunan dari tentara Salib yang terakhir berdasarkan dari kebiasaan,
bahasa, kesenian dan bukti-bukti yang lain. Penjelajah Amerika Richard
Halliburton melihat dan mencatat kebiasaan suku ini pada tahun 1935.
sumber: https://peperangan.wordpress.com/perang/seri-perang-salib/
Komentar
Posting Komentar