SA’ID BIN ZAID رضي الله عنه
Singa dalam Perang Yarmuk…
Salah seorang dari sepuluh orang Sahabat
Yang dijamin masuk Surga
Salah seorang Sahabat dari kalangan
orang-orang yang masuk Islam angkatan pertama, ikut dalam Perang Badar,
dan termasuk orang-orang yang Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha
kepada Allah.
Ikut dalam seluruh perang bersama
Rasulullah صلى الله عليه وسلم . Dia ikut dalam pengepungan dan
penaklukan Damaskus, lalu Abu ‘Ubaidah رضي الله عنهmenjadikannya sebagai
gubernurnya. Dia adalah orang pertama dari umat ini yang menjadi
gubernur di Damaskus. [1]
TANAMAN YANG BAIK KELUAR DARI TANAH YANG BAIK DENGAN IZIN RABB-NYA
Zaid bin ‘Amr bin Naufal, ayah Sa’id bin
Zaid رضي الله عنه , adalah orang khusus di zaman dan masanya.
Orang-orang menyembah berhala, tetapi Zaid menyembah Allah Yang Maha Esa
Pemilik pembalasan. Maka dari tulang sulbinya keluar anak yang penuh
kebaikan ini, Sa’id bin Zaid, yang menjadi salah seorang dari sepuluh
orang Sahabat yang dijamin Surga oleh Nabi صلى الله عليه وسلم.
Zaid bin ‘Amr membiarkan hidup anak
perempuan yang akan dikubur hidup-hidup. Jika dia melihat seorang ayah
yang hendak melakukan itu terhadap anak perempuannya (yakni ingin
membunuhnya), Zaid berkata, “Berhenti! Jangan membunuhnya, aku yang akan
merawatnya.” Lalu Zaid mengambilnya. Ketika anak perempuan itu sudah
dewasa, dia akan berkata kepada ayahnya, “Kalau engkau berkenan, aku
menyerahkannya kepadamu, tetapi jika tidak, biarlah aku yang
merawatnya.” [2]
Zaid mencela orang-orang Quraisy. Dia
berkata, “Allah menciptakan domba, Allah menurunkan air dari langit
untuknya, Dia menumbuhkan (tanaman dan rerumputan) dari bumi untuknya,
kemudian kalian menyembelihnya bukan dengan nama Allah?”
Agar kita berbahagia bisa menyimak sirah ‘perjalanan
hidup’ yang harum ini, marilah kita melihat bagaimana kehidupan Zaid
bin ‘Amr. Bagaimanakah kisahnya, agar kita mengetahui bagaimana buah
yang baik keluar dari dahan pohon yang penuh berkah.
RIHLAH (PERJALANAN) TAUHID
Pada suatu hari orang-orang Quraisy
berkumpul pada hari raya mereka di sisi salah satu berhala mereka yang
mereka agung-agungkan. Mereka menyembelih di sisinya, beri’tikaf
padanya, dan bernadzar untuknya. Hari raya itu diperingati sehari dalam
satu tahun.
Tiba-tiba ada empat orang yang
menyingkir dari mereka. Mereka saling berbisik di antara mereka.
Sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Kita sepakat
untuk jujur dan saling menjaga rahasia.” Mereka berkata, “Ya.” Empat
orang tersebut adalah Waraqah bin Naufal, ‘Ubaidullah bin Jahsy, ibunya
adalah Umaimah binti ‘Abdil Muththalib, ‘Utsman bin Al-Huwairits, dan
Zaid bin ‘Amr bin Nufail. Sebagian berkata kepada yang lain, “Demi
Allah, kalian telah mengetahui bahwa kaum kita bukan berpijak kepada
apa-apa. Mereka telah salah terhadap agama moyang mereka, Ibrahim.
Mengapa kita thawaf di sekitar batu yang tidak mendengar, tidak melihat,
tidak mendatangkan mudharat, dan tidak mendatangkan manfaat. Wahai
kaum, carilah sebuah agama untuk diri kalian karena demi Allah, kalian
bukan di atas apa pun.”
Lalu mereka bubar dan berpencar ke berbagai negeri mencari Hanifiyah agama Ibrahim.
Waraqah bin Naufal menelusuri agama
Nasrani. Dia mencari kitab-kitab dari pemeluknya sehingga dia mengetahui
ilmu dari Ahli Kitab. ‘Ubaidullah bin Jahsy terus mencari sampai Islam
tiba dan dia masuk Islam lalu dia berhijrah ke Habasyah bersama kaum
Muslimin diikuti isterinya, Ummu Habibah binti Abi Sufyan yang juga
masuk Islam. Sayangnya, ketika dia tiba di Habasyah, dia memeluk agama
Nasrani dan dia mati di sana sebagai Nasrani. Adapun ‘Utsman bin
Al-Huwairits maka dia datang kepada Kaisar Raja Romawi. Dia masuk
Nasrani dan mempunyai kedudukan di sisi sang raja.
Adapun Zaid bin ‘Amr bin Nufail maka dia
menahan diri. Dia tidak ikut Yahudi dan tidak ikut Nasrani, namun dia
juga tidak mengikuti agama kaumnya. Dia menjauhi berhala. Dia melarang
mengubur anak perempuan hidup-hidup. Dia berkata, “Aku menyembah Rabb
Ibrahim.” Dia tidak segan mengkritik agama yang dianut oleh kaumnya.
Dari Asma’ binti Abi Bakar رضي الله
عنهما, ia berkata, “Aku pernah melihat Zaid bin ‘Amr bin Nufail, seorang
laki-laki tua yang telah berumur, dia menyandarkan punggungnya ke
Ka’bah. Dia berkata, “Wahai orang-orang Quraisy! Demi Dzat yang jiwa
Zaid bin ‘Amr berada di tanganNya, tidak seorang pun dari kalian yang
memegang agama Ibrahim selain aku. Ya Allah, seandainya aku mengetahui
wajah apakah yang paling Engkau cintai niscaya aku menyembahMu
dengannya, tetapi aku tidak mengetahui.” Kemudian dia bersujud
sekenanya.”
Ibnu Ishaq رحمه اللهberkata, “Aku
diberitahu bahwa anaknya, Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail dan ‘Umar
bin Al-Khaththab, sepupunya, berkata kepada Rasulullah صلى الله عليه
وسلم, “Apakah kami boleh beristighfar (memohonkan ampunan kepada Allah)
untuk Zaid bin ‘Amr?” Nabi صلى الله عليه وسلم menjawab,
نعم, فإنه يبعث أمة واحدة
“Ya karena dia akan dibangkitkan sebagai umat sendirian.” [3]
Zaid bin ‘Amr bin Nufail menjelaskan perpisahan dirinya terhadap agama kaumnya dan apa yang dia dapatkan demi itu:
Apakah satu Tuhan ataukah seribu Tuhan
Aku menyembah jika perkara terbagi?
Aku menunggalkan Lata dan Uzza semuanya
Begitulah yang dilakukan oleh orang kuat lagi sabar
Aku tidak menyembah Uzza, tidak pula kedua anaknya
Aku juga tidak mengunjungi dua berhala Bani ‘Amr
Aku tidak menyembah Hubal, ia pernah menjadi
Tuhan kita beberapa waktu, karena akalku berjalan
Aku heran, siang dan malam hari memang memiliki
Keajaiban yang diketahui oleh orang yang melihat
Bahwa Allah telah membinasakan orang-orang
Dalam jumlah besar, mereka adalah pelaku dosa-dosa
Dia menyisakan yang lain karena kebaikan suatu kaum
Lalu dari mereka seorang anak kecil tumbuh dewasa
Manakala seseorang berhenti sesaat, suatu hari dia bangkit
Sebagaimana dahan yang kering bersemi oleh hujan
Akan tetapi aku menyembah Ar-Rahman Rabbku
Agar Rabb Yang Maha Pengampun mengampuni dosaku
Jagalah ketaqwaan kepada Allah Rabb kalian
Selama kalian menjaganya kalian tidak akan merugi
Kamu melihat rumah orang-orang baik adalah Surga
Sedangkan Neraka yang panas untuk orang-orang Kafir
Kehinaan dalam kehidupan, jika mereka mati
Maka mereka mendapatkan apa yang menyempitkan dada.
Zaid bin ‘Amr bertekad
meninggalkan Makkah untuk melanglang buana mencaru Hanifiyah agama
Ibrahim. Tetapi, setiap kali Shafiyyah binti Al-Hadhrami melihatnya
bersiap-siap untuk pergi, dia mengadukannya kepada Al-Khaththab bin
Nufail.
Al-Khaththab mencelanya
karena dia telah meninggalkan agama kaumnya. Al-Khaththab juga menyiksa
Zaid. Dia membawanya ke perbukitan Makkah sampai Hira’ yang menghadap
Makkah, lalu Al-Khaththab menugaskan para pemuda Quraisy dan orang-orang
bodohnya untuk menjaganya. Dia berkata kepada mereka, “Jangan biarkan
dia masuk ke Makkah.” Maka Zaid tidak masuk Makkah kecuali dengan
sembunyi-sembunyi. Jika mengetahui hal itu, mereka memberitahu
Al-Khaththab sehingga dia mengeluarkannya dan menyiksanya. Al-Khaththab
tidak ingin Zaid merusak agama orang-orang Makkah dan tidak ingin ada
orang Makkah yang mengikuti Zaid.
Kemudia Zaid keluar mencari
agama Ibrahim عليه السلام. Dia bertanya kepada para Rahib ‘ahli ibadah’
dan para ulama Ahli Kitab, sampai Zaid tiba di Al-Mushil dan seluruh
Jazirah. Dia terus melangkah sampai ke Syam. Dia menemui seorang Rahib
di Mifa’ah[4] di bumi Balqa’[5].
Menurut mereka ilmu
orang-orang Nasrani bersumber kepadanya, maka Zaid bertanya kepadanya
tentang Hanifiyah agama Ibrahim, maka rahib itu berkata, “Sesungguhnya
engkau mencari agama. Engkau tidak akan menemukan orang yang
menunjukkanmu kepadanya pada hari ini, tetapi sudah tiba saatnya
kehadiran suatu masa di mana seorang Nabi akan muncul di negerimu yang
telah engkau tinggalkan. Nabi tersebut diutus membawa Hanifiyah agama
Ibrahim. Pulanglah, karena sekarang dia diutus. Ini adalah zamannya.”
Zaid telah mempelajari
Yahudi dan Nasrani, namun dia tidak menerima apa pun dari keduanya. Maka
Zaid pulang dengan segera begitu dia mendengar apa yang diucapkan oleh
rahib itu. Dia ingin pulang ke Makkah, tetapi di tengah negeri Kabilah
Lakham, orang-orang menyerangnya dan membunuhnya.[6]
Di akhir kesempatan dalam
hidupnya, Zaid memandang ke langit. Dia berkata, “Ya Allah, jika aku
tidak berhasil mendapatkan kebaikan ini, biarkanlah anakku Sa’id yang
mendapatkannya.”
Allah mengabulkan do’anya
yang penuh berkah. Anaknya, Sa’id رضي الله عنه , termasuk orang-orang
angkatan pertama yang masuk Islam. Sa’id رضي الله عنهmasuk Islam sebelum
Nabi صلى الله عليه وسلم masuk rumah Al-Arqam. Sa’id رضي الله عنه harus memikul bagian dari siksaan karena keislamannya.
Dari Qais bin Hazim رضي الله
عنه, ia berkata, “Aku mendengar Sa’id bin Zaid berkata kepada
orang-orang, “Seandainya engkau melihatku pada saat ‘Umar -sebelum ia
masuk Islam- mengikatku dan mengikat saudara perempuannya karena masuk
Islam. Seandainya seseorang marah karena apa yang telah kalian perbuat
terhadap ‘Utsman, niscaya dia berhak untuk marah.[7]”[8]
Islamnya Sa’id رضي الله عنه
diikuti oleh isterinya, Fathimah binti Al-Khaththab رضي الله عنها,
saudara perempuan ‘Umar bin Al-Khaththab رضي الله عنه. Allah menjadikan
dua orang ini sebagai sebab ‘Umar masuk Islam, sekalipun sebab mendasar
‘Umar masuk Islam adalah do’a Nabi صلى الله عليه وسلم:
اللهم أعز الإسلام بأحب هذين الرجلين إليك: بأبى جهل أو بعمر بن الخطاب
“Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah satu dari dua orang yang lebih Engkau cintai: Abu Jahal atau ‘Umar bin Al-Khaththab.”
Yang lebih Allah cintai adalah ‘Umar.[9]
KEMULIAAN BESAR
Dari Sa’id bin Zaid رضي الله عنه bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda,
“Tenanglah wahai Hira’! karena di atasmu hanyalah seorang Nabi atau shiddiq atau syahid.”
Di atasnya adalah Nabi صلى الله عليه
وسلم, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Thalhah, Az-Zubair, Sa’ad,
‘Abdurrahman, dan Sa’id bin Zaid.[10]
ALLAH MENGABULKAN DO’ANYA
Dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya
bahwa Arwa binti Uwais menuntut Sa’id dengan tuduhan telah mengambil
sebagian dari tanah miliknya. Ia melaporkan Sa’id kepada Marwan bin
Al-Hakam. Sa’id berkata, “Apakah aku mengambil sebagian dari tanahnya
setelah aku mendengar dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم?” Marwan
bertanya, “Apa yang engkau dengar dari beliau?” Sa’id menjawab, “Aku
mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
“Barangsiapa mengambil satu jengkal tanah secara zhalim niscaya tanah itu sampai tujuh lapisnya akan dipikulkan kepadanya.”
Maka Marwan berkata, “Aku tidak meminta
bukti lain darimu setelah ini.” Sa’id berkata, “Ya Allah, jika wanita
itu dusta, butakanlah matanya dan matikanlah ia di tanahnya sendiri.”
Dia (‘Urwah perawi hadits) berkata, “Wanita tersebut tidak mati hingga
dia buta. Kemudian ketika wanita itu berjalan di tanahnya, dia terjatuh
ke dalam sebuah lubang lalu dia mati.”[11]
Saya menulis kisah ini untuk setiap pelaku kezhaliman di muka bumi ini bersama firman Allah Ta’ala:
وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنقَلَبٍ يَنقَلِبُونَ
“…Dan orang-orang yang zhalim kelak akan tahu ke tempat mana mereka akan kembali.” {QS. Asy-Syu’ara’: 227.}
Dan firman Allah:
وَلاَ تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلاً عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الأَبْصَارُ
“Dan janganlah engkau mengira bahwa
Allah lengah dari apa yang diperbuat oleh orang zhalim. Sesungguhnya
Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada hari itu mata (mereka)
terbelalak.” {QS. Ibrahim: 42.}
JIHAD SA’ID رضي الله عنه DI JALAN ALLAH
Sa’id رضي الله عنه telah ikut dalam
seluruh peperangan selain Perang Badar karena Nabi صلى الله عليه وسلم
mengutusnya untuk suatu tugas penting. Sa’id رضي الله عنه pulang dari
tugas tersebut ketika Nabi صلى الله عليه وسلمkembali membawa kemenangan.
Maka Nabi صلى الله عليه وسلم memberikan bagiannya dari harta rampasan
perang sehingga dia seperti orang yang ikut serta dalam Perang Badar.
Sa’id رضي الله عنه terus hadir dalam
setiap peperangan setelah Rasulullah صلى الله عليه وسلم wafat. Dia
mencari syahadah (mati syahid) di jalan Allah dan dia tidak menerima
selainnya sebagai pengganti.
KEPAHLAWANAN SA’ID رضي الله عنهDI PERANG AJNADIN
Di perang ini Sa’id رضي الله عنه adalah
panglima pasukan berkuda. Dia termasuk orang yang paling keras dalam
perang. Dialah yang mengusulkan kepada Khalid رضي الله عنه agar memulai
perang ketika pasukan Romawi melempari kaum Muslimin dengan anak panah.
Sa’id bin Zaid رضي الله عنه berteriak kepada Khalid رضي الله عنه,
“Mengapa kita menjadi sasaran orang-orang Ajam. Mereka telah menghujani
kita dengan anak panah sehingga kuda-kuda sulit untuk dikendarai.” Maka
Khalid رضي الله عنه menghadap kepada pasukan berkuda kaum Muslimin. Dia
berkata kepada mereka, “Seranglah, semoga Allah merahmati kalian, dengan
nama Allah.” Khalid menyerang tentara Romawi dan diikuti oleh seluruh
kaum Muslimin. Mereka teguh dan sabar menghadapi dua kali serangan
orang-orang Romawi atas mereka: sekali ke bagian kanan pasukan dan
sekali ke bagian kiri. Kemudian kaum Muslimin teguh menghadapi hujan
anak panah mereka. Pasukan kaum Muslimin bergerak menyerbu orang-orang
Romawi dan mereka hanya memberikan perlawanan sesaat, setelah itu mereka
kocar-kacir. Mereka menderita kekalahan hebat. Kaum Muslimin membunuhi
mereka sesuka hati dalam jumlah besar dan menguasai markas mereka
berikut isinya.
Dalam Tarikh Ath-Thabari disebutkan dari
Ibnu Ishaq, ketika Qubqular, panglima pasukan Romawi, melihat kehebatan
daya tempur dan serangan kaum Muslimin, dia berkata kepada pasukannya,
“Tutupilah kepalaku dengan kain.” Mereka bertanya, “Mengapa?” Dia
menjawab, “Hari yang sangat buruk. Aku tidak ingin melihatnya. Aku tidak
pernah melihat dunia yang lebih buruk daripada ini.” Kaum Muslimin
memenggalnya dalam keadaan kepalanya tertutup kain.
SINGA DALAM PERANG YARMUK
Barangkali inilah kepahlawanan yang
paling cemerlang dari Sa’id رضي الله عنه, yaitu apa yang dia abadikan
dalam sejarah Perang Yarmuk.
Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail رضي
الله عنه berkata, “Pada Perang Yarmuk jumlah kami sekitar 24 ribu orang,
sedangkan orang-orang Romawi keluar dalam jumlah 120 ribu pasukan.
Mereka bergerak menuju kami dengan langkah-langkah berat seolah-olah
mereka adalah gunung yang digerakkan oleh tangan-tangan yang
tersembunyi. Di depan mereka para pendeta, para pastur, dan para tokoh
agama Nasrani berjalan membawa salib dan mereka mengeraskan puji-pujian
lalu pasukan menirukannya di belakang mereka. Suara mereka bergemuruh
layaknya suara halilintar. Ketika jumlah mereka yang sedemikian besar
itu Nampak di hadapan kaum Muslimin, kaum Muslimin tercengang; hati
mereka tersusupi oleh sedikit ketakutan. Pada saat itu Abu ‘Ubaidah bin
Al-Jarrah رضي الله عنه berdiri mendorong kaum Muslimin untuk berperang.
Dia berkata, “Wahai hamba-hamba Allah! Tolonglah (agama) Allah niscaya
Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kaki-kaki kalian. Wahai
hamba-hamba Allah! Bersabarlah, karena kesabaran adalah keselamatan dari
kekufuran dan mengundang ridha Rabb serta pengusir kehinaan. Siapkan
tombak, berlindunglah dengan tameng, diamlah selain dari mengingat Allah
عز وجلpada diri kalian sampai aku memerintahkan kalian, in sya Allah”.”
Sa’id رضي الله عنه berkata, “Pada saat
itu seorang laki-laki keluar dari barisan kaum Muslimin. Dia berkata
kepada Abu ‘Ubaidah, “Aku bertekad untuk mati saat ini. Adakah engkau
ingin berkirim pesan kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم?” Maka Abu
‘Ubaidah رضي الله عنه menjawab, “Ya,” sampaikan salamku dan salam kaum
Muslimin kepada beliau. Katakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kami mendapatkan apa yang dijanjikan oleh Rabb kami adalah
benar”.”
Sa’id رضي الله عنه berkata, “Begitu aku
mendengar kata-katanya dan aku melihatnya menghunus pedangnya lalu dia
berjalan maju menyongsong musuh-musuh Allah, aku langsung menjatuhkan
diri ke tanah, duduk berlutut. Aku menyiapkan tombakku. Aku menusuk
seorang penunggang kuda pertama yang menyerang kami kemudian aku
melompat ke arah musuh. Allah telah mencabut seluruh rasa takut yang ada
di dalam hatiku, maka kaum Muslimin maju menyerang pasukan Romawi
sehingga Allah menetapkan kemenangan untuk kaum Muslimin.”[12]
Hubaib bin Salamah رضي الله عنه berkata,
“Pada Perang Yarmuk kami sangat terbantu oleh Sa’id bin Zaid رضي الله
عنه, sungguh luar biasa dia! Sa’id tidak lain kecuali singa. Ketika
melihat orang-orang Romawi dan takut kepada mereka, dia menjatuhkan
dirinya di tanah dan duduk berlutut. Begitu orang-orang Romawi
mendekatinya, dia melompat menyongsong mereka layaknya singa. Dengan
tombaknya dia menusuk orang pertama dari pasukan Romawi dan membunuhnya.
Dia terus berperang dengan berjalan kaki sebagai seorang pemberani
tidak kenal takut. Dia juga berperang dengan berkuda sementara
orang-orang bergabung kepadanya.”[13]
SAATNYA UNTUK BERPISAH
Setelah perjalanan hidup yang penuh
pemberian, pengorbanan, dan jihad di jalan Allah, Sa’id bin Zaid رضي
الله عنه pergi meninggalkan dunia ke Surga Allah Yang Maha Pengasih. Dia
termasuk sepuluh orang Sahabat yang dijamin Surga. Sa’id رضي الله عنه
wafat di Al-‘Aqiq lalu dibawa ke Madinah dan di sana dia dikebumikan.
Sa’ad bin Abi Waqqas رضي الله عنه memandikannya. Orang yang
meletakkannya di kuburan adalah Sa’ad dan Ibnu ‘Umar رضي الله عنهم. Hal
itu pada tahun ke-50 atau 51H. Pada hari itu Sa’id berusia 70 tahun
lebih. Semoga Allah meridhai Sa’id dan Sahabat-Sahabat yang lainnya.
Note:
[1]. Al-Isti’aah karya Ibnu ‘Abdil Barr (IV/188) dan Al-Ishaabah (IV/188).
[2]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara
mu’allaq (no.3828), kitab: Al-Manaaqib, dan Al-Hakim (III/404), dia
menyambungkan sanadnya serta menshahihkannya dan disepakati oleh
Adz-Dzahabi.
[3]. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad (no.1647). Syaikh Ahmad Syakir رحمه الله berkata, “Sanadnya shahih”.
[4]. Mifa’ah pada dasarnya adalah dataran tinggi.
[5]. Wilayah di Damaskus perbatasan
Omman, di sana terdapat banyak desa dan ladang pertanian yang luas.
Dikatakan oleh Yaqut (dalam Mu’jamul Buldan).
[6]. As-Siirah karya Ibnu Hisyam (I/191-198) dengan gubahan.
[7]. Al-Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله
dalam Fathul Baari (VII/176) berkata, “Ad-Dawudi berkata, “Maknanya,
seandainya kabilah-kabilah bergerak dan menuntut balas dendam atas
kematian ‘Utsman, niscaya mereka pantas untuk melakukannya.” Hadits ini
menetapkan keutamaan Sa’id bin Zaid dan bahwa dia dan istrinya termasuk
orang-orang angkatan pertama yang masuk Islam.”
[8]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no.3867) dari Qais bin Hazim رضي الله عنه.
[9]. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi
(no.3681) dari Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما. Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani رحمه الله dalam Shahih At-Tirmidzi (no.2907).
[10]. Al-Arnauth berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad (I/187, 188, 189) dan Abu Dawud (no.4648) dengan sanad shahih.”
[11]. Diriwayatkan oleh Muslim (no.1231).
[12]. Shuwar min Hayatish Shahabah (I/155-158) karya Dr. ‘Abdurrahman Ra’fat Basya, cet. Muassasah Ar-Risalah.
[13]. Tarikh Ibni ‘Asakir (I/541) dan Al-Azdi (226).
Sumber: Sahabat-Sahabat Rasulullah, Syaikh Mahmud Al Mishri, Pustaka Ibnu Katsir
Artikel: www.KisahIslam.net
Komentar
Posting Komentar