Republik dan Kekaisaran Romawi

Republik Romawi adalah fase dari Kebudayaan Romawi kuno yang ditandai dengan bentuk pemerintahan republik. Periode Republik Romawi dimulai dari penggulingan Kerajaan Roma (ca. 509 SM), dan diikuti oleh berbagai perang saudara. Di masa Republik Romawi pula terjadi perang terkenal yang bernama Perang Punic antara Republik Romawi dengan Kekaisaran Kartago. Kapan tepatnya Republik Romawi berakhir masih belum disetujui oleh para sejarawan, tergantung definisi yang digunakan. Sebagian sejarawan mengusulkan penunjukan Julius Caesar sebagai diktator seumur hidup pada 44 SM), dan sebagian lainnya mengusulkan Pertempuran Actium (2 September 31 SM), dan sebagian lainnya mengusulkan pemberian kekuasaan penuh bagi Octavianus pada 16 Januari 27 SM sebagai tanggal berakhirnya Republik Romawi dan berdirinya Kekaisaran Romawi.

Pemerintahan Republik Romawi diatur oleh adat, tradisi dan hukum. Secara garis besar, pemerintahan dijalankan bersama-sama oleh tiga pihak: dua orang konsul, senat, dan golongan Pleb.

Kekaisaran Romawi (bahasa Latin: Imperium Romanum) adalah periode pasca-Republik peradaban Romawi kuno, ditandai dengan bentuk pemerintahan autokrasi dan wilayah kekuasaan yang lebih luas di Eropa dan sekitar Mediterania.[6]

Republik Romawi yang betahan selama 500 tahun dan lebih dulu ada, telah melemah dan runtuh melalui beberapa perang saudara.[nb 2] Beberapa peristiwa banyak diajukan sebagai penanda peralihan dari Republik menjadi Kekaisaran, termasuk penunjukan Julius Caesar sebagai diktator seumur hidup (44 SM), Pertempuran Actium (2 September 31 SM), dan pemberian gelar Augustus kepada Oktavianus oleh Senat (4 Januari 27 SM).[nb 3]

Ekspansi Romawi dimulai sejak masa Republik, namun Kekaisaran ini mencapai wilayah terluasnya di bawah kaisar Trajanus: pada masa peemrintahannya (98 sampai 117 M) Kekaisaran Romai menguasai kira-kira 6.5 juta km2[7] permukaan tanah. Karena wilayahnya yang luas dan jangka waktunya yang lama, institusi dan kebudayaan Romawi memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan bahasa, agama, arsitektur, filsafat, hukum, dan bentuk pemerintahan di daerah-daerah yang dikuasainya, khususnya di Eropa. Ketika bangsa Eropa melakukan ekspansi ke belahan dunai lainnya, pengaruh Romawi ikut disebarkan ke seluruh dunia.

Pada akhir abad ke-3 M, Diokletianus memulai praktik membagi kekuasaan kepada empat ko-kaisar, dengan tujuan mengamankan wilayahnya yang luas, sekaligus mengakhiri Krisis Abad Ketiga. Pada dekade berikutnya Kekaisaran seringkali dibagi menjadi Barat/Timur. Setelah kematian Theodosius I pada 395 Kekaisaran dibagi untuk terakhir kalinya.[8]

Kekaisaran Romawi Barat runtuh pada 476 M setelah Romulus Augustus dipaksa untuk menyerahkan tahtanya kepada pemimpin Jermanik, Odoaker.[9] Kekaisaran Romawi Timur atau Kekaisaran Bizantium sendiri berakhir pada tahun 1453 dengan meninggalnya Konstantinus XI dan penaklukan Konstantinopel oleh Turki Ustmaniyah yang dipimpin oleh Mehmed II

Kekuasaan Kaisar (atas imperiumnya), paling tidak secara teori, adalah berdasarkan kekuasaannya sebagai Tribunus (potestas tribunicia) dan sebagai Prokonsul Kekaisaran (imperium proconsulare).[11] Secara teori, kekuasaan Tribunus (sebagaimana sebelumnya kekuasaan Tribunus Pleb di masa Republik Romawi) membuat seorang Kaisar dan jabatannya menjadi tak dapat dipersalahkan (sacrosanctus), dan memberikan Kaisar kekuasaan untuk mengatur pemerintahan Romawi, termasuk kekuasaan untuk mengepalai dan mengontrol Senat.[12]

Kekuasaan Prokonsul Kekaisaran (sebagaimana sebelumnya kekuasaan gubernur militer, atau prokonsul, di masa Republik Romawi) memberinya wewenang atas tentara Romawi. Ia juga mendapat kekuasaan yang di masa Republik merupakan hak dari Senat dan Majelis Romawi, antara lain termasuk hak untuk menyatakan perang, meratifikasi perjanjian, dan bernegosiasi dengan para pemimpin asing.[13]

Kaisar juga memiliki kewenangan untuk melaksanakan berbagai tugas yang sebelumnya dilakukan oleh para Censor, termasuk kekuasaan untuk mengatur keanggotaan Senat.[14] Selain itu, Kaisar juga mengendalikan lembaga keagamaan, karena sebagai kaisar ia adalah Pontifex Maximus dan merupakan salah satu anggota pimpinan dari keempat lembaga keagamaan Romawi. Perbedaan-perbedaan wewenang tersebut meskipun jelas di masa awal Kekaisaran, akhirnya mengabur dan kekuasaan Kaisar menjadi kurang konstitusional dan semakin monarkis.

Catatan
  1. ^ Since classical and modern concepts of state do not coincide, other possibilities include Res publica Romana, Imperium Romanum or Romanorum (also in Greek: Βασιλείᾱ τῶν Ῥωμαίων – Basileíā tôn Rhōmaíōn – [“Dominion (Literally ‘kingdom’) of the Romans”]) and Romania. Res publica, as a term denoting the Roman “commonwealth” in general, can refer to both the Republican and the Imperial era, while Imperium Romanum (or, sometimes, Romanorum) is used to refer to the territorial extent of Roman authority. Populus Romanus, “the Roman people”, is often used for the Roman state dealing with other nations. The term Romania, initially a colloquial term for the empire’s territory as well as the collectivity of its inhabitants, appears in Greek and Latin sources from the fourth century onward and was eventually carried over to the Byzantine Empire. (See Wolff, R.L. “Romania: The Latin Empire of Constantinople”. In: Speculum, 23 (1948), pp. 1–34 (pp. 2–3).)
  2. ^ Dalam pertikaian Akhir Republik, ratusan senator dibunuh atau meninggal, dan Senat Romawi diisi kembali dengan orang-orang pendukung Triumvirat Pertama dan kemudian dengan para pendukung Triumvirat Kedua.
  3. ^ Oktavianus/Augustus secara resmi mengumumkan bahwa dia telah menyelamatkan Republik Romawi dan secara hati-hati menyamarkan kekuasaannya di bawah bentuk republik; konsul terus dipilih, tribunus kaum plebeian terus mengusulkan undang-undang, dan senator masih berdiskusi di Curia Romawi. Akan tetapi, Oktavianus sendirilah, serta para kaisar berikutnya, yang menentukan segalanya dan mengendalikan keputusan akhir, dan memiliki legiun untuk membantunya jika dibutuhkan.
Lihat pula gejolak pada zaman Republik dan Kerajaan Romawi


Pertempuran-Pertempuran Sebelum 623 M

Pertempuran Megiddo
Pertempuran ini saya pilih karena merupakan pertempuran pertama dalam sejarah yang memiliki laporan yang cukup detail: tulisan hieroglif di Kuil Amun, Karnak, Thebes (sekarang Luxor). Catatan tersebut mengandung jumlah pasukan dan penghitungan jumlah korban dan tawanan.

Pertempuran ini diperkirakan berlangsung tanggal 16 April 1457 SM di sebuah kota kuno, Kota Tel Megiddo (di daerah Palestina sekarang), antara 10.000-20.000 pasukan Mesir yang dipimpin oleh Fir’aun Thutmose III melawan pasukan koalisi bangsa Kanaan yang dipimpin oleh raja Kadesh yang jumlahnya lebih kecil. Kemenangan didapatkan oleh Mesir. Pada pertempuran ini juga untuk pertama kalinya ada catatan tertua dari penggunaan panah komposit

Pertempuran Muye

Pertempuran ini berlangsung pada tahun 1046 SM di Muye, tenggara Yin (Ibukota Dinasti Shang), Henan Tengah. Dalam pertempuran ini, tercatat 530.000 pasukan Shang yang dipimpin oleh Di Xin dikalahkan oleh pasukan Zhou dan sekutunya yang dipimpin oleh Panglima Wu. Pasukan Zhou berjumlah lebih sedikit, terdiri dari 300 kereta perang, 3.700 kereta perang Shang yang memberontak, 3.000 pasukan elit Zhou, 45.000 pasukan infantri, dan 170.000 budak Shang yang membelot.

Nilai penting pertempuran ini adalah berdirinya Dinasti Zhou sebagai dinasti terkuat di daratan Cina dan awal dimulainya masa feodal di Cina.

Pertempuran Gunung Gilboa
Pertempuran ini diperkirakan berlangsung beberapa tahun sebelum 1000 SM. Satu-satunya sumber tentang pertempuran ini adalah kitab suci umat Kristen dan Yahudi. Pertempuran berlangsung di Gilboa antara pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Raja Saul (Thalut menurut klaim umat Islam) melawan pasukan Filistin. Pertempuran ini dimenangkan oleh bangsa Filistin dan Saul gugur. Kematiannya memudahkan Daud yang populer menjadi raja Israel Bersatu. Namanya sebagai raja Israel ditulis dalam catatan yang dimiliki kerajaan tetangganya di daerah Mesopotamia.
Naiknya Daud ke kekuasaan membawa Israel Bersatu memperluas teritorinya dan menjadi kerajaan paling berpengaruh di Timur Tengah saat itu.

Pengepungan Yerusalem I dan II



Kedua pengepungan ini dilakukan oleh Nebuchadnezzar II, Raja Babilonia, atas Yerusalem, ibukota Kerajaan Yudea. Dalam pengepungan pertama, beribu-ribu orang Israel dijadikan budak. Peristiwa ini dikenal sebagai Pembuangan Pertama, awal dari diaspora bangsa Israel. Pengepungan ini disebabkan pemberontakan Raja Yehoyakim atas Babilonia (Yudea merupakan salah satu negeri taklukan Babilonia saat itu).

Beberapa tahun setelah Raja Zedekia diangkat menjadi raja baru oleh Nebuchadnezzar II, Zedekia juga memberontak. Nebuchadnezzar II kembali mengepung Yerusalem. Kali ini akibatnya jauh lebih buruk, Kuil Sulaiman (Masjid Al-Aqsha menurut klaim umat Islam) dihancurkan total. Hampir seluruh bangsa Israel Yudea dibuang dan dijadikan budak. Pengepungan kedua menandakan berakhirnya Kerajaan Yudea.

Pemberontakan Persia

Persia yang menjadi daerah taklukan Media memberontak yang mengakibatkan berbagai pertempuran, dimulai tahun 552 SM dan berakhir pada 550 SM. Dalam pertempuran-pertempuran selama dua-tiga tahun tersebut, Cyrus the Great berhasil membawa Persia pada kemerdekaan. Cyrus the Great bahkan memperluas imperium barunya dan menaklukkan Media dan Babilonia. Imperiumnya menjadi imperium terbesar pada zaman itu: Imperium Persia

Cataphract

Kataphract merupakan pasukan kavaleri berat yang digunakan kebanyakan di Eropa Timur dan Eropa Tenggara, di Anatolia dan Iran semenjak akhir silam Zaman Klasik sampai Pertengahan Abad Pertengahan. Istilah ini adalah istilah Yunani, dengan kata dasar yang berarti “tertutup” atau “terlindungi”, dan istilah militer khusus adalah “berperisai”. Negara yang menggunakan Kataphract pada satu ketika dalam sejarah termasuk Sarmatia, Parthia, Sassanid, Armenia, Pergamon, Kekaisaran Romawi, Kekaisaran Bizantium, dan lain-lain.
Kataphract merupakan pasukan penyerang berat bagi kebanyakan negara yang memiliki mereka, bertindak sebagai pasukan kejutan yang disokong oleh infantari ringan atau berat dan pemanah berkuda atau berjalan kaki. Pemanah pendukung dianggap penting bagi penggunaan Kataphract dengan betul. Ini terbukti dengan keberhasilan tentara Parthia mengalahkan tentara Roma di 

Pertempuran Carrhae pada tahun 53 SM beroperasi terutamanya sebagai pasukan Kataphract senjata gabung dan pemanah berkuda menantang infanteri berat Roma.


Serbuan Kataphract biasanya lebih berdisplin dan kurang membabi-buta berbanding serbuan ksatria Eropa Barat, tetapi amat berkesan disebabkan oleh disiplin dan jumlah besar tentera yang termasuk.

Peralatan dan taktik
Peralatan dan taktik biasanya pelbagai, tetapi Kataphract biasanya mengenakan perisai tebal diperbuat daripada rantai, tanduk, atau kain (Quilt), membawa perisai menunggang kuda dan menyerbu dengan tombak dalam kedudukan rapat lutut-ke-lutut. Dalam kebanyakan tentera, Kataphract biasanya dilengkapi dengan senjata sampingan seperti pedang atau cokmar, untuk kegunaan dalam pertempuran bebas yang berlaku selepas serbuan. Sesetengah mereka menngenakan perisai hadapan sahaja tanpa perlindungan sepenuhnya sekeliling, dan kadang-kala sama juga bagi perisai untuk kuda. Dalam sebahagian tentera, Kataphract tidak dilengkapi dengan perisai, terutama sekiranya mereka mengenakan perisai badan.

Kebanyakan pasukan Kataphract dilengkapi dengan busur sebagai tambahan kepada tombak dan perisai yanga berat, untuk membolehkan mereka bertempur dengan musuh dari jauh sebelum menyerbu. Pemanah Kataphract kadang-kala digunakan secara taktikal dalam susunan berdisplin di mana sebahagian Kataphract berhadapan dengan musuh sebagai pagar berperisai sementara sebahagian yang lain bergerak kehadapan untuk memanah dan kembali ke belakang untuk mengisi panah semula, meningkatkan lagi keselamatan mereka dari serangan balas musuh. Kataphract tanpa busur kadang-kala digelar ‘tentera bertombak’.
 

Sebagian Kataphract terkemudian juga dilengkapi dengan campak buang (‘dart’) berat untuk di campak ke arah musuh semasa menyerbu, untuk mengkucar-kacirkan barisan pertahanan seketika sebelum hentaman tombak. Dengan atau tanpa campak-buang, serbuan Kataphract biasanya diiringi dengan tembakan sokongan oleh pemanag berkuda atau berjalan kaki di kiri-kanan, atau oleh Kataphract tambahan yang kemudiannya akan menyerbu pula selepas memanah dalam serbuan pertama. Sebahagian tentera merasmikan taktik ini dengan menggunakan Kataphract tambahan, tentera bertombak berperisai tebal tanpa busur untuk serbuan pertama dan Kataphract jenis biasa dengan busur dan anak panah sebagai unit sokongan.

Tentera Roma menggunakan Kataphract lewat dalam sejarah mereka, malah ketika itu pun, kebanyakannya hanya digunakan disebelah Timur. Tambahan kepada jenis Kataphract mereka kadang-kala menggunakan jenis berperisai lebih tebal yang dikenali sebagai clibanarius (banyak. clibanarii), dinamakan sempena oven besi disebabkan perisai bertutup mereka. Mereka juga membentuk unik ujian scythed pedati dengan penombak Kataphract menunggang kuda pedati tersebut.

Negara-negara di Timur Tengah kadang-kala menggunakan Kataphract menunggang unta bukannya kuda, dengan kelebihan yang jelas untuk kegunaan di kawasan kering, termasuk juga kelebihan bahawa bau unta jika dari arah angin merupakan cara yang hampir pasti mengejutkan unit berkuda musuh yang mereka hadapi. Sebaliknya pula adalah kelemahan unit menunggang unta berbanding caltrops, disebabkan unta mempunyai tapak kaki yang lembut berbanding kuda

Komentar