Allah mengangkat Syu’aib ‘alaihissalam
menjadi Nabi dan mengutus beliau ke negeri Madyan. Kejahatan yang
dilakukan penduduk Madyan tidak hanya melakukan kesyirikan tetapi juga
berbuat curang dalam timbangan dan takaran. Juga melakukan kecurangan
dalam bermuamalat dan mengurangi hak orang lain. Nabi Syu’aib ‘alaihissalam
mengajak mereka untuk beribadah hanya kepada Allah saja dan melarang
mereka berbuat syirik. Beliau juga memerintahkan agar berbuat adil dan
jujur dalam bermuamalat, serta mengingatkan mereka agar jangan merugikan
orang lain.
Nabi Syu’aib ‘alaihissalam mengingatkan kaumnya tentang kebaikan yang telah Allah limpahkan kepada mereka berupa rezeki yang beraneka ragam. Sesungguhnya dengan itu semua, mereka tidak perlu sampai menzalimi manusia dalam urusan harta. Nabi Syu’aib ‘alaihissalam juga mengancam dengan adzab yang mengepung mereka di dunia sebelum di akhirat nanti. Namun mereka menyambutnya dengan ejekan dan menolak seruan itu sambil mengejek. Mereka berkata,
Nabi Syu’aib ‘alaihissalam mengingatkan kaumnya tentang kebaikan yang telah Allah limpahkan kepada mereka berupa rezeki yang beraneka ragam. Sesungguhnya dengan itu semua, mereka tidak perlu sampai menzalimi manusia dalam urusan harta. Nabi Syu’aib ‘alaihissalam juga mengancam dengan adzab yang mengepung mereka di dunia sebelum di akhirat nanti. Namun mereka menyambutnya dengan ejekan dan menolak seruan itu sambil mengejek. Mereka berkata,
يَا شُعَيْبُ أَصَلاَتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ
آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِيْ أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءِ إِنَّكَ
لأَنْتَ الْحَلِيْمُ الرَّشِيْدُ
“Hai Syu’aib, apakah shalatmu (agamamu) menyuruhmu agar kami
meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami
memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu
adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.” (Hud: 87)
Yakni, kami tetap akan bertahan menyembah apa yang disembah oleh
bapak-bapak kami. Dan kami akan tetap berbuat terhadap harta kami dengan
berbagai bentuk muamalat yang kami inginkan, tidak berada di bawah
aturan atau ketetapan Allah dan para rasul-Nya.
Nabi Syu’aib ‘alaihissalam berkata (sebagaimana firman Allah),
قَالَ يَاقَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلىَ بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّيْ وَرَزَقَنِيْ مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا
“Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang
nyata dari Rabbku dan dianugerahkan kepadaku daripada-Nya rizki yang
baik (patutkah aku menyalahi perintahnya?” (Hud: 88)
Maksudnya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencukupi aku (dengan rezeki-Nya).
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَمَا أُرِيْدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيْدُ إِلاَّ اْلإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang.” (Hud: 88)
Yakni, tidaklah aku melarang kalian dari berbagai muamalat
yang buruk dan di dalamnya terdapat perbuatan yang menzalimi manusia,
melainkan aku adalah orang pertama yang meninggalkannya, padahal Allah
telah memberi aku harta dan memperluas rezeki untukku. Dan saya sangat
membutuhkan adanya hubungan muamalat ini. Namun, saya terikat dengan
kewajiban taat kepada Rabb-ku. Saya tidak bermaksud dengan
tindakan dan perintahku ini kepada kalian kecuali mendatangkan
perbaikan. Artinya, semampu saya, saya akan berusaha agar keadaan dunia
dan akhirat kalian menjadi baik.
وَمَا تَوْفِيْقِيْ إِلاَّ بِاللهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيْبُ
“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan)
Allah. Hanya kepada Allah aku berserah diri dan hanya kepada-Nya-lah aku
kembali.” (Hud: 88)
Kemudian, beliau mengancam mereka dengan siksaan yang pernah menimpa umat-umat yang masa dan tempatnya di sekitar mereka.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
لاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شِقَاقِيْ أَنْ يُصِيْبَكُمْ مِثْلَ مَا أَصَابَ
قَوْمَ نُوْحٍ أَوْ قَوْمَ هُوْدٍ أَوْ قَوْمَ صَالِحٍ وَمَا قَوْمَ لُوْطٍ
مِنْكُمْ بِبَعِيْدٍ
“Janganlah sekali-kali pertentangan antara aku (dengan kamu)
menyebabkan kamu berbuat aniaya sehingga kamu ditimpa adzab seperti yang
menimpa kaum Nuh atau kaum Hud atau kaum Shalih, sedangkan kaum Luth
tidak (pula) jauh dari kalian.” (Hud: 89)
Beliau menawarkan kepada mereka agar bertaubat dan membangkitkan keinginan mereka untuk bertaubat. Nabi Syu’aib ‘alaihissalam berkata, sebagaimana firman Allah,
وَاسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوْبُوْا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي رَحِيْمٌ وَدُوْدٌ
“Dan mohonlah ampunan kepada Rabb kalian kemudian bertaubatlah
kepada-Nya. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.” (Hud: 90)
Namun semua seruan itu tidak berfaidah sedikitpun. Mereka berkata,
مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِمَّا تَقُوْلُ
“Kami tidak banyak mengerti apa yang kamu katakan.” (Hud: 91)
Perkataan ini jelas karena sikap keras kepala mereka dan kebencian yang sangat besar terhadap kebenaran.
وَإِنَّا لَنَرَاكَ فِيْنَا ضَعِيْفًا وَلَوْلاَ رَهْطُكَ لَرَجْمَنَاكَ وَمَا أَنْتَ عَلَيْنَا بِعَزِيْزٍ
“Dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seseorang yang
lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami
sudah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di
sisi kami.” (Hud: 91)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
قَالَ يَاقَوْمِ أَرَهْطِي أَعَزُّ عَلَيْكُمْ مِنَ اللهِ
وَاتَّخَذْتُمُوهُ وَرَاءَكُمْ ظِهْرِيًّا إِنَّ رَبِّي بِمَا تَعْمَلُوْنَ
مُحِيْطٍ
“Syu’aib menjawab, ‘Hai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat
menurut pandangan kalian daripada Allah, sedangkan Allah kamu jadikan
sesuatu yang terbuang di belakangmu? Sesungguhnya Rabbku meliputi apa
yang kamu kerjakan.’” (Hud: 92)
Dan ketika melihat kekerasan mereka, beliau berkata:
وَيَا قَوْمِ اعْمَلُوْا عَلىَ مَكَانَتِكُمْ إِنِّيْ عَامِلٌ سَوْفَ
تَعْلَمُوْنَ مَنْ يَأْتِيْهِ عَذَابٌ يُخْزِيْهِ وَمَنْ هُوَ كَاذِبٌ
وَارْتَقِبُوْا إِنِّيْ مَعَكُمْ رَقِيْبٌ
“Dan (dia berkata), ‘Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu,
sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa
yang akan ditimpa adzab yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. Dan
tunggulah (adzab Allah), sesungguhnya akupun menunggu bersama kalian.’
Dan ketika datang adzab Kami, Kami selamatkan Syu’aib dan orang-orang
yang beriman bersamanya dengan rahmat dari Kami. Sedangkan orang-orang
yang dzalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah
mereka mati bergelimpangan di rumah-rumah mereka.” (Hud: 93-94)
Kemudian Allah mengirimkan rasa panas yang hebat kepada mereka yang
menyumbat pernafasan mereka sehingga mereka hampir tercekik karena
dahsyatnya. Di saat demikian, Allah mengirimkan awan dingin yang
menaungi mereka, lalu merekapun panggil memanggil untuk bernaung di
bawahnya. Setelah mereka berkumpul di bawahnya, tiba-tiba muncullah
nyala api demikian hebat membakar mereka hingga merekapun mati dalam
keadaan mendapat adzab, kehinaan dan kutukan sepanjang masa.
Beberapa Pelajaran
1. Merugikan timbangan dan takaran secara khusus ataupun merugikan
manusia secara umum merupakan kejahatan yang pantas menerima adzab di
dunia dan akhirat.
2. Kemaksiatan yang terjadi pada seseorang yang sebetulnya tidak ada
faktor pendorong dalam dirinya dan tidak pula berhajat kepada
kemaksiatan itu, dosanya lebih besar dibandingkan orang yang bermaksiat
didorong oleh suatu keinginan atau kebutuhan. Oleh karena itu, zina yang
dilakukan oleh seorang tua atau orang yang sudah pernah menikah, jauh
lebih buruk keadaannya dibandingkan zina yang dilakukan oleh seorang
pemuda atau orang yang belum pernah menikah.
3. Begitu pula kesombongan pada diri seorang fakir (miskin), jauh
lebih buruk keadaannya dibandingkan kesombongan yang dimiliki oleh
seseorang yang mempunyai harta. Demikian pula pencurian yang dilakukan
oleh orang yang sebetulnya tidak membutuhkan harta curian itu, dosanya
jauh lebih besar daripada pencurian yang dilakukan oleh orang yang
memang sangat membutuhkan harta yang dicurinya. Oleh karena inilah Nabi
Syu’aib ‘alaihissalam mengatakan sebagaimana disebutkan dalam ayat,
إِنِّيْ أَرَاكُمْ بِخَيْرٍ
“Sesungguhnya aku melihat kalian dalam keadaan yang baik (mampu).” (Hud: 84)
Yakni, kalian dalam keadaan penuh kenikmatan dan kesenangan yang
berlimpah, maka apa sesungguhnya yang mendorong kalian sehingga kalian
begitu tamak kepada apa yang ada di tangan manusia dengan cara yang
diharamkan?
4. Pelajaran yang lain, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
بَقِيَّةُ اللهِ خَيْرٌ لَكُمْ
“Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu.” (Hud: 86)
Di dalamnya terdapat dorongan untuk rela dengan apa yang diberikan
Allah, merasa cukup dengan yang halal dan (menjauhi) yang haram,
membatasi pandangan kepada milik sendiri dan tidak perlu melihat kepada
harta benda manusia.
5. Dalam kisah ini, terdapat dalil bahwa shalat merupakan sebab
terlaksananya suatu kebaikan dan meninggalkannya merupakan suatu
kemungkaran serta ditunaikannya nasehat untuk sesama hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Orang-orang kafir mengetahui hal itu sebagaimana mereka katakan kepada Nabi Syu’aib ‘alaihissalam, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang ucapan mereka,
أَصَلاَتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ
نَفْعَلَ فِيْ أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءِ إِنَّكَ لأَنْتَ الْحَلِيْمُ
الرَّشِيْدُ
“Apakah shalatmu yang menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang
disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang
kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang
sangat penyantun lagi berakal.” (Hud: 87)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Al-‘Ankabut: 45)
Dari sini, diketahui hikmah dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengapa Dia wajibkan shalat ini kepada kita lima kali sehari semalam,
(yaitu) karena begitu tinggi nilainya dan betapa besar manfaatnya dan
sangat indah pengaruhnya. Segala pujian yang sempurna hanya bagi Allah
atas semua kenikmatan itu.
6. Seorang manusia dalam setiap gerak-geriknya dan dalam bermuamalat
masalah harta berada di bawah ketentuan hukum syariat. Maka apa saja
yang dibolehkan, itulah yang harus dikerjakan dan apa yang dilarang oleh
syariat sudah tentu harus ditinggalkannya.
Barangsiapa yang menganggap dia bebas berbuat dengan hartanya dalam
bermuamalat dengan cara yang baik ataupun buruk, maka sama saja
keadaannya dengan orang yang menganggap amalan atau gerak-gerik badannya
juga bebas tidak terikat aturan syariat. Dengan demikian, tidak ada
bedanya menurut dia antara kekafiran dan keimanan, kejujuran dan
kebohongan, perbuatan yang baik dan yang buruk, semua boleh.
Tentunya jelas bagi kita bahwa ini adalah madzhab (pendapat dan
keyakinan) orang-orang ibahiyyin (yang menganggap mubah atau halalnya
segala sesuatu), dan mereka ini merupakan sejahat-jahatnya makhluk. Dan
madzhab kaum Nabi Syu’aib tidak jauh berbeda dengan madzhab ini. Karena
mereka mengingkari Nabi Syu’aib ‘alaihissalam yang melarang
mereka dari muamalat yang bersifat dzalim, dan mengizinkan muamalat yang
selain itu. Mereka menentangnya karena menganggap mereka bebas berbuat
apa saja terhadap harta mereka. Sama seperti ini adalah perkataan
orang-orang yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya,
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
“Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Maka, barangsiapa yang menyamakan antara yang dihalalkan dan
diharamkan oleh Allah berarti dia telah menyimpang dari fitrah dan
akalnya, setelah dia melakukan penyimpangan pula dari agamanya.
7. Orang yang memberi nasehat kepada orang lain, memerintahkan
(kebaikan) dan melarang mereka (dari kejelekan), agar sempurna
penerimaan manusia terhadap nasehatnya itu, maka apabila dia
memerintahkan suatu kebaikan hendaklah dia menjadi orang yang mula-mula
mengerjakan kebaikan tersebut. Dan apabila dia melarang mereka dari
suatu kemungkaran, maka hendaklah dia menjadi orang yang pertama sekali
meninggalkan dan menjauhinya.
Demikianlah yang dikatakan Nabi Syu’aib ‘alaihissalam sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَمَا أُرِيْدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang.” (Hud: 88)
8. Para nabi diutus dengan membawa kebaikan dan untuk memperbaiki,
serta mencegah timbulnya kejahatan dan kerusakan. Maka seluruh kebaikan
dan perbaikan dalam urusan agama dan dunia merupakan ajaran para nabi,
terutama imam dan penutup para nabi tersebut yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau telah menampakkan dan mengulang kembali landasan utama ini dan
telah pula meletakkan dasar-dasar yang besar manfaatnya, di mana mereka
berjalan di atasnya dalam berbagai urusan duniawi, sebagaimana juga
beliau telah meletakkan dasar-dasar utama dalam urusan agama.
9. Pada dasarnya wajib bagi tiap orang untuk berupaya dengan
sungguh-sungguh dalam kebaikan dan perbaikan, maka wajib pula baginya
untuk meminta pertolongan Rabbnya dalam usaha tersebut. Dan agar dia
mengetahui bahwa dia tidak mampu melakukan atau menyempurnakannya
kecuali dengan pertolongan Allah, seperti yang dikatakan Nabi Syu’aib ‘alaihissalam, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَمَا تَوْفِيْقِيْ إِلاَّ بِاللهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيْبُ
“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan)
Allah. Hanya kepada Allah aku berserah diri dan hanya kepada-Nya-lah aku
kembali.” (Hud: 88)
10. Seorang da’i yang mengajak umat kembali kepada Allah sangat
membutuhkan sifat santun, akhlak yang baik dan kesanggupan mengimbangi
perkataan dan perbuatan yang buruk yang ditujukan kepadanya dengan
perbuatan yang sebaliknya. Dan sepantasnya dia tidak mempedulikan
gangguan orang lain dan jangan sampai menghalangi mereka sedikitpun dari
seruannya. Akhlak seperti ini yang paling sempurna hanya ada pada diri
para rasul shalawatullah wa salamuhu ‘alaihim.
Maka, perhatikanlah keadaan Nabi Syu’aib ‘alaihissalam dan
kemuliaan akhlaknya bersama kaumnya. Bagaimana beliau mengajak kaumnya
dengan segala macam cara, sementara mereka justru memperdengarkan kepada
mereka kata-kata yang buruk dan membalas seruan itu dengan
perbuatan-perbuatan yang keji. Beliau ‘alaihissalam tetap
menunjukkan sikap santun, memaafkan mereka dan berbicara kepada mereka
dengan kalimat-kalimat yang tidak keluar dari orang seperti beliau
selain kebaikan.
Akhlak seperti ini adalah akhlak orang-orang yang berhasil dan
memiliki keberuntungan yang besar. Dan tentunya pemiliknya mempunyai
kedudukan mulia dan kenikmatan yang kekal di sisi Allah. Sehingga dengan
ini semua, menjadi ringanlah baginya untuk mengobati umat yang telah
demikian rusak akhlak mereka, (yang bagi orang lain) adalah suatu
perkara yang sangat sulit dan bahkan lebih sulit daripada upaya
membongkar sebuah gunung dari dasarnya.
Sementara itu kaumnya terus-menerus tenggelam dalam keyakinan dan
pemikiran yang rusak dan bahkan mereka kerahkan semua harta, jiwa dan
raga mereka untuk mengutamakan dan melebihkannya di atas segala-galanya.
Apakah Anda mengira, bahwa orang-orang seperti mereka ini akan merasa
cukup puas hanya dengan ucapan semata bahwa keyakinan dan pemikiran
yang mereka anut adalah salah dan rusak? Ataukah Anda mengira bahwa
mereka akan memaafkan orang yang mencaci-maki mereka dan menghina
keyakinan mereka? Sekali-kali tidak, demi Allah.
Sesungguhnya mereka ini betul-betul membutuhkan bermacam-macam cara
untuk memperbaiki keyakinan mereka, dan itu hanya dengan cara yang
diserukan oleh para rasul. Di mana para rasul itu mengingatkan manusia
dengan nikmat-nikmat Allah dan bahwa Dzat yang sendirian memberikan
kenikmatan kepada mereka itulah yang sesungguhnya berhak menerima
peribadatan, apapun bentuknya. Juga para rasul itu menyebutkan kepada
mereka berbagai kenikmatan yang terperinci dan tidak mungkin dapat
dihitung oleh siapapun kecuali Allah.
Para rasul itu mengingatkan pula bahwa dalam keyakinan dan pendirian
mereka terdapat kerusakan dan penyimpangan, kegoncangan serta
pertentangan yang dapat merusak keyakinan atau keimanan yang mendorong
untuk ditinggalkan.
Para rasul juga mengingatkan manusia tentang hari-hari Allah yang ada
di hadapan dan di belakang mereka serta siksaan-Nya yang telah menimpa
umat-umat yang mendustakan para rasul, mengingkari tauhid. Mereka
mengingatkan bahwa hanya dengan beriman kepada Allah dan
mentauhidkan-Nya akan mendapatkan kebaikan dan kemaslahatan serta
kemanfaatan dalam agama dan dunia, yang tentunya akan menarik hati
siapapun dan memudahkan untuk mencapai semua tujuan.
Dengan ini semua maka seseorang membutuhkan sikap yang baik terhadap
mereka dan minimal adalah bersabar atas gangguan dan semua keburukan
yang muncul dari mereka dan selalu berkata lemah-lembut dengan mereka.
Dan perlunya pula mengupayakan semua jalan yang mengandung hikmah dan
berdialog bersama mereka dalam berbagai urusan dengan mencukupkan
sebagian yang diizinkan (diterima) jiwa mereka untuk menyempurnakannya.
11. Diperhatikan pula perlunya mendahulukan hal-hal yang paling utama
kemudian yang berikutnya. Dan yang paling besar usahanya melaksanakan
semua ini adalah penutup para nabi dan imam seluruh makhluk ini, yaitu
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu a’lam.
Penulis: Ustadz Abu Muhammad Harits
Artikel www.KisahMuslim.com
Komentar
Posting Komentar