Kita sekarang berada di Istanbul, pada masa berkuasanya Sultan Sulaiman
Al-Qanuni. Pada masanya, Dinasti Turki Utsmani mencapai puncak
kejayaannya. Kala itu, Turki Utsmani hidup dalam zaman keemasan.
Sultan
Sulaiman bermaksud membangun sebuah mesjid yang berbeda dengan
masjid-masjid lainnya. Ia ingin membangun masjid yang lebih megah daru
masjid-masjid yang telah dibangun nenek moyangnya. Masjid yang akan
dibangun harus besar, megah, dan indah, harus menjadi ikon kemegahan
Istanbul. Para pembesar kota menyebar ke seluruh penjuru untuk mendapat
lokasi yang tepat untuk masjid tersebut.
Ada banyak lokasi pilihan. Namun hanya ada satu lokasi terbaik,
terluas, dan terindah. Maka dipilihlah lokasi itu untuk membangun
masjid.
Panitia pembangunan menghadapi sedikit kendala. Di lokasi tersebut
terdapat gubuk kecil milik seorang Yahudi. Untuk memperlancar proses
pembangunan, gubuk tersebut harus dirobohkan dahulu.
Panitia mengetuk pintu gubuk, dan keluarlah dari dalamnya seorang Yahudi.
“Baik, ada urusan apa kalian datang kemari?” Tanya si Yahudi.
“Kami
adalah para punggawa sultan. Kami mendapat perintah agar membangun
masjid. Kami sedang mencari sebuah lokasi yang tepat untuk itu.”
“Apa yang bisa aku lakukan untuk membantu kalian? Aku bukanlah seorang ahli bangunan.”
“Iya,
tanah ini dipilih untuk menjadi bagian dari masjid yang akan dibangun,
sementara gubukmu berada di dalamnya. Karena itu, gubuk ini harus
dirobohkan.”
“Apakah kalian hendak merobohkan gubukku?”
“Kami akan membelinya. Berapa harga yang kau minta?”
“Tidak…aku tidak bermaksud menjualnya.”
“Kami akan membayarmu dengan harga yang pantas. Kamu dapat membeli rumah yang lebih layak daripada gubuk kecil ini.”
“Tidak…tidak…aku merasa nyaman dengan gubuk ini. Benar gubuk ini
kecil, tetapi ia berada di tempat terbagus sebagaimana kalian juga tahu.
Dari sini aku bisa melihat pemandangan pantai teluk.”
“Kami akan membayar dengan harga berlipat-lipat.”
“Tidak…aku tidak bermaksud menjualnya. Selain itu, gubuk ini dekat dengan tempat kerjaku.”
Mereka
merasa tidak berguna lagi membujuk si Yahudi yang keras kepala itu.
Mereka pun memutuskan untuk menghadap sultan. Mereka duduk lesu di
hadapan sultan.
“Yang Mulia, ada sebuah bangunan gubuk milik seorang Yahudi.
Lokasinya tepat di tengah tanah yang Tuan kagumi. Kami mencoba
membelinya. Namun, si Yahudi itu menolaknya, meski dengan harga
berlipat-lipat. Jika Tuan memerintahkan, kami akan mengusir si Yahudi
keras kepala itu, lalu merobohkan gubuknya.
Sultan menggeleng-gelengkan kepala pertanda tidak setuju dengan usulan tersebut.
“Tidak…itu bukan kebiasaan kita. Agama kita tidak mengijinkan kita
untuk menzhalimi seseorang. Kita harus mencari cara yang tepat…”
Demikianlah, rencana pembangunan masjid terhenti. Semuanya mencari jalan yang sesuai dengan syariat.
Sultan memutuskan untuk meminta pertimbangan dari ulama untuk menyelesaikan masalah ini.
Ulama menjawab, “Yang Mulia, hukum Islam telah sangat jelas dalam
melihat masalah ini. Kita tidak bisa memaksakan hukuman apapun kepada si
Yahudi, hanya karena ia menolak menjual tanahnya. Gubuk itu miliknya,
dan tidak boleh dirampas dengan paksa. Jika ia mati, anak-anaknya juga
berhak untuk menolak menjual gubuk itu, karena syariat Islam mengesahkan
perpindahan hak dari seorang ayah kepada anak-anaknya. Tidak ada cara
lain, yang mulia, selain berusaha untuk meyakinkan Yahudi itu.”
Sultan berpikir sejenak, kemudian memandang kearah para punggawanya
seraya berkata, “Aku sendiri yang akan menemui Yahudi itu. Aku akan
membujuknya agar mau menjual gubuknya.”
Demikianlah…akhirnya Sultan Sulaiman Al-Qanuni berangkat menemui
Yahudi pemilik gubuk. Ia turun dari kudanya, lalu mengetuk pintu.
Yahudi keluar dari gubuk. Ia melihat sultan telah berdiri diiringi
oleh para pungawalnya. Dengan mata bingung, ia mendengar sultan yang
memintanya untuk menjual gubuknya. Kali ini, ia tidak kuasa menolak
bujukan sultan, apalagi sultan menawarkan harga berkali-kali lipat dari
yang ditawarkan punggawanya.
Gubuk Yahudi pun terjual.
Demikianlah…pembangunan Masjid Sulaimaniyah yang besar telah
selesai. Masjid tersebut menjadi symbol kemajuan seni arsitektur Islam.
Apa yang dilakukan sultan kepada Yahudi menjadi saksi akan keadilan dan
rahmat Islam bagi semua umat manusia.
Maha Benar Allah yang telah berfirman: “Dan tiadalah Kami menutus
kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
(Al-Anbiyaa’:107)
Sumber : Golden Stories Kisah-Kisah Indah dalam Sejarah Islam, Mahmud Musthafa Sa’ad, DR. Nashir Abu Amir Al-Humaidi, Pusataka Al-Kautsar
https://muslimina.blogspot.co.id/2017/03/keadilan-islam-kisah-orang-yahudi-dan.html
Komentar
Posting Komentar