EMPAT KESUKAAN LELAKI BUGIS
Serta konsepsi keseimbangannya
Entah karena konstruk budaya atau karena keturunan, lelaki Bugis identik
dengan empat hal. Sehingga dengan kegemaran pada salah satu, dua, tiga
atau keempat-empatnya menjadi kelengkapan kelelakian seorang lelaki
Bugis.
Bukan berarti bahwa keempat hal tersebut milik lelaki Bugis belaka. Akan
tetapi, lelaki Bugis selalu menyenangi memiliki dan menjaga salah satu,
dua, tiga atau keempat-empatnya. Adapun keempat hal itu antara lain,
Batu, Besi, Ayam dan Istri.
Tulisan ini bermaksud untuk mengurai aspek keseimbangan dari keempat hal
tersebut secara filosofis. Bukan pada konteks melakukan penilaian pada
perspektif agama yang sepenuhnya penulis serahkan pada pembaca. Tulisan
ini hanya mencoba memotret dan menafsir sisi kehidupan lelaki bugis,
tidak bermaksud untuk bias gender. Atau mengagungkan kultur patriarki.
Batu
Jangan heran jika menemui lelaki Bugis yang gemar menyimpan dan
mengoleksi batu. Tentu bukan sembarang batu. Batu yang dimaksud adalah
batu mulia yang dipercaya memiliki aura atau kekuatan magis. Batu
kegemaran orang Bugis adalah jenis Feroz, Akik, Akok, dan Jamrud.
Batu mulia ini sering diikat dan dijadikan cincin. Adapula yang dipasang
di wanua polobessinya. Juga hiasan-hiasan yang sering digunakan pada
pesta pernikahan seperti kalung.
Biasanya penggemar batu, lama-kelamaan tertarik dan menjadi penggemar
besi. Begitu pula sebaliknya, penggemar besi, lama-kelamaan tertarik
pada batu. Hal ini bukan kebetulan. Sebab keduanya adalah benda mati
yang dipercaya memiliki tuah, kekuatan supranatural, yang sangat
dibutuhkan untuk membangun citra diri seorang lelaki bugis.
Batu ini juga pada konteks, mustika atau yang sering disebut kulawu.
Seringkali mustika ini didapatkan secara tak sengaja yang disebut
were=keberuntungan. Bermacam-macam kulawu ini memiliki fungsi yang
berbeda. Ada kulawu bessi, yang jika digunakan pemakainya tidak mempan
senjata tajam. Ada kulawu air, kulawu ikan, kulawu rusa, dan sebagainya.
Pada konteks yang diperluas, batu juga berarti perhiasan emas dan perak
yang sangat digemari lelaki bugis terutama kaum aristokratnya.
Pusaka-pusakanya sering berhias emas dan perak. Pada sisi lain, lelaki
bugis akan menemukan kesempurnaan sosialnya jika berhasil menghiasi
istrinya dengan emas, perak beserta batu mulia lainnya. Makanya sangat
lazim ditemukan istri-istri bugis yang memakai perhiasan emas seperti
gelang, kalung dan cincin emas. Sementara lelaki bugis, paling memakai
cincin emas.
Tak jarang lelaki bugis mengumpulkan beberapa batu mulia sebagai koleksi
pribadinya. Selain membawa kesenangan tersendiri ketika menatap
keindahan batu-batu tersebut, juga memberikan beberapa pilihan tentang
kesesuaian aura dan aspek mistik batu tersebut dengan kepentingan lelaki
Bugis sang pemilik batu tersebut.
Besi
Besi adalah hal yang sangat identik dengan lelaki bugis. Sehingga tanpa
besi seperti badik, kelewang, keris, tombak ataupun parang seseorang
tidak dapat disebut lelaki bugis. bahkan begitu dekatnya orang bugis
dengan besi, sehingga badik dianggap sebagai saudara sendiri.
Badik biasanya disisipkan dipinggang kiri. Ini menyimbolkan sebagai
tulang rusuk kiri yang disempurnakan oleh sebilah Badik. Selain itu,
badik juga dianggap sebagai saudara sejati. Ketika seorang lelaki bugis
mendapati masalah, maka hanya badiknyalah yang tidak akan
meninggalkannya hingga akhir hayatnya.
Secara umum ada tiga jenis badik di sulawesi selatan. Antara lain, badik
jenis Makassar. Cirinya, dibagian depan lancip dan bagian tengahnya
agak besar. Sering juga disebut lompobattang=besar perut sebab dibagian
perutnya agak membesar. Jenis kedua yaitu gecong. Badik model ini
cenderung lebih langsing. Lancip didepan, agak membesar kemudian
mengecil lagi didekat gagang. Badik ini umumnya digunakan didaerah
Bugis. Jenis ketiga adalah badik luwu. Model ini lancip didepan kemudian
dibagian tengah hingga belakang rata.
Dalam khazanah perbesian, dikenal pamoro = pamor yang merupakan teknik
panre=tukang besi dalam membuat urat-urat besi yang kelihatan indah.
Beberapa pamor yang terkenal seperti bunga pejje, bori bojo, daung ase,
kurissi, uleng-mpuleng dan ure tuo. Pamor-pamor tersebut dianggap
mengandung kekuatan tertentu terhadap pemakainya.
Selain pamor, juga dikenal istilah mausso. Yaitu tingkat kekuatan besi
dalam mematikan lawan. Tingkat maussonya sebuah besi dapat diuji sendiri
dengan menempelkan ujung besi dengan ujung jari. Besi yang mausso akan
terasa gatal dan seperti ada sengatan listrik kecil.
Bentuk dan tujuan pembuatan besi juga sangat diperhatikan oleh lelaki
bugis. Misalnya besi yang terbelah didepan disebut massumpang
buaja=bermulut buaya dan terbelah dipunggung badik disebut Cappa
sikadong. Cappa sikadong ini dianggap bertuah untuk dipakai melamar atau
berdagang. Ini yang disebut sissi’. Yaitu efek langsung yang dapat
dirasakan pengguna ketika membawa besi tersebut. Ada besi yang memang
didesain untuk penjaga rumah, untuk bertarung, untuk merantau, untuk
berdagang dan sebagainya.
Selain sissi’ dan pamor besi, lelaki bugis juga memperhatikan kesesuaian
ukuran besi dengan proporsi tubuhnya. Untuk mengukur hal itu, dipakai
teknik massuke dengan berbagai variasinya. Bila dilihat dari ukuran
panjang besi dari ujung hingga ke gagang, suke yang sering digunakan
adalah dua jari, atau empat jari, atau hitungan jempol. Ukuran yang
dianggap ideal adalah satu jengkal untuk badik atau sepanjang (maaf)
kelamin pria. Sepanjang lengan atas dan bawah untuk parang dan alameng.
Dan sesiku untuk keris.
Ada juga teknik massuke dengan menggunakan daun. Lidi dan kain, juga
dipakai sebagai teknik massuke untuk mengetahui arah geografis
(utara,timur,barat dan selatan) penggunaan besi saat bertarung. Dan
masih banyak lainnya teknik massuke yang tidak sempat dipaparkan disini.
Biasanya lelaki bugis mendapatkan besi sebagai warisan dari leluhur.
Namun, lelaki bugis tidak berhenti hanya dengan menyimpan warisannya.
Lelaki bugis selalu tertarik untuk memiliki lebih dari satu besi.
Sehingga lama-kelamaan lelaki bugis biasanya memiliki beberapa besi
dengan spesifikasi tertentu. Beberapa lelaki bugis ketika hendak keluar
rumah, ia berkomunikasi dengan besi-besinya yang dianggap cocok untuk
menemaninya, sesuai spesifikasi besi dengan urusannya diluar rumah.
Sehingga ia memberi kesempatan untuk “menggilir” besi-besi yang
dipakainya.
Untuk senjata besi silakan kunjungi artikel
Untuk senjata besi silakan kunjungi artikel
Ayam
Orang bugis dulu hingga sekarang sangat gemar dengan ayam. Rumah tiang
orang bugis ditinggali dibagian tengah dan dijadikan penyimpanan
dibagian atas. Sementara dibagian bawah selalu dijadikan kandang ayam.
Hampir di tiap bawah rumah orang bugis kita temukan Tarata’=tempat
bertenggernya ayam dan baka=tempat bertelurnya ayam. Artinya, hampir
semua orang bugis memelihara ayam. Ayam ini umumnya untuk dikomsumsi
terutama pada acara ritual (maccera), acara keagamaan (lebaran) dan
menghormati tamu (menu ayam). Ayam dibiarkan mencari makannya sendiri.
Adapun telurnya dimanfaatkan untuk konsumsi seperti kue-kue, menu
makanan dan obat kuat dicampur madu asli.
Selain aspek konsumsinya, ayam juga sering dijadikan aduan. Sejak zaman
dulu, orang bugis menyukai ayam aduan. Sampai-sampai, adu ayam selalu
menjadi acara wajib tiap pesta. Seperti halnya besi, orang bugis sangat
memperhatikan sissi dari ayamnya. Sissi dapat dilihat dari bulu (bakka,
barumpung, buri dst), proporsi badan ayam, bentuk pial, ekor, kaki,
bentuk paruh dan sebagainya. Lelaki bugis juga memperhatikan waktu yang
tepat bagi ayamnya untuk duel. Sehingga tidak sembarang waktu ia mengadu
ayamnya.
Seiring perkembangan zaman, saat ini populer Manu Gaga atau ayam gagap.
Ayam ini tidak dinilai dari kemampuan bertarungnya, atau pada bulunya.
Namun pada kualitas suara yang dihasilkan. Baik ayam aduan untuk
disabung maupun untuk dipertandingkan suaranya, sama-sama membutuhkan
perawatan khusus. Mulai dari pemilihan pakan, mengurut ayam, memandikan,
melatih, hingga mengawinkan ayamnya dengan ayam betina yang ideal dalam
menurunkan bibit-bibit unggul. Bagi pecinta ayam, proses ini adalah
sebuah seni. Ada kenikmatan tersendiri bagi yang bersangkutan. Mungkin
bagi orang lain, adalah hal yang membosankan. Namun sekali lagi, hal ini
adalah kenikmatan bagi pecintanya.
Biasanya lelaki bugis penggemar ayam, lama kelamaan akan menjadi
pengkoleksi ayam. Memiliki beberapa ayam merupakan kesenangan
tersendiri. Bagi sesama pengkoleksi ayam, pengetahuan tentang
spesifikasi ayam masing-masing menjadi informasi berharga dalam
transaksi, pertukaran maupun perkawinan ayam-ayam mereka.Ayam aduan
adalah sisi maskulin dan ayam konsumsi adalah sisi feminim.
Pada konteks yang lebih luas, ayam disini juga berarti unggas lain
seperti burung perkutut. Selain karena kemerduan suaranya, sebagian
lelaki bugis juga memelihara burung perkutut karena sisi mistis yang
terkandung didalamnya seperti mencegah pencurian atau kebakaran.
Sebagaimana layaknya ayam, perkutut ini juga membutuhkan perawatan
ekstra. Kemerduan suara perkutut adalah sisi feminimnya, sedang fungsi
mistis perkutut adalah sisi maskulinnya.
Perempuan
Tentu kelelakian seseorang akan dipertanyakan bila tidak memiliki
ketertarikan pada perempuan. Bagi lelaki bugis, perempuan memiliki arti
yang sangat dalam. Satu sisi, perempuan adalah hal berharga yang harus
dijaga dan dianggap siri. Di sisi lain, memiliki beberapa istri adalah
salah satu kebanggaan lelaki bugis. hingga muncul plesetan BUGIS= Banyak
Uang Gandakan Istri.
Proses menemukan pasangan ini bermakna maskulin. Dalam artian,
usaha-usaha dan perjuangan lelaki adalah sesuatu yang sangat dihargai.
Hingga muncul prinsip 3A, Akurangsiriseng (ketidakmaluan), Awaraningeng
(keberanian) dan Atemmanginggireng (sikap pantang menyerah). Bahwa
lelaki bugis, tak boleh malu menyatakan perasaannya pada perempuan yang
disenanginya. Citra lelaki bugis akan jatuh jika ia kehilangan
keberanian untuk menyatakan cintanya. Dan lelaki bugis akan dianggap
pecundang jika ia gampang putus asa dalam mendapatkan cintanya.
Epos Ilagaligo secara singkat mengisahkan perjalan dan perjuangan
Sawerigading mendapatkan cinta sejatinya yaitu We Cudai. Dikisahkan
bahwa, Sawerigading harus berlayar 40 hari 40 malam. Bertarung melawan 7
bajak laut. Terakhir, harus berperang melawan We Cudai sebelum
lamarannya diterima. Itupun, Sawerigading harus menyamar untuk bertemu
dengan We Cudai.
Nampaknya, cuplikan kisah cinta Sawerigading dan We Cudai sangat
mempengaruhi cara berpikir lelaki bugis. sehingga perjuangan mendapatkan
cinta adalah sesuatu yang sangat diapresiasi oleh orang bugis. untuk
itu, seorang lelaki bugis dilengkapi berbagai media untuk memudahkan
perjuangannya seperti mantra dan gaukeng cenning rara, kawali cappa
sikadong dan berbagai media mistis lainnya. Namun tidak melulu di ranah
metafisik, di ranah teks, lelaki bugis (tempo dulu) terkenal terampil
merayu dalam bahasa sastra yang indah yang hingga kini tersimpan dalam
sebuah galigo
Gellang ri wata majekko (kuningan bengkok yang ditarik=pancing=MENG)
Anrena menre’e (makanan khas orang mandar=pisang=LOKA)
Bali ulu bale (lawan kepala ikan=ekor=IKKO)
MENG+LOKA+IKO = saya mau kepada anda
Anrena menre’e (makanan khas orang mandar=pisang=LOKA)
Bali ulu bale (lawan kepala ikan=ekor=IKKO)
MENG+LOKA+IKO = saya mau kepada anda
Poligami dizaman dulu merupakan hal wajar. Selain disebabkan aspek
politik dan perkembangan generasi (sebab populasi manusia masih sedikit
dimasa lalu sementara alam masih banyak yang belum tergarap), juga
memiliki banyak istri menyimbolkan kekuatan unsur maskulin seorang
lelaki bugis.
Bagan 1
Unsur maskulin dan feminim pada empat hal yang berkaitan dengan lelaki bugis
Bagan 2
Unsur maskulin dan feminim pada empat hal yang berkaitan dengan lelaki bugis
Diantara semua ritual adat bugis, pernikahan adalah ritual yang terlama
dan paling rumit. Hal ini tidak lepas dari pentingnya konsepsi
keseimbangan aspek maskulin dan feminim dalam paradigma berpikir orang
Bugis.
Sengkang, 27 september 2012. 03.07 am wita
Komentar
Posting Komentar