Percaya atau tidak keberadaan alam jin di bumi ini tidak bisa kita pungkiri. Keberadaan alam Jin bukanlah tahayul atau dongeng. Dalam Al Qur’an Allah menjelaskan tentang keberadaan Alam Jin ini didalam surat Jin yang menceritakan kondisi dan keberadaan Jin di dunia ini.
Bangsi Jin dan manusia sama sama berdiam dibumi sehingga tidak bisa dihindari kadang kala terjadi interaksi antara alam Jin dan manusia . Adakalanya Jin masuk dan berulah dialam manusia , demikian pula sebaliknya adapula Manusia yang masuk dan terperangkap dialam Jin.
Dalam surat Al A’raaf ayat 27 Allah mengingatkan agar kita jangan mudah tertipu dan terpedaya oleh Syetan dari golongan Jin karena dia bisa melihat kita dari tempat yang kita tidak bisa melihatnya. Jika kita berada pada suatu tempat yang dianggap angker, atau jika kita merasakan ada gangguan dari syetan atau Jin dimanapun kita berada berlindunglah pada Allah dari kejahatan mahluk tersebut. Bacalah doa sebagaimana yang diajarkan Allah dalam surat Al Mukminun ayat 97-98 :
97. Dan katakanlah: “Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. 98. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.”
Dalam surat An Nahl ayat 99 dan 100 Allah menjelaskan bahwa syetan tidak punya kekuatan dan kekuasaan terhadap orang yang beriman dan bertawakkal padaNya. Syetan hanya punya kekuatan terhadap orang yang mengambilnya sebagai pemimpin dan menjadikannya sebagai sekutu Allah. Syetan hanya mampu mempedaya dan menguasai orang yang lemah imannya dan merasa takut pada syetan.
Kadang kala syetan dari golongan Jin masuk kealam manusia dan terlihat seperti penampakan yang menakutkan. Ada juga yang menyamar dalam bentuk seseorang seperti Syetan yang menyamar menyerupai Surakah di zaman Nabi Muhammad. Ditempat tertentu penampakan syetan atau Jin ini sering menimbulkan kecelakaan , karena supir yang mengendarai kendaraan tiba tiba melihat orang menyeberang didepan kendaraannya, ia banting stir hingga kendaraannya masuk jurang atau menghantam pohon.
Demikian pula sebaliknya ada diantara manusia yang tersesat dan terperangkap dialam jin yang tidak terlihat oleh mata. Tanpa disadari mereka dibawa dan terperangkap dialam Jin sampai beberapa lama. Diantaranya ada yang bisa keluar dan kembali dengan selamat , namun ada pula yang kembali dalam keadaan lupa ingatan dan menjadi tidak waras. Berikut ini kami sampaikan beberapa kisah pengalaman orang yang terperangkap dialam Jin yang kami kutip dari beberapa sumber sebagai berikut.
1. MENJADI DUKUN SETELAH 11 TAHUN TINGGAL DI KERAJAAN BUNIAN
Oleh Rusli
Sebuah kisah nyata yang sangat fantasis. Sebelas tahun lamanya dia tinggal di kerajaan Bunian dan membina kehidupan rumah tangga di sana. Saat memutuskan kembali pulang ke dunia nyata, dia pun menjelma menjadi seorang dukun yang andal…
Nek
Juhai adalah seorang dukun kampung yang sangat terkenal kemampuan
ilmunya. Penyakit atau hal apa saja yang disebabkan oleh gangguan non
medis, Insya Allah bisa sembuh berkat tangan dingin perempuan yang telah
uzur ini.
Kabarnya, ilmu perdukunan diperoleh Nek Juhai dari saudara suaminya yang
berasal dari kerajaan Bunian. Memang, semasa muda dia telah menikah
dengan bangsa bunian. Dari pernikahannya dengan orang Bunian ini, Nek
Juhai memperoleh empat orang anak, dua laki-laki dan dua orang
perempuan. Semua anaknya tinggal bersama mertuanya di kerajaan Bunian.
Tidak seorangpun anaknya mau tinggal bersamanya. Meski demikian, pada
waktu-waktu tertentu, anak cucunya berkumpul di rumahnya. Kedatangan
mereka itu tidak dapat dilihat orang biasa, kecuali oleh mereka yang
memiliki kemampuan indera ke enam.
Dua bulan sebelum Nek Juhai meninggal dunia, persisnya di akhir tahun
2007 silam, beliau telah mengobati penyakit salah seorang Bibi Penulis.
Penyakit yang diderita sang Bibi sudah diobati melalui medis, tapi
tidak juga sembuh. Bahkan, beberapa orang dukun atau paranormal yang
mengobatinya, juga tidak berhasil.
Suatu hari, ada orang yang mengatakan pada Bibi, bahwa ada seorang dukun
yang dapat menyembuhkan penyakit apa saja, termasuk penyakit yang
diderita Bibiku. Orang itu memberikan alamatnya. Karena Bibi ingin
sembuh dari penyakit yang sudah hampir selama tujuh itu, maka Bibi
meminta Penulis untuk menemaninya pergi berobat ke rumah Nek Juhai. Maka
berangkatlah Penulis bersama Bibi ke rumah sang nenek. Tidak sulit
untuk menemukan alamatnya. Semua orang di Kecamatan Babalan, Kabupaten
Langkat, Sumut, pasti mengenalnya.
Nek Juhai tinggal di rumah yang cukup sederhana dan masih sangat asri lingkungannya. Saat itu, Nek Juhai menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Beberapa orang pasiennya terlihat antri menunggu giliran untuk diobati penyakitnya. Umumnya yang berobat padanya pasien yang tidak dapat disembuhkan melalui pengobatan medis di rumah sakit. Seperti penyakit yang diderita Bibiku, yang memang diduga kuat termasuk penyakit non medis. Hasil tes darah di laboratorium menunjukkan Bibi tidak menderita penyakit. Fungsi darah, lever, ginjal, paru-paru dan jantungnya normal. Anehnya, setiap pukul 12 siang dan pukul 24 malam, rasa sakit menyerang hampir di seluruh bagian tubuhnya.
Bila malam, sebelum penyakit itu datang, Bibi mendengar suara lolongan
anjing di kejauhan. Suaranya sayup-sayup, hingga sang anjing itu berada
di samping rumah. Gonggongannya membuat bibi meraung-raung ketakutan.
Perut bibi seketika terasa seperti ditusuk ribuan jarum, dan kepalanya
seperti dipalu.
Yang tak kalah aneh, hanya bibi seorang yang mendengar suara lolongan
anjing itu, sedangkan orang lain yang berada di sekitarnya tidak
mendengarnya.
“Kau diguna-gunai orang, Nak?” Kata Nek Juhai setelah memeriksa keadaan
Bibi. “Siapa yang melakukannya, Nek?” Tanya Bibi. Nek Juhai
menggelengkan wajahnya. Kabarnya, dia memang tidak pernah mau
menyebutkan orang yang melakukan serangan ilmu gaib. “Tak penting kau
ketahui siapa orangnya. Yang penting adalah kau bisa sembuh!” Katanya,
setengah berbisik.
Nek Juhai kemudian menyiapkan mangkok kaca berisi air putih, bunga
rampai dan jeruk purut. Setelah membaca mantera, jeruk purut dia belah
menjadi dua bagian sama besar. Salah satu belahan jeruk dia letakkan di
telinga kanannya. Aneh, potongan jeruk ini sepertinya dia pergunakan
persis tak ubahnya seperti HP. Rupanya, dia berkomunikasi dengan
keluarga suaminya yang berada di alam bunian. Misteri hanya mendengar
kata-kata yang diucapkan Nek Juhai saja.
Sesaat setelah selesai berhubungan dengan alam gaib, tiba-tiba ada benda
berbentuk bundelan di bungkus kain putih jatuh ke dalam mangkok.
Sejenak Penulis terperangah melihatnya. Jelas sekali, bundelan kain itu
jatuh dari atas, padahal rumah Nek Juhai atapnya terbuat dari seng dan
tidak ada orang yang menjatuhkannya.
Perlahan, Nek Juhai membuka bundelan itu dengan sangat berhati-hati.
Setelah terbuka, isinya boneka terbuat dari kayu. Seluruh tubuh boneka
ditusuk dengan puluhan jarum dari kepala hingga kaki. “Boneka ini
diumpamakan seperti tubuhmu, Nak!” Kata Nek Juhai menjelaskan.
“Pantaslah jika penyakit Bibi kambuh perut dan kepalanya seperti ditusuk
seribu jarum,” gumam Penulis dalam hati. Nek Juhai lalu membungkus
boneka kayu itu dan membakarnya hingga hangus. “Sebaiknya kau menginap
beberapa malam di rumah Nenek. Ada pengobatan lanjutan yang harus kau
jalani. Besok pagi sebelum berkumandang suara adzan Subuh, kau harus
mandi air bunga rampai,” tutur Nek Juhai. Tentu saja Bibi dan Penulis
menyetujuinya.
Malam
itu, sengaja Penulis mencari kesempatan untuk berbincang-bincang dengan
Nek Juhai. Untunglah, dia punya waktu untuk bercerita karena setelah
pukul 8 malam, dia memang tidak lagi menerima pasien.
“Kata orang-orang, Nenek bersuamikan orang bunian. Bagaimana ceritanya
Nenek bisa bersuamikan orang bunian?” Tanya Penulis. Mendengar
pertanyaan ini, Nek Juhai hanya tersenyum. “Kau mau mengetahui kisah
Nenek bersuamikan orang bunian?” Nek Juhai malah balik bertanya.
Penulis tersenyum. “Ya, itulah yang saya dengar dari banyak orang. Saya
harap Nenek sudi menceritakannya pada saya,” ujar Penulis.
Nek Juhai menarik nafas berat. Sorot matanya yang teduh itu berubah
kosong, seperti menerawang jauh. Lalu, pelan-pelan dia bertutur.
Beginilah ringkasan kisahnya…:
Saat
aku baru berusia 5 tahun, ayahku meninggal dunia. Setelah ayah
meninggal, Ibu memutuskan tetap menjadi janda. Untuk menghidupiku, Ibu
bekerja mengambil upahan merumput di sawah tetangga.
Memang, setelah kepergian Ayah, hidupku semakin miskin dan penuh dengan
penderitaan. Sehari kadang makan hanya sekali. Paman dan bibiku juga
hidupnya miskin. Untuk menghidupi keluarganya saja sulit, apalagi untuk
membantu aku dan Ibuku. Setelah lama mengidap penyakit asma, Ibuku
akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Perasaan hatiku sangat sedih,
bahkan sampai ada niat untuk bunuh diri. Tapi untunglah hal itu tidak
aku lakukan. Selama berhari-hari aku larut dalam kesedihan. Kepergian
Ibu rasanya begitu cepat, Kepada siapa lagi aku harus menggantungkan
hidupku?
Suatu hari di suatu pagi, saat hujan gerimis, aku pergi berziarah ke
kuburan Ibu. Lama aku duduk termenung di tengah hujan gerimis. Waktu
itu, tiba-tiba terdengar suara seorang Ibu menegurku. “Sudahlah, jangan
lagi bersedih. Jika Ibumu tahu kau seperti ini, dia pasti sangat
bersedih juga di alam sana!” Kata ibu-ibu itu. Mendengar ada suara,
maka aku sangat terkejut dibuatnya.
“Ibu siapa, mengapa Ibu tiba-tiba ada di sini?” Tanyaku merasa heran.
Maklum saja, selama ini aku belum pernah melihat sosok perempuan paruh
baya ini. Aku begitu terkesima melihat kecantikan wajahnya. Di desaku
sepertinya tidak ada perempuan secantik dia. “Nama Ibu Habibah,”
sahutnya dengan ramah. Dia lalu tersenyum sambil memandang wajahku.
Sorot matanya tajam menyejukan perasaan hatiku. Dari busana yang dipakainya Ibu Habibah, jelas isteri orang kaya. Ini terlihat dari perhiasan emas yang menghiasi leher dan pergelangan tangannya, serta cincin dijari manisnya. Aku kian terkagum-kagum melihatnya. “Semua yang hidup akan merasakan mati. Beberapa hari lalu Ibumu meninggal dunia, suatu saat kita juga akan mengalami peristiwa yang sama. Kau harus tabah dan ikhlas menerimanya,” kata Ibu Habibah menasehatiku. “Tapi sekarang aku udah tidak punya siapa-siapa lagi. Hidupku sebatang kara di dunia ini. Rasanya lebih baik aku mati saja,” jawabku berkeluh kesah. Air mataku seketika kembali deras mengalir. “Siapa bilang kau tidak punya siapa-siapa. Jika kau mau kau bisa tinggal bersama Ibu!” Katanya sambil mengusap rambutku. Hangat kurasakan menjalar ke sekujur tubuhku. Mendengar Ibu Habibah berkata demikian, aku merasa tidak percaya. Apakah aku sedang bermimpi? “Benarkah Ibu mau memberiku tumpangan hidup?” Tanyaku sambil menyusut air mata. Ibu Habibah tersenyum menyejukan. “Percayalah, Ibu pasti akan menganggapmu seperti anak Ibu sendiri. Mari ikut Ibu!” Ajaknya. Dia lalu menuntunku keluar dari areal kuburan.
Di depan tanah pemakaman sudah menunggu mobil sedan mewah. Bagai
terhipnotis, aku mengikuti saja ajakan Ibu Habibah, yang menyetir
sendiri mobil sedannya.
Sekitar seperempat jam mobil yang dikemudikan Ibu Habibah meninggalkan
desaku, ada keanehan yang kurasakan. Semula di kiri kanan jalan aku
hanya melihat hamparan persawahan dan rumah-rumah gedek dan semi
permanen milik penduduk. Tapi pemandangan yang kulihat kemudian bertukar
menjadi perumahan mewah dan jalan beraspal yang sangat licin.
Mobil-mobil mewah hilir mudik di jalan raya. Penduduk yang tinggal di
sepanjang jalan sepertinya semua keluarga kaya. Mereka tinggal di
perumahan elite lengkap dengan fasilitas kemegahannya. Ada kolam renang
dan halaman yang asri.
“Bu, kita sekarang berada di mana?” Tanyaku terheran-heran. Maklum saja,
selama ini aku memang tidak pernah melihat rumah-rumah mewah seperti
yang ada di depan mataku. “Juhai, ketahuilah, kau kini berada di alam
gaib. Bangsamu menyebut kami orang bunian,” kata Ibu Habibah
menjelaskan.
Mendengar penjelasan Ibu Habibah, jantungku berdebar-debar ketakutan.
“Juhai, jangan cemas dan merasa takut. Ibu akan melindungimu dan menjaga
keselamatanmu. Ibu beragama Islam dan sudah berulangkali pergi
menunaikan ibadah Haji ke tanah suci Mekkah. Kita ini sesungguhnya
bersaudara dan persaudaraan sesama muslim itu digambarkan oleh baginda
Rasulullah SAW seperti bangunan tubuh kita. Jika ada salah satu anggota
tubuh kita sakit, maka anggota tubuh yang lain juga ikut merasakannya,”
jawab Ibu Habibah dengan tutur kata lemah lembut. Dia seolah-olah dapat
membaca kegelisahan hatiku.
Mendengar Ibu Habibah berkata begitu, perasaan hatiku menjadi tenang kembali.
Mobil
pun terus bergerak di atas jalan yang amat licin. Tak berapa lama
kemudian, mobil berbelok ke sebuah rumah paling mewah di antara
perumahan yang berada di sekitarnya. “Apakah ini rumah Ibu Habibah?”
Bisik hatiku, heran dan kagum. Halaman rumah itu sangat luas dan tertata
rapih dengan bunga-bunga yang indah. Ada juga kolam renang yang berair
sangat jernih. Menurut hematku, rumah dinas gubernur saja yang pernah
kulihat tidak sebagus dan semewah rumah Ibu Habibah. “Kita sudah sampai.
Ini rumah Ibu!” Kata ibu Habibah. Aku bengong seperti seekor rusa masuk
kampung. Ibu Habibah lalu mengajakku turun dan menuntunku masuk ke
beranda rumah. Di depan pintu, seorang pemuda menyambut kedatangan kami.
“Ibu membawa siapa?” Tanya pemuda itu yang sepertinya adalah putera Ibu
Habibah. Wajahnya sangat tampan. Di kampungku pasti tidak ada remaja
setampan dia.
“Dia bernama Juhai. Ibu temukan dia menangis di pusara kedua
orangtuanya,” jawabnya. Lalu sambil melirik ke arahku, Ibu Habibah
menyambung, “Juhai, ini anak Ibu. Namanya Haikal!” Aku dan Haikal
kemudian saling berjabat tangan. Ketika itu muncul juga seorang anak
berusia 10 yang kemudian kuketahui bernama Haidar. Dia adiknya Haikal.
Saat
masuk ke dalam rumah, kulihat ruang tamu rumah Ibu Habibah sungguh
megah. Semua perabotan rumahtangga di ruangan itu terbuat dari kayu
pilihan dan berukir indah. Aku terkagum-kagum melihatnya. Ibu Habibah
lalu mengajakku ke kamar yang diperuntukkan buatku. Interior dalam kamar
ini tak ubahnya seperti kamar tidur puteri raja. Ranjangnya terbuat
dari kayu jati dan dilapisi emas, meja rias berukir sangat indah dan
bingkai kacanya dilapisi emas. Dalam kamar tidur ini terdapat juga
toilet yang harum dan bersih.
Aku juga diperlihatkan baju yang disimpan dalam lemari, yang sepertinya
juga telah dipersiapkan buatku. Aku terbelalak melihat baju-baju yang
semuanya baru dan terbuat dari sutera itu.
Setelah
aku berganti pakaian dan tak lagi terlihat seperti gadis kampung, namun
telah menjelma bak seorang puteri, aku diminta menghadap di ruang
keluarga. Di ruang ini Ibu Habibah duduk bersama seluruh anggota
keluarganya. Disebelahnya duduk Pak Abu Bakar, suaminya. “Ibu sudah
bercerita pada Bapak tentang dirimu. Bapak sangat terharu mendengarnya.
Tinggallah bersama kami di sini beberapa waktu yang kau kehendaki. Kami
akan mengajarimu ilmu pengobatan berbagai penyakit. Di istana ada
beberapa orang tabib. Nanti Bapak akan meminta mereka mengajarimu ilmu
pengobatan berbagai penyakit.
Ilmu pengobatan itu penting bagimu sebagai bekal hidupmu di duniamu
nanti, jika kau memutuskan untuk tinggal di sana.” Papar Ibu Habibah.
“Bapak mohon tinggallah bersama kami beberapa tahun di sini. Bapak dan
Ibu telah sepakat mengangkatmu sebagai anak angkat kami. Kami berdua
akan menyayangimu seperti menyayangi anak kandung kami sendiri.
Kebetulan kami memang tidak dikarunai anak perempuan. Besok kami akan
mengadakan acara pengangkatanmu sebagai anak angkat kami agar warga di
sini mengetahuinya,” tambah Pak Abu Bakar suami ibu Habibah.
Pak
Abu Bakar ini ternyata salah seorang menteri di kerajaan Bunian. Setiap
hari, dia keluar masuk istana raja. Ibu Habibah juga masih kerabat
raja. Ketika aku dinobatkan sebagai anak angkat, semua pembesar istana
datang menghadirinya, termasuk juga rakyat jelata. Yang sangat
membanggakan perasaanku, raja dan permaisurinya turut datang memberikan
ucapan selamat.
Pak Abu Bakar mengadakan pesta rakyat, berlangsung selama tiga hari tiga
malam. Aku benar-benar merasa menjadi puteri di negeri kayangan. Aku
dikenalkan pada keluarga besar Pak Abu Bakar dan Ibu Habibah. Mereka
semuanya baik-baik dan sangat ramah.
Begitulah!
Hari-hari kulalui dengan tinggal di dunia orang Bunian. Kehidupan
disana seperti kehidupan kita di dunia ini. Hanya, di dunia orang
Bunian, matahari selalu bersinar cerah, dan udara dingin sepanjang siang
dan malam. Disana tidak ada polusi udara, karena pepohonan tumbur
subur. Lingkungan hidup tertata rapi. Tinggal bersama keluarga Pak Abu
Bakar, selain bermain, menikmati masa remaja bersama Haikal dan
gadis-gadis sebayaku, pagi hari aku juga belajar ilmu pengobatan dari
tabib istana yang datang ke rumah.
Di sana juga terdapat tempat rekreasi yang berada di luar kota. Aku
bersama Haikal sering mengunjungi tempat rekreasi tersebut, hingga
akhirnya tumbuh benih cinta di hati kami berdua. Rupanya, Pak Abu Bakar
dan Ibu Habibah mengetahui hal ini. Sampai suatu malam, aku dan Haikal
dipanggil untuk menghadap mereka. Duduk di hadapan Ibu Habibah dan Pak
Abu Bakar, aku menundukkan wajah sebagai orang yang bersalah. Denyut
jantungku berdebar-debar tidak beraturan.
“Haikal, Ayah ingin bertanya kepadamu. Mohon dijawab dengan jujur. Apakah kau mencintai Juhai?” Tanya Pak Abu Bakar tiba-tiba.
“Benar, Ayah! Haikal sangat mencintainya,” jawab Haikal.
“Bagaimana denganmu Juhai? Apakah kau mencintai Haikal?” Tanya Ibu
Habibah. Aku hanya mengangguk malu-malu. “Karena kalian sudah saling
mencintai, Ayah dan Ibu akan menikahkan kalian besok pagi,” kata Pak Abu
Bakar memutuskan. Aku terkejut mendengar keputusan Pak Abu Bakar.
“Mengapa pernikahan itu dilangsungkan mendadak?” Bisik hatiku.
Pernikahan itu benar-benar terjadi. Saat aku membuka jendela kamar, di
halaman rumah sudah siap perlengkapan pesta. Bahkan, kamar tidurku sudah
dihias seperti laiknya kamar pengantin. “Kapan mereka melakukannya?”
Bisik hatiku terheran-heran.
Singkat cerita, akad nikah telah siap. Saat itu aku teringat pada almarhum Ayah dan Ibu. Aku menangis terharu dan bahagia, lalu memeluk Ibu Habibah yang sebentar lagi akan menjadi mertuaku. Resepsi pernikahan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Raja dan permaisuri kerajaan Bunian datang bersama semua pembesar istana. Mereka mengucapkan selamat berbahagia dan mendoakan agar perkawinan kami langgeng. Rakyat di kerajaan Bunian larut dalam kegembiraan menikmati makanan dan hiburan selama tujuh hari tujuh malam.
Demikianlah
kisah yang kujalani di negeri Bunian. Setelah sepuluh tahun membina
rumah tangga, aku dikarunai dua orang putera dan dua orang puteri.
Hingga, suatu malam, nenek bermimpi bertemu dengan almarhum ayah dan
ibu. Dalam mimpi ini mereka menangis karena kuburnya tidak pernah aku
ziarahi. Aku sampai menangis dan berjanji pada mereka akan datang
berziarah.
“Juhai, kau mimpi apa?” Tanya Mas Haikal. Kuceritakan mimpi yang barusan
kualami. “Besok kita pergi berziarah. Bawa anak-anak,” kata suamiku.
Mendengar suami berkata begitu, aku merasa bahagia.
Ketika kami berziarah di kuburan kedua orangtua, ternyata ada beberapa
warga melihat kehadiranku. Mereka tidak percaya. Tapi setelah
kuyakinkan, mereka baru percaya bahwa aku adalah Juhai. Rupanya, aku
telah menghilang selama 11 tahun lebih.
Berita
kepulanganku setelah 11 tahun menghilang dari desa, menghebohkan warga.
Bibiku, anak-anak keponakanku, semua menangis dan menyambutku dengan
penuh haru. Mereka sampai mengadakan kenduri selamatan dan meminta agar
aku tinggal di desa. Berat rasanya untuk menolak permintaan mereka, juga
berat meninggalkan suami dan anak-anak yang tinggal di alam berbeda.
“Keluargamu memintamu agar kau tinggal bersama mereka. Sebaiknya kau
penuhi keinginan mereka,” kata suamiku menjelang tidur di dalam kamar
rumah Bibi. Tentu saja tak ada seorang pun yang bisa melihat kehadiran
suami dan anak-anakku kecuali aku sendiri.
“Bagaimana dengan dirimu dan anak-anak kita?” Tanyaku. “Anak-anak
biarlah tinggal bersama neneknya. Karena kehidupan mereka ada di sana
bukan disini. Sedangkan aku bisa setiap saat berada di sisimu, dan kau
bisa datang menjenguk anak-anak kita setiap saat,” jawab suamiku. Tapi
aku tidak dapat mengambil keputusan saat itu. Kepada keluarga di desa,
aku bilang akan bermusyawarah dahulu dengan suami dan mertua. Semoga
mereka mengizinkanku tinggal di desa kelahiranku.
Syukur
Alhamdulillah, 11 tahun setelah aku pergi meninggalkan desa, kehidupan
ekonomi Paman dan Bibi membaik. Mereka sudah bisa membangun rumah
gedung. Keponakanku juga bisa sekolah sampai meraih gelar sarjana. Tak
hanya itu, jalan-jalan dikampungku juga sudah dibangun aspal. Bahkan,
Paman juga berjanji akan membuatkan rumah buatku di tanah pusaka
peninggalan almarhum ayahku jika memang aku tinggal menetap di desa\.
Ketika kuutarakan niat kembali ke desa kelahiranku, Ayah dan Ibu
mertuaku merestuinya. “Jika itu sudah menjadi keputusanmu dan suami
merestuinya, kami tidak bisa bilang apa-apa kecuali mendukung rencanamu.
Di desamu kau bisa mengobati berbagai penyakit yang diderita warga
disana,” kata Ayah mertuaku. “Terima kasih, Pak!” Jawabku sambil sujud
di kakinya.
Setelah berpamitan, aku diantar mobil sedan yang dikemudikan suamiku.
Ya, aku memilih pulang ke kampung halamanku yang pernah aku tinggalkan
belasan tahun lamanya.
(Sumber : kisahmistis.blogspot.com)
Komentar
Posting Komentar