Di masyarakat Bugis, prosesi pernikahan menghabiskan biaya yang tinggi. Tujuannya untuk menaikkan status sosial hingga memperluas relasi kuasa.
Pada
suatu malam di Sorowako, seorang pemuda menceritakan perjalanan
cintanya selama enam tahun yang harus kandas karena biaya pernikahan.
Keluarga pihak perempuan meminta syarat uang panaik sebanyak Rp120 juta. Sementara si pemuda hanya mampu Rp80 juta.
Fenomena ini menghantui pemuda dan pemudi di Sulawesi Selatan.
Laki-laki harus bekerja keras mengumpulkan uang lalu diserahkan kepada
pihak perempuan. Biasanya, pernikahan dengan uang panaik antara Rp5 juta hingga Rp15 juta, dianggap tidak bergengsi. Maka pesta pernikahan pun akan dilaksanakan dengan sederhana.
Seorang pemuda lain, Fajar Thalib memandang uang panaik yang
dibebankan pada laki-laki cukup membebani, namun pemicu semangat. “Jadi
ada usaha besar dalam mencari pekerjaan yang layak dan menghasilkan
sejumlah uang. Jadi sebelum menikah, laki-laki tak berpikir bagaimana
kehidupan kedepan, tapi berpikir menyelamatkan uang panaik,” katanya.
Guru Besar Antropologi Universitas Negeri Makassar, Ima Kesuma
mengatakan, tingginya uang hantaran di masyarakat Bugis sudah
berlangsung sejak lama. “Uang panaik itu untuk menunjukkan
gengsi dan kekuatan ekonomi pihak laki-laki,” katanya. “Ingat perempuan
di Bugis adalah aset. Ia melambangkan kesuburan dan kehidupan.”
Pada masa lalu, kata Ima, anak-anak perempuan di tempatkan di lantai
dua rumah. Tempat di mana beras dan sumber makanan disimpan. Sementara
anak laki-laki di bagian tengah rumah. “Ini menunjukkan bagaimana
perempuan Bugis itu dijaga dengan baik. Maka ketika hendak menikah,
calonnya harus benar-benar matang secara ekonomi,” katanya.
Lihat juga:
PANGLIMA PEREMPUAN PERANG JAWA
Rentetan prosesi pernikahan masyarakat Bugis, dilakukan beberapa tahap. Ma’manuk-manuk dimana pihak laki-laki melakukan kunjungan ke pihak perempuan untuk menyatakan maksud perjodohan. Mappassio atau melaksanakan pertunangan. Kemudian lamaran. Akhirnya pernikahan.
Uang panaik atau dui menre, adalah uang hantaran
yang diserahkan pihak laki-laki pada keluarga mempelai perempuan.
Besarannya ditentukan saat prosesi lamaran. Pihak keluarga mempelai
laki-laki akan menyampaikan kesanggupan dan mendiskusikannya bersama
pihak mempelai perempuan. Tak jarang, di saat seperti ini terjadi debat.
Baca juga: Pencipta Aksara Perjuangan Kaum Bugis
Secara harfiah uang panaik adalah uang naik. Pada masa lalu
uang hantaran tersebut diserahkan dengan menaiki anak tangga karena
rumah-rumah Bugis kebanyakan rumah panggung. Tujuan uang hantaran ini
untuk membiayai pesta pernikahan mempelai perempuan. Meskipun biasanya
besaran uang itu tidak selalu menutupi biaya keseluruhan pesta.
Namun, kata Ima, pada prinsipnya masyarakat Bugis memegang prinsip eppa sulappa
(empat sisi) dalam menentukan calon mempelai pengantin, yaitu
pendidikan, akhlak, pekerjaan dan status darah atau keturunan. “Saya
kira tiga yang utama adalah pendidikan, akhlak, dan pekerjaan,” katanya.
Sementara itu, Susan Bolyard Millar dalam Perkawinan Bugis menuliskan, tradisi uang panaik
menjadi penanda status yang boros, bersifat pamer dan agresif. “Dalam
setahun, sepasang suami istri yang sedang mencapai masa jaya akan siap
mengawinkan anak laki-laki mereka yang paling menjajikan, yang cukup
layak dipasangkan dengan wanita berstatus lebih tinggi dengan jumlah
uang belanja yang lebih tinggi,” tulisnya.
Christian Pelras dalam Manusia Bugis juga menjelaskan, pernikahan di masyarakat Bugis dikenal dengan istilah siala
(saling mengambil satu sama lain). Pasangan mempelai ini, walaupun
dalam status sosial yang berbeda akan menjadi mitra, sebagai sebuah
persekutuan dan penyatuan dua keluarga. Yang juga ditempuh dalam dua
sahabat atau mitra usaha.
“Dengan kata lain, perkawinan adalah cara terbaik membuat orang lain menjadi ‘bukan orang lain’,” tulis Pelras.
Hal itu jugalah yang diyakini Ima, di mana terdapat istilah dalam masyarakat Bugis, tellu cappa (tiga
cara dalam berdiplomasi). Ujung pertama adalah lidah yakni diplomasi
dilakukan dengan cara berdialog. Diplomasi kedua adalah ujung kelamin
atau dengan kata lain upacara pernikahan. Dan diplomasi terakhir jika
tak ada jalan lain adalah ujung badik, pertumpahan darah.
Diplomasi menggunakan tahapan pernikahan adalah hal lumrah yang
dilakukan sejak masa kerajaan. Kerajaan-kerajaan kecil menyerahkan anak
gadis mereka untuk dinikahi oleh bangsawan atau raja dari kerajaan
berkuasa. “Jika sudah demikian, maka kerajaan bawahan tentu akan
menaikkan status dan derajatnya, karena telah memiliki hubungan darah
dengan kerajaan besar,” katanya.
sumber: https://historia.id/kultur/articles/seberapa-mahal-meminang-perempuan-bugis
Komentar
Posting Komentar