Etnis.id - Sebagai perantau, saya merindukan camilan
sedap dari Makassar. Pisang peppe. Kemarin makanan ini jadi bahan
perdebatan di media sosial tentang apa sih enaknya makan pisang dengan
sambel tumis sebagai cocolannya?
Jika begitu, saya juga ingin
bertanya, apa enaknya makan nasi ditemani dengan yang manis-manis di
Jogja, misalnya? Saya belum lama ini, mencoba gudeg. Sebelum ke Jogja,
saya juga sempat bertanya dengan polos kepada kawan-kawan saya.
"Apa
enaknya nasi dimakan dengan lauk yang dicampur dengan gula merah?
Setelahnya kok minum es teh? Kenapa makanan Jogja manis-manis? Gak takut
diabeteskah mereka semua?"
Teman saya menjawabnya dengan kalimat
yang masuk akal. "Barangkali lidah orang Jawa terbiasa dengan m
akanan
manis. Barangkali, buyut mereka, sudah membiasakan anak, cucu dan
cicitnya mencicipi makanan yang manis dan gurih."
Sebagai orang
yang lahir dan besar di Makassar, rasa-rasa manis cuma cocok untuk
penganan dan kue-kue tradisional di pasar. Ada bagiannya. Jika untuk
makanan berat, di Makassar, dominan rasanya adalah gurih. Istilahnya
Makassarnya, janna.
Saya pernah bikin kesimpulan yang
sedikit nyeleneh, bahwa makanan yang manis didominasi gula itu, hanyalah
kue. Lauk yang disandingkan dengan nasi, memang harus gurih ditambah
sedikit kecap, garam dan gula. Apalagi lauknya daging-dagigan. Sedap
betul.
Setelah belajar banyak hal dan mengerti, ternyata keputusam
kita untuk mencoba masakan manis atau pedas, punya sejarah yang
panjang. Soal politik gastronom di Jawa, memang sejak dulu ada hal yang
melatarinya. Lewat buku berjudul “Semerbak Bunga di Bandung Raya” karya
Haryoto Kunto terbitan tahun 1986, dijelasi soal mengapa sebagian besar
olahan masakan asli Jawa didominasi rasa manis.
Syahdan, setahun
setelah perang Diponegoro pada 1931, Gubernur Jenderal Van der Bosch
dililit masalah keuangan yang pelik. Persediaan dana mereka kian menipis
setiap waktu. Alhasil, ia menerapkan sistem tanam paksa, di mana
wilayah Jawa Barat diwajibkan untuk menanam kopi, sementara Jawa Tengah
diharuskan menanam tebu. Selama 9 tahun, 70 persen wilayah pertanian
diubah menjadi ladang tebu.
Hal tersebut menyebabkan bencana
kelaparan di wilayah Jawa Tengah. Karena hanya tersedia tanaman tebu,
akhirnya masyarakat terbiasa mengonsumsi tebu untuk bertahan hidup.
Sebab kebiasaan, semua olahan masakannya didominasi pakai air tebu,
sehingga masyarakat di Jawa Tengah akrab dengan gula.
Jujur
saja, melihat perdebatan di atas kemarin, membuat saya kecut dan
tertawa kecil. Bukan apanya, sebagai mantan pedagang pisang peppe di
Makassar, kok ya makanan khas daerah saya dibilang aneh? Apa anehnya?
Terus yang memakan pisang peppe juga dianggap aneh, begitu?
Begini
ya. Di dalam keluargaku dulu, Ibu sering menggoreng pisang untuk
makanan sore pengganjal perut hingga malam, ditemani secangkir teh
hangat. Ibu menggoreng pisang muda, kadang pula tua. Penganan itu untuk
saya, dirinya dan almarhum Bapak.
Pisangnya tentu saja dari
sebelah rumah. Ibu sengaja menanamnya, sebab pisang adalah tanaman yang
paling mudah tumbuh di daerah beriklim tropis seperti Makassar. Nikmat
sekali bukan, tanam sendiri, kelola sendiri, makan sendiri.
Ritual
dalam keluarga inilah yang membuat saya kadang merindukan rumahku di
Makassar. Ibu tak hanya menyuguhkan pisang goreng begitu saja. Ia
menyandingkannya dengan gula pasir dan mentega yang sudah dicampur.
Sungguh
nikmat sore itu. Bersama Bapak yang menjepit rokoknya di antara sela
jari tengah dan telunjuk, ia menikmati hari dengan mantap sembari
melihat sawah-sawah hijau di depan rumah, yang setelah Bapak meninggal,
sawah itu tandus dan tandas masanya.
Setidaknya dalam resep Ibu,
ada tiga menu dari pisang yang sering disuguhkannya. Pertama, adalah
kambing-kambing, kedua adalah pisang goreng biasa atau manis, ketiga
adalah pisang peppe.
Kambing-kambing. Penganan ini berbahan dasar
dari pisang manis. Pisang yang kulitnya sudah sangat kuning bercampur
hitam. Pisang yang kian matang. Pisang kemudian dikupas dahulu, lalu
dimasukkan dalam baskom kecil. Setelah itu, diambil beberapa butir telur
dan dituangkan ke dalam baskom yang sudah terisi pisang.
Ada yang
menggunakan kocokan telur untuk mengaduknya. Tetapi selama melihat Ibu
di dapur, ia menggunakan gelas tebal saja untuk me
numbuk pisang bersama
telur. Intinya, pisang harus hancur dan mengental bersama telur. Jangan
lupa, siapkan pula terigu dalam adonan itu.
Soal ukuran bagaimana
nanti akan disuguhkan, kita bisa menggunakan sendok makan atau sendok
sayur untuk mengambil adonan pisang lalu dituang ke dalam minyak panas
dalam wajan yang sudah disiapkan. Setelahnya, penganan ini ditiriskan,
didinginkan, barulah bisa disantap.
Agar lebih nikmat, kita bisa
memakai cocolan mentega campur gula. Bisa juga tidak. Bayangkan saja
sedapnya penganan itu ditemani secangkir kopi pahit. Omong-omong, saya
dulunya memakai coklat leleh untuk kawan kambing-kambing saat jualan.
Kedua
adalah pisang goreng manis. Menu ini yang paling sederhana. Kita bisa
dengan mudah mendapatkan menu ini di semua daerah di Indonesia. Bisa
dibilang, inilah camilan andalan di rumah bersama keluarga. Dominanan,
cocolannya adalah mentega dan gula pasir.
Ketiga adalah pisang
peppe. Inilah menu yang kontroversial itu. Yang sering mendapat tanya,
"Eh, memang enak pisang pakai lombok?" Jawabannya, dicoba dulu. Mana
tahu seleramu tak sama dengan denganku. Saya juga sering bertanya
sendiri serta mencari jurnal ilmiah tentang mengapa orang-orang di
Sulawesi senang dengan pedas.
Tanpa menunggu jawaban itu, saya
jelaskan sedikit pengalaman saya. Saya pun sempat ditanya dengan kawan
asal Jawa, soal kebingungannya. "Enak. Coba dulu. Percayalah, pisang
dicocol sambel itu enak."
Saat berdagang pisang peppe, pagi atau
siang saya sudah ke pasar. Saya memilih satu sisir pisang muda.
Gunanya, agar terkstur pisang tidak mudah hancur saat ditumbuk atau dipeppe. Tentang pisang apa, saya pakai unti manurung. Bahasa Indonesianya, saya tidak tahu.
Tetapi
proses pembuatannya, tidak sesederhana seperti pisang goreng biasa.
Untuk membukanya, saya harus melumuri tangan saya dengan minyak kelapa.
Alasannya, getah pisang jika menempel di tangan, susah untuk
dibersihkan. Permukaan jari juga terasa lengket dan berwrna hitam jika
kena getah pisang.
Setelah tangan siap melawan getah, pisang
dibuka dengan pisau, lalu dicuci bersih dari getah, direndam kurang
lebih lima menit dengan air garam, kemudian digoreng sampai keemasan.
Ditiriskan akhirnya.
Setelah itu pisang ditumbuk. Ingat, jangan
terlalu kuat menghantam pisangnya. Kuncinya, pisang jangan sampai
koyak-moyak dan hancur terpisah. Terksturnya harus terjaga. Jika sudah,
goreng kembali pisang itu. Tiriskan jika sudah matang dan teksturnya
kering.
Sambal lalu disiapkan. Bisa diulek, bisa juga bisa
diblender. Sebenarnya, yang istimewa dari pisang peppe, terletak dari
sambalnya. Intinya ada pada terasi. Untuk lidah saya, saya suka dengan
lombok yang gurih dan bikin saya keringatan karena pedas.
Pada
akhirnya, penganan mantap ini, eksistensinya harus diramaikan dengan
mencobanya, bukan dengan memperdebatkan kecenderungan soal lidah
orang-orang tertentu. Jika suka, sebarkan rasanya dari mulut ke mulut
dan tuliskan. Agar orang-orang jadi mengerti dan ingin mencoba. Jika
tidak suka dengan pedas, boleh mencoba menu pisang lain khas dari Ibu
saya. Sepakat, kan?
sumber://https://etnis.id/penganan-pisang-dari-makassar-yang-bukan-untuk-diperdebatkan/
Komentar
Posting Komentar