Jalan Tarung Karaeng Karunrung

Kisah perlawanan rakyat Gowa mempertahankan Benteng Somba Opu dari gempuran pasukan kompeni

Vue de Samboupo (Somba Opu) karya Jacob van der Schley. Sumber: mapandmaps.com

KARAENG Karunrung, penasihat sekaligus Mangkubumi Kerajaan Gowa, menentang keputusan Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVII (memerintah 1653-1669) yang menandatangani perjanjian damai Bongaya dengan Belanda pada 18 November 1667. Karunrung memilih terus berjuang.

Karunrung yang bermukim di istana megah di Bontala, mempersiapkan diri. Pada 21 April 1668 pecahlah kembali perang. Pasukannya dengan cerdik menembus beberapa blokade pasukan dan menuju benteng Jumpandang –sekarang Fort Rotterdam– yang telah dikuasi Belanda (baca: Di Balik Fort Rotterdam). Dalam catatan hariannya, Speelman, komandan pasukan Belanda, tak menampik kehebatan dan kemampuan perang orang Makassar. “Pertempuran pertama sangat sengit dan banyak orang-orang Belanda mati dan luka-luka.”

Aksi-aksi penyerangan Karunrung membuat pasukan Belanda dan sekutunya Arung Palakka dari Kerajaan Bone, kelimpungan. Menurut Guru Besar Universitas Hasanuddin, Mattulada dalam Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, Arung Palakka pun menderita luka-luka.
 
Sementara benteng-benteng yang dalam perjanjian Bongaya harus dihancurkan, malah diperkuat kembali oleh Karunrung. Serangan kedua pada 5 Agustus 1668, pasukan Makassar membuat gerakan pancingan yang menyusup ke Fort Rotterdam. Namun, Arung Palakka meyergapnya. Pasukan Makassar mundur teratur, dan terus dikejar pasukan Arung Palakka.
 
Arung Palakka yang merasa sudah memukul mundur pasukan Karunrung, tiba-tiba di suatu titik dikepung oleh pasukan Makassar yang muncul dari persembunyian. Keadaan berbalik. Pasukan Arung Palakka terdesak. Kejadian ini terekam dalam catatan dan arsip pemerintah Belanda: “Arung Palakka dan pasukannya zouden in de pan gehakt zijn (akan musnah tergunting) andai kata tidak cepat dibantu oleh pasukan Belanda dan Ternate.”

Berikutnya, serangan serempak terjadi pada 12 Agustus 1668. Namun, karena terburu nafsu dan perhitungan tidak begitu tepat, serangan itu tak mencapai sasaran. Akibatnya, 27 pucuk meriam jatuh ke tangan Belanda.

Di balik Fort Rotterdam, kamp pertahanan Belanda keadaan begitu menyedihkan. Setiap hari tujuh hingga delapan pasukan meninggal. Lima orang dokter meninggal dunia, 15 orang pandai besi meninggal. Dalam tempo empat minggu 139 orang mati. Bahkan, Speelman sendiri sakit dan harus cuti sebulan.
 
Menyerang Somba Opu
Dalam keadaan genting itu, Belanda diam-diam memberangkat 108 pasukan yang sakit ke Jepana. Namun, dalam perjalanan 100 orang meninggal termasuk komandan benteng Van der Straen. Tetapi, Speelman melalui Kapten Dupon, meskipun dalam keadaan kepayahaan, tetap menghimpun kkekuatan untuk menggali parit-parit menuju benteng Somba Opu, tempat bermukim Sultan Hasanuddin.

Speelman merencanakan penyerangan secara penuh ke benteng Somba Opu sembari menunggu bantuan dari Batavia. Pada April 1669, meriam-meriam bersakala ledak besar diarahkan ke Somba Opu. Saat bantuan mulai berdatangan, pada 15 Juni 1669, Speelman mengibarkan bendera merah untuk melakukan serangan total. Perang pun pecah. Pasukan pertahanan dari Somba Opu menyambutnya dengan gegap gempita. Sebanyak 30.000 peluru dimuntahkan Belanda ke jantung Somba Opu.

Perang yang berlangsung selama tiga hari itu akhirnya dimenangkan Speelman. Dengan bantuan sekutu Belanda dari pasukan-pasukan Ambon, bendera perang Speelman dipancangkan di dinding Somba Opu. Tapi bendera kemenangan bukanlah akhir segalanya, dalam benteng perlawanan tak padam. Perkelahian antara orang per orang terjadi dengan sengitnya. Setapak demi setapak tanah dalam benteng Somba Opu dipertahankan hingga tetes darah terakhir.

Sepuluh hari kemudian, pada 24 Juni 1669 Speelman barhasil mengambilalih secara penuh Somba Opu. Sebanyak 270 meriam besar dan kecil dirampas. Setelah itu, Somba Opu diratakan dengan tanah, ribuan pond mesiu meledakkan istana, mayat-mayat bergelimpangan bersama ledakan dan api menjilat kemana-mana. “Diambil alihnya Somba Opu oleh Speelman menjadi titik utama keruntuhan Kerajaan Gowa,” kata Sejarawan Universitas Hasanuddin Makassar, Edwar Poelinggomang.
 
Padahal menurut Edwar, senjata pasukan Kerajaan Gowa merupakan yang tercanggih di masanya. Ada meriam putar yang sangat mahal. Dan tentu saja beberapa senjata yang diperoleh dari jalur niaga bebas. “Pasukan Makassar (Kerajaan Gowa) saat itu, tak memiliki strategi yang mumpuni. Pertempuran dilakukan harus saling berhadapan. Yang bersumbunyi dianggap pengecut, maka tak heran ada banyak pasukan yang tewas,” katanya.

Akhirnya, Karunrung mengakui kekalahan. Perjanjian damai abadi diadakan di Batavia pada 20 Desember 1669. Delegasi dari Gowa antara lain I Mappasomba mewakili Sultan Hasanuddin dengan 140 pengikutnya, dan Karunrung diwakili putranya.
 
 
sumber: https://historia.id/kuno/articles/jalan-tarung-karaeng-karunrung

 

Komentar