Kematian seorang bangsawan menggemparkan warga Makassar. Pasar malam sepi pengunjung
Kejadian
itu berlangsung dengan cepat menjelang malam, pada Sabtu, 1 Agustus
1925. Ketika sebuah dokar dengan empat penumpang dan seorang kusir,
bergerak dari Kampung Jongaya menuju Makassar. Kendaraan itu diadang
delapan orang yang dipimpin Daeng Toto, adik Karaeng Lengkese. Mereka
membunuh empat orang, sedangkan kusir berhasil melarikan diri. Sasaran
utamanya terbunuh dengan 17 luka tusukan. Nyampa Daeng Sisila, bangsawan
Kerajaan Gowa, atau lebih dikenal sebagai Haji Bau.
Koran Pemberita Makassar,
4 Agustus 1925, menuliskannya sebagai kejadian yang sangat
menggemparkan warga kota. Judul artikelnya “Karena Satoe Tempeleng
Menghilangkan 4 Djiwa Manoesia.” Penjelasan artikelnya menyebutkan jika
Nyampa Daeng Sisila, mencoba menggoda anak Karaeng Lengkese dan hendak
menikahinya, tapi ditolak.
Haji Bau merasa terhina dan tak terima
dengan penolakan itu. Dalam sebuah perjumpaan, dia menampar Karaeng
Lengkese. Karaeng Langkese menceritakan kejadian yang menimpanya kepada
keluarga. Saudaranya, Karaeng Toto merencanakan pembalasan dendam karena
persoalan tersebut dianggap penghinaan. Malu besar.
Karaeng Toto
bersama keluarga lainnya menumpang sebuah trem menuju jalur yang selalu
dilalui Haji Bau. Di Jongaya –saat ini antara Sungguminasa Gowa dan
Makassar– mereka menunggu di tepian. Mereka serang Haji Bau sampai
tewas.
Sang kusir yang mendapat satu tusukan dengan susah payah
berlari menuju Gowa dan melaporkan kejadiannya pada kontrolir di
Sungguminasa. Dari laporan itulah, kemudian aparat keamanan berhasil
menangkap Karaeng Toto dan pengikutnya. Masing-masing dijatuhi hukuman
dua setengah tahun penjara.
Sejarawan Universitas Hasanuddin,
Amrullah Amir mengatakan, sehari setelah pembunuhan Haji Bau terjadi,
sekitar sebulan penuh beberapa lokasi di wilayah Makassar dan Gowa,
dipenuhi penjagaan keamanan aparat. Tak ada warga yang berani keluar
rumah hingga menjelang sore, atau bahkan berjalan sendiri. Penduduk,
utamanya di Makassar merasa ketakutan akan timbulnya kericuhan dari
keluarga Haji Bau. “Sepi sekali. Jadi cerita-cerita orang dan kabar
angin bergerak cepat. Satu bulan itu, saya kira Makassar bagai kota yang
mencekam,” katanya.
“Bayangkan, pembukaan pasar malam pada 5
Agustus itu (1925), yang dihadiri gubernur jenderal Hindia Belanda
Celebes dan pejabat lainnya, menjadi sepi pengunjung,” lanjut Amrullah
Amir.
Siapa Haji Bau sebenarnya? Dia adalah anak dari Raja Gowa
ke-32, I Kumala Karaeng Lembangparang Sultan Abdul Kadir Muhammad Aidid
(1815-1893) dari perkawinannya dengan Daeng Meneq. Haji Bau juga
merupakan paman Raja Gowa ke-33, Karaeng Lembangparang yang gugur dalam
pertempuran penaklukan Gowa pada 1906.
Sedangkan Karaeng Lengkese
dengan nama lengkap Cincing (Tjintjing) Daeng Makkilo adalah putra
bangsawan, I Mallombasang Daeng Mattawang dan ibunya I Patimasang
Karaeng Sanggirangang, putri dari Gutto Datu Lulu Karaeng Sanrobone.
Antara
Haji Bau dan Karaeng Lengkese memiliki kekerabatan. Rumah mereka
berdekatan dan bermain bersama semasa kecil. Ketidaksenangan Karaeng
Lengkese pada Haji Bau karena perangainya yang keras dan selalu
bertindak di luar kendali kebiasaan. “Tapi jauh dari pada itu, saya kira
ini dampak yang ditimbulkan Belanda ketika 1906, benar-benar telah
menguasai hampir Sulawesi Selatan –penaklukan Gowa. Bisa pula sebagai
konflik dan persaingan antarbangsawan,” kata Amrullah Amir.
Haji
Bau meninggal dunia di usia 50-an tahun. Memiliki tubuh tambun dan besar
tinggi. Menggunakan kacamata bergagang emas dan memiliki kebun yang
luas di wilayah Pakatta. Sebagai bangsawan tinggi, tak mengherankan dia
memiliki akses terhadap pengusaan dan melaksanakan ibadah haji.
Namun,
kata Amrullah Amir mengutip laporan Friedericy, kontrolir Belanda di
Sungguminasa (1925-1928), menyatakan, jika Haji Bau berhubungan dengan
sedikitnya 70 kasus pembunuhan yang terjadi di wilayah Makassar dan
sekitarnya. “Dalam versi Friedericy, Haji Bau adalah seorang pelindung
dari beberapa kelompok-kelompok perampok yang menyusahkan sistem
pemerintahaan Belanda di Sulawesi Selatan,” katanya.
Kini, Haji
Bau diabadikan menjadi nama jalan dalam kawasan penting di Makassar.
Jalan Haji Bau berada di dekat Pantai Losari Makassar dan di sana
berumah Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jalan itu, tak begitu panjang, hanya
beberapa ratus meter, dan hanya ada beberapa rumah saja, selebihnya
adalah hotel.
Ketika menemui beberapa orang di kawasan itu, pada
Senin 17 Oktober 2016, dan bertanya mengenai Haji Bau, tak ada yang bisa
menjawab. Bahkan seorang juru parkir beranggapan jika Haji Bau, adalah
keturunan dari Haji Kalla, orang tua Jusuf Kalla.
Komentar
Posting Komentar