DI bulan Desember ini, 350 tahun yang lalu, suasana tegang masih
menyelimuti hati setiap orang di Benteng Somba Opu. Sebuah perjanjian
yang sangat penting bagi Kerajaan Gowa-Tallo baru saja ditandatangani
sebulan sebelumnya, tepatnya pada 18 November 1667. Perjanjian yang
dikenal sebagai Perjanjian Bungaya itu terpaksa disetujui oleh pihak
Kerajaan Gowa-Tallo setelah berkonflik dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) selama setengah abad.
Sejak
paruh pertama abad ke-17, berbagai perlawanan yang dilancarkan oleh
Kerajaan Gowa-Tallo di Kepulauan Maluku dianggap sebagai ancaman serius.
Saat itu Kompeni melakukan berbagai cara untuk memantapkan monopoli
perdagangan di kawasan timur Nusantara tersebut. Kompeni yang melihat
banyaknya palili’ (daerah/kerajaan bawahan) yang dimiliki Gowa, serta dengan mempertimbangkan suasana politik yang panas antara palili’ dan
Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa, akhirnya menemukan celah dengan
menjalin koalisi tak terduga dengan Arung Palakka, seorang bangsawan nan
cerdas dari Bone yang dibawa sebagai tawanan ke Gowa pada akhir 1644.
Meski Arung Palakka pernah menjadi pelayan Karaeng Pattingngalloang, Tuma’bicara Butta (Perdana Menteri) Kerajaan Gowa-Tallo, tetapi kekuasaan dan kesewenangan Gowa atas Bone merupakan siri’ baginya.
Suatu masa antara Juni dan Agustus 1660, Arung Palakka, Arung Kaju,
Arung Maruangeng, Daeng Pabila, dengan dibantu oleh Tobala’ –yang
terakhir ini merupakan regent Bone yang ditunjuk oleh Gowa–
memutuskan melarikan diri dan pulang ke kampung halaman mereka. Ini
terjadi setelah Karaeng Karunrung memerintah 10.000 orang Bugis Bone
untuk menggali kanal di dekat Benteng Panakkukang karena benteng
tersebut berhasil dikuasai oleh Kompeni.
Pelarian itu segera
menggagas persekutuan dengan mengajak Kerajaan Soppeng untuk bersekutu
dengan Bone. Di tengah ketidaksetujuan sebagian bangsawan Soppeng,
akhirnya terbentuk juga persekutuan tersebut melalui Pincara Lopie ri Attapang (Perjanjian Rakit di Attapang). Kerajaan Wajo sebagai salah satu palili’ Gowa
yang diajak oleh Arung Palakka dalam persekutuan tersebut menolak
bergabung. Meski akhirnya setelah itu persekutuan tersebut kalah dalam
beberapa perang melawan Gowa yang mengakibatkan Arung Palakka lari ke
Butung (Buton) dan Batavia (Jakarta), namun pelan tapi pasti api telah
membakar sumbu yang akan menghancurkan Gowa dan memaksanya
menandatangani Perjanjian Bungaya enam tahun kemudian.
Arung Palakka Kembali
Setelah
berpindah dari Buton ke Batavia atas bantuan Kompeni, Arung Palakka
diminta untuk memadamkan pemberontakan orang Minangkabau di pantai barat
Sumatera. Arung Palakka setuju dan berangkat bersama Toangke,
julukan bagi sekitar 400 orang Bugis yang berdiam bersamanya di sekitar
Sungai Angke. Pada 30 Agustus 1666, ia tiba di Padang bersama dengan
Kapten Joncker yang memimpin tentara Ambon. Ini adalah medan pembuktian
bagi Arung Palakka agar Kompeni semakin yakin bahwa dirinya bisa
diandalkan. Kemenangan diraih oleh Arung Palakka, bahkan ia digelari
sebagai ‘Raja Ulakan’ oleh orang-orang Ulakan karena keberaniannya di
sana. Keyakinan Kompeni bahwa Arung Palakka mungkin merupakan kunci
untuk mengalahkan musuhnya di timur, yaitu Gowa, semakin menguat ketika
pasukan Aceh dikalahkan oleh Arung Palakka di Pariaman.
Tidak
lama setelah itu, Dewan Hindia di Batavia mengeluarkan resolusi untuk
mengirimkan ekspedisi ke Makassar dan kawasan timur pada 2 November 1666
dengan tujuan “mengumumkan perang kepada orang Makassar”. Meski begitu,
sebenarnya Kompeni masih berharap masalah dengan Gowa masih bisa
diselesaikan dengan jalan damai. Bagaimanapun Kompeni sangat sadar bahwa
Gowa adalah kerajaan terbesar di bagian timur Nusantara. Selama
setengah abad konfrontasi yang terjadi antara Gowa dan Kompeni tidak
menghasilkan kemenangan signifikan bagi Kompeni. Memerangi Gowa sekali
lagi adalah jalan pintas menuju kehancuran bagi Kompeni dan semua
kepentingannya di timur.
Namun, mau tidak mau akhirnya Kompeni
berangkat ke Gowa dan menunjuk Cornelis Janzoon Speelman, seorang
pegawai Kompeni yang kontroversial, untuk memimpin ekspedisi tersebut.
Ia berangkat bersama dua pemimpin perang yang baru saja sukses di pantai
barat Sumatera: Arung Palakka dan Kapten Joncker. Tugas utama Speelman
adalah mengupayakan perdamaian dan meminta Gowa untuk meminta maaf,
terutama atas kasus terbunuhnya orang-orang Belanda di Pulau Don Duango
dan ‘perampokan’ terhadap kapal Leeuwin yang karam, meski tidak menutup
kemungkinan melancarkan perang jika Gowa menolak. Ekspedisi ke Makassar
yang dipimpin Speelman itu berlayar pada 24 November 1666 dengan membawa
dua puluh kapal yang mengangkut 1870 orang.
Pada 17 Desember
1666, armada ini tiba di sekitar Pulau Tanakeke dan sampai di pantai
Makassar dua hari kemudian. Tuntutan yang diajukan oleh Kompeni dibalas
dengan kunjungan dua bangsawan penting Gowa bersama dua penerjemah
sambil membawa 1056 koin emas dan 1435 coprijksdaalders sebagai
ganti rugi atas kejadian Don Duango dan kapal Leeuwin. Semua barang ini
ditolak oleh Speelman. Dua hari kemudian, utusan Belanda telah datang
kembali dari Somba Opu, istana Kerajaan Gowa, dengan membawa kegagalan:
tuntutan Belanda ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Maka sesuai dengan
instruksi yang diberikan oleh Dewan Hindia dan Gubernur Jenderal,
Speelman mendekati pelabuhan Makassar hingga setengah kilometer dari
pantai dan mulai membombardir wilayah tersebut.
Peristiwa
tersebut menandai dimulainya Perang Makassar. Perlawanan sengit
dilancarkan oleh Gowa yang tidak menyangka adanya serangan tiba-tiba,
bukan hanya dari armada Kompeni yang menyerang dari laut, tapi juga oleh
serbuan darat pasukan Bugis di bawah komando Arung Palakka yang
menyerang dari arah selatan. Pertempuran terjadi selama 11 bulan sebelum
akhirnya kedua pihak sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Mereka
bertemu pada 13 November 1667 untuk menyepakati sebuah paket perjanjian
damai di Bungaya, sebuah kampung di dekat Barombong.
Perjanjian Bungaya
Pertemuan
pun dilaksanakan di sebuah tanah lapang di Bungaya. Para pemimpin
penting seperti Speelman, Arung Palakka, Sultan Hasanuddin dan Karaeng
Karunrung hadir di sana. Awalnya mereka berkomunikasi melalui perantara
penerjemah, tetapi karena cara ini dianggap tidak efektif, maka Karaeng
Karunrung sebagai orang yang paling pandai dalam soal bahasa menjadi
juru runding Gowa. Perundingan antara Speelman dan Karaeng Karunrung itu
berlangsung dalam bahasa Portugis. Hasil dari perundingan yang tidak
selesai dalam waktu sehari ini disebut sebagai Perjanjian Bungaya.
Perjanjian
Bungaya mengubah total arah sejarah yang seharusnya terjadi di Sulawesi
Selatan. Perjanjian yang terdiri dari 26 pasal ditambah tiga pasal
tambahan ini bukan hanya menjadi momentum jatuhnya Kerajaan Gowa, tetapi
juga menandai awal kekuasaan penuh dari Kompeni di bagian timur
Nusantara. Empat bulan sebelumnya, berakhirnya Perang Kedua
Inggris-Belanda membuat Belanda mendapatkan Pulau Run, penghasil utama
pala di Kepulauan Banda, setelah menukarkannya dengan Niew Amsterdam
yang kelak menjadi New York.
Perjanjian Bungaya juga menimbulkan
kerugian besar bagi kelompok pedagang internasional lain yang telah lama
berdagang di Somba Opu, terutama pedagang Inggris. Perjanjian tersebut
memutuskan bahwa semua pedagang Eropa (kecuali pedagang Belanda),
India/Moor, Jawa, Melayu, Aceh dan Siam dilarang berdagang di Makassar.
Sehari setelah poin-poin Perjanjian Bungaya akhirnya disepakati pada 18
November 1667, para pedagang dari berbagai bangsa, terutama Inggris dan
Portugis, mulai meninggalkan Somba Opu. Dua hari setelahnya, Speelman
memasuki Benteng Jumpandang yang kelak diubah namanya menjadi Fort
Rotterdam.
Bagi pihak kerajaan kembar Gowa-Tallo sendiri,
perjanjian ini seolah menjadi penutup kejayaan Makassar sebagai kekuatan
paling besar di bagian timur Nusantara sejak awal abad ke-17.
Perjanjian Bungaya mengharuskan agar semua benteng yang dimiliki oleh
kerajaan tersebut, kecuali Somba Opu dan Jumpandang, dihancurkan. Pada
24 Juni 1669, Sompa Opu yang menampung istana Kerajaan Gowa ikut jatuh
akibat kekalahan perang susulan yang diinisiasi oleh Karaeng Karunrung
setelah Perjanjian Bungaya.
Dengan begitu jatuhlah seluruh
benteng Kerajaan Gowa-Tallo ke bawah kekuasaan Kompeni. Kenyataan ini
digunakan oleh Kompeni untuk menguatkan kembali isi Perjanjian Bungaya
yang telah disepakati dua tahun sebelumnya. Pada 15 Juli 1669,
perwakilan Tallo datang ke Fort Rotterdam untuk mengakui kembali
perjanjian tersebut, disusul dengan perwakilan Gowa yang datang pada 27
Juli 1669. Mereka menaruh senjata dan bersumpah dengan Alquran, meminum
air serta menghunus keris untuk mengakui kembali perjanjian itu.
Paradoks
Arung
Palakka tidak butuh waktu terlalu lama untuk menjadi pemimpin baru di
Sulawesi dan seluruh bagian timur Nusantara. Speelman menempati Fort
Rotterdam dan menjadikannya sebagai kantor Kompeni dan rumah tinggalnya
sendiri. Sedangkan Arung Palakka tinggal di istana Bontoala, sekitar dua
kilometer dari Fort Rotterdam. Beberapa tahun kemudian, kedua orang ini
mencapai puncak karirnya: Speelman diangkat menjadi Gubernur Jenderal
VOC pada 1680, Arung Palakka diangkat menjadi Raja Kerajaan Bone pada
1672.
Dalam bentangan peristiwa selama abad ke-17 di Sulawesi
Selatan, banyak sekali ditemukan paradoks yang kadang menimbulkan
kebingungan bagi pembaca sejarah. Ini merupakan kombinasi dari sifat dan
karakter yang dimiliki oleh orang-orang Makassar dan Bugis, misalnya
kecintaan pada ilmu, toleransi kepada perbedaan, keinginan untuk bebas
merdeka, dengan ambisi politik yang mengharuskan konflik, perang atau
bahkan penaklukan kepada saudara sendiri.
Sejarah mencatat bahwa
Kerajaan Gowa-Tallo sebelum kekalahan itu begitu terbuka kepada bangsa
lain. Puluhan kantor perwakilan dagang dari berbagai bangsa terdapat di
Somba Opu. Demikian juga dengan berbagai tempat ibadah yang dimiliki
bangsa-bangsa Eropa bebas berdiri atas izin penguasa Gowa. Hal ini
menunjukkan kecintaan pada ilmu dan toleransi kepada perbedaan. Namun
pada saat yang sama, perintah Karaeng Karunrung agar 10.000 orang Bugis
Bone mengerjakan kerja paksa berupa penggalian kanal di dekat Benteng
Panakkukang merupakan hal paradoks dari sifat toleransi. Hal inilah yang
membuat Arung Palakka dan beberapa bangsawan Bugis lain melarikan diri
dari Gowa.
Paradoks dalam sejarah di Sulawesi Selatan ini tidak
hanya pada hal di atas. Keinginan Arung Palakka untuk bebas merdeka itu
mengantarkannya untuk menerima tawaran Kompeni untuk bersama-sama
memerangi Gowa. Ketika Kompeni dan Arung Palakka mengalahkan Gowa,
paradoks terjadi lagi, yaitu keputusan Kompeni untuk mengusir berbagai
bangsa yang berdagang di Makassar. Di sini, bukan hal yang sederhana
untuk bisa memisahkan antara sifat dan karakter orang-orang Makassar dan
Bugis dengan ambisi politik mereka masing-masing.
Refleksi
Kehancuran
Kerajaan Gowa-Tallo akibat dari koalisi Kompeni dan Arung Palakka ini
sering dijadikan bukti oleh banyak orang untuk mengatakan bahwa
orang-orang Bugis adalah kawan dan hamba penjajah. Harus diakui, ada
beberapa pihak yang ingin terus mengobarkan perang antara orang-orang
Makassar dan Bugis. Namun dengan membaca sejarah, kita bisa memperbaiki
pandangan kita kepada orang Bugis –jika anda orang Makassar– dan kepada
orang Makassar –jika anda orang Bugis. Sejarah yang terjadi selama 350
tahun setelah ditandatanganinya Perjanjian Bungaya telah membuktikan
itu.
Arung Palakka meninggal pada 6 April 1696 dan dikebumikan di
Gowa. Makam Arung Palakka tersebut kini terletak di tengah pemukiman
warga yang hampir seluruhnya adalah orang-orang Makassar. Tiga abad
telah membuktikan makam tersebut telah dijaga dengan baik oleh
orang-orang yang dulu ditaklukkan olehnya. Setelah ia meninggal,
Aruppitu (Dewan Adat Bone) memilih sendiri pengganti Arung Palakka,
yaitu La Patau Matanna Tikka dan segera berangkat ke Rotterdam untuk
melaporkan keputusan tersebut. Van Thije, perwakilan Kompeni di sana,
menyambut dan memberitahu bahwa keputusan itu akan dikirim ke Batavia
agar disetujui Dewan Hindia. Aruppittu itu bergeming, dan juru bicaranya
mengatakan: “Kami datang ke sini bukan untuk membicarakan tentang
pemilihan. Kami datang ke sini untuk memberitahu anda tentang apa yang
telah kami putuskan.”
sumber: https://historia.id/politik/articles/meninjau-kembali-peran-arung-palakka
Komentar
Posting Komentar