Buat 3.900 Prajurit Tak Lulus, Begini Seleksi Berat Kopassus, Sebrangi Jurang Hingga Latihan di Nusakambangan



Anda tahu Kopassus?
Kopassus merupakan kepanjangan dari Komando Pasukan Khusus dan menjadi bagian dari Komando Utama tempur yang dimiliki oleh TNI Angkatan Darat, Indonesia.
Kemampuan khusus yang dimiliki anggota Kopassus antara lain bergerak cepat di setiap medan, menembak dengan tepat, pengintaian, dan anti teror.

Beberapa hari lalu, tepatnya pada Rabu (24/4/2019), Kopassus merayakan hari ulang tahun (HUT) ke-67 di markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur.


Diketahui, dalam sejarah Kopassus, kesatuan baret merah TNI AD ini pernah melakukan seleksi ulang hingga membuat lebih dari 3.000 prajuritnya dinyatakan tak lulus.

Dilansir dari buku 'Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando', karya Hendro Subroto, saat itu Kopassus memang tengah melakukan perampingan organisasi besar-besaran, sehingga diadakan seleksi yang berat.

Seleksi yang berat itu membuat prajurit kopassus yang awalnya 6.400 orang, berkurang menjadi 2.500 orang. Sehingga ada sekitar 3.900 prajurit yang tak lulus.

Dalam bukunya itu, Sintong bercerita betapa beratnya seleksi yang saat itu diadakan di Sukabumi. Seleksi itu bertujuan menilai kemampuan fisik, mental, dan kecerdasan para prajurit kopassus. "Di antara kegiatan latihan itu, harus menyeberangi berbagai jurang untuk latihan fisik dan mental, kurang waktu untuk tidur dan istirahat selama satu minggu, serta membaca peta dan situasi untuk uji kecerdasan," tulis Hendro berdasarkan kesaksian Sintong. Dalam berbagai seleksi itu, pasukan yang lulus hanya sekitar 2.500 orang. Mereka yang lulus tentu saja boleh tetap mengenakan baret merah. Sedangkan, yang tak lulus akan ditempatkan ke dalam kesatuan baret hijau, Kostrad.
Pergantian baret itu tentu saja menimbulkan protes dari mereka yang harus mengganti baret merah ke hijau. Satu bentuk protesnya adalah melepaskan sejumlah tembakan. "Mereka merasa masuk TNI karena ingin menjadi anggota Korps Baret Merah, dan tidak bisa menerima kenyataan harus melepaskan baret merah di samping sudah bersumpah setia untuk menjadi pasukan komando," tulis Hendro yang menirukan kembali kesaksian Sintong.


Sintong pun menilai mereka yang protes melalui pelepasan tembakan memang sudah tak pantas di Kopassus. Tindakan itu sudah melanggar disiplin militer yang patuh, dan taat pada pimpinan. Oleh karena itu, Sintong pun meminta Polisi Militer AD untuk menanganinya. Meski demikian, upacara pergantian baret pun pada akhirnya tetap dilakukan. Upacara tersebut dilakukan di Kariango, sekitar 23 kilometer dari Makassar.

Mereka yang tak lulus ujian tersebut berdiri tegak dalam barisan. "Sebelum upacara dimulai mereka sudah memasukkan baret hijau ke dada di bagian dalam kemeja," tulis Hendro berdasarkan pengakuan Sintong. Selanjutnya terdengar aba-aba pergantian baret. Mereka serentak menunduk, mengambil baret hijau dari kemejanya, lalu mengenakannya ke kepalanya, dan memasukkan baret merah ke kemejanya.
Begini seleksi berat Kopassus.
Menurut Sintong, saat itu suasana sangat mengharukan dan beberapa anggota meneteskan air mata. "Sintong merasa sangat terharu menyaksikan upacara itu.”
“Ia mencatat di antara mereka yang berganti baret itu ada perwira berpangkat kolonel, letkol, dan mayor, walaupun sebenarnya mereka lebih suka tetap di baret merah,"tulis Hendro.

Latihan Khusus Pasukan Baret Merah
Mengenal lebih dalam pasukan kopassus, mungkin banyak orang bertanya-tanya seperti apa latihan para prajurit baret merah ini. Sebagai pasukan khusus, tentunya latihan prajurit Kopassus agak 'berbeda' dan memang dilatih secara khusus di beberapa bidang tertentu.

Latihan prajurit Kopassus sempat diceritakan oleh mantan Kepala Staf TNI AD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo dalam bukunya yang berjudul 'Pramono Edhie Wibowo dan Cetak Biru Indonesia ke Depan'

Dalam buku biografinya, Pramono Edhie Wibowo yang juga pernah bertugas di krops baret merah itu menceritakan latihan terberat prajurit Kopassus sudah menanti saat sampai di Cilacap. Ini merupakan latihan tahap ketiga yang disebut latihan Tahap Rawa Laut, calon prajurit komando berinfliltrasi melalui rawa laut.
Di sini, materi latihan meliputi navigasi Laut, Survival laut, Pelolosan, Renang ponco dan pendaratan menggunakan perahu karet. Para prajurit Kopassus harus mampu berenang melintasi selat dari Cilacap ke Nusakambangan.
Begini seleksi berat Kopassus.
“Latihan di Nusakambangan merupakan latihan tahap akhir, oleh karena itu ada yang menyebutnya sebagai hell week atau minggu neraka.” “Yang paling berat, materi latihan ‘pelolosan’ dan ‘kamp tawanan’,” tulis Pramono dalam bukunya.

Dalam latihan itu, para calon prajurit Kopassus dilepas tanpa bekal pada pagi hari, dan paling lambat pukul 10 malam sudah harus sampai di suatu titik tertentu. Selama “pelolosan”, calon prajurit Kopassus harus menghindari segala macam rintangan alam maupun tembakan dari musuh yang mengejar. Dalam pelolosan itu, kalau ada prajurit yang tertangkap maka berarti itu merupakan 'neraka' baginya karena dia akan diinterogasi seperti dalam perang. Para pelatih yang berperan sebagai musuh akan menyiksa prajurit malang itu untuk mendapatkan informasi.

Dalam kondisi seperti itu, para prajurit Kopassus harus mampu mengatasi penderitaan, tidak boleh membocorkan informasi yang dimilikinya. Untuk siswa yang tidak tertangkap bukan berarti mereka lolos dari neraka. Pada akhirnya, mereka pun harus kembali ke kamp untuk menjalani siksaan. Selama tiga hari pra prajurit Kopassus menjalani latihan di kamp tawanan. Dalam kamp tawanan ini semua prajurit Kopassus akan menjalani siksaan fisik yang nyaris mendekati daya tahan manusia.
Begini seleksi berat Kopassus.
“Dalam Konvensi Jenewa, tawanan perang dilarang disiksa. Namun, para calon prajurit Komando itu dilatih untuk menghadapi hal terburuk di medan operasi.” “Sehingga bila suatu saat seorang prajurit komando di perlakukan tidak manusiawi oleh musuh yang melanggar konvensi Jenewa, mereka sudah siap menghadapinya,” tulis Pramono Edhie. Beratnya persyaratan untuk menjadi prajurit kopassus dapat dilihat dari standar calon untuk bisa mengikuti pelatihan. Nilai standar fisik untuk prajurit nonkomando adalah 61, namun harus mengikuti tes prajurit komando, nilainya minimal harus 70. Begitu juga kemampuan menembak dan berenang nonstop sejauh 2000 meter “Hanya mereka yang memiliki mental baja yang mampu melalui pelatihan komando. Peserta yang gagal akan dikembalikan ke kesatuan Awal untuk kembali bertugas sebagai Prajurit biasa,” tutup mantan Danjen Kopassus ini.

Komentar