Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian. Karena sesungguhnya tidaklah seseorang mengingatnya di waktu sempit kehidupannya
TIDAK sedikit orang beranggapan bahwa kematian adalah akhir dari kesuksesan seseorang. Terlebih kala dikaitkan dengan harta benda yang ditinggalkan. Namun, Islam tidaklah memandang demikian, orang sukses bisa berlanjut sampai ke akhirat.
Abdurrahman bin Auf misalnya, beliau tidak saja kaya raya di dunia, tetapi juga akan hidup bahagia di dalam surga. Mengapa, karena kekayaan yang digenggamnya tak menghalanginya mengingat mati, mengingat masa sulit perjuangan para sahabat Nabi, sehingga tak sempat dirinya berpikir bagaimana terus mengejar kekayaan. Justru kekayaan yang ada itu ia serahkan untuk Islam.
Demikian pula dengan putri Rasulullah 9 Fathimah Radhiyallahu anha, beliau rela hidup dengan kerja keras, hingga melepuh dua tapak tangannya di dunia, bahkan enggan meminta pertolongan dan bantuan dari sang ayah yang sejatinya bisa memberikan apa yang dibutuhkannya. Semua itu dijalani dengan ringan hati, mengapa, ada kematian yang akan mengakhiri perjuangan hidup yang sedemikian itu.
Hal ini menunjukkan bahwa kematian sejatinya adalah gerbang penentuan. Mereka yang ingin kematian menjadi gerbang indah maka bagiamanapun kondisinya di dunia, itu tidak akan pernah mengguncangkan imannya, apalagi sampai tercerabut sampai akar-akarnya.
Tetapi, orang yang melalaikan kematian, menjauhi dengan terus berpacu mengejar kekayaan dunia, maka ia akan mudah menggadaikan apapun yang dimilikinya, termasuk iman demi kenikmatan semu kehidupan dunia ini.
Orang-orang yang seperti itu yang tidak saja akan merugi di akhirat. Di dunia pun ia sudah kehilangan kesehatan berpikirnya, kehilangan kesehatan berakhlaknya, sehingga yang dilakukan dan diucapkan hanyalah kesia-siaan dan kebathilan demi kebathilan.
Oleh karena itu, islam mendorong umatnya untuk mengingat mati. Menurut Ustadz Omar Mita, mengingat mati bukanlah anjuran, melainkan ibadah kepada Allah Ta’ala. Seberapa sering seseorang mengignat mati, sepanjang itu Allah akan berikan pahala. Bahkan, setelah kematian itu, Allah akan sempurnakan pahala-pahala mereka yang menjaga diri kerusakan berpikir dan perilaku.
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَما الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185].
Mari garisbawahi, “Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung.” Jadi, orang yang sukses selamanya itu ada dan mereka adalah orang yang Allah masukkan ke dalam surga-Nya.
Dalam pandangan materialisme, kala Muhammad belum menjadi Nabi, beliau dikatakan sukses karena berlimpah harta. Sedangkan ketika menjadi Nabi, semua kekayaan itu ludes untuk perjuangan. Tetapi, tidak dalam pandangan Islam. Ketiadaan harta karena berjuang di jalan Allah, itu adalah kemuliaan yang harus diperjuangkan untuk mendapatkan sukses yang abadi, sukses selamanya.
Tentu saja, satu di antara strategi agar diri dapat terus fokus pada kesehatan komprehensif dan kesuksesan selamanya, mengingat mati adalah jalan terbaik.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ
Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian. (HR Ibnu Majah, no. 4.258; Tirmidzi; Nasai; Ahmad).
Mengingat mati bukan soal putus asa lalu menguras energi untuk berjuang. Sebaliknya, mengingat mati untuk menjadikan pikiran sehat, stabil, dan progressif, sehingga tak ada kesempatan diri mengeluh, lemah, dan malas. Tetapi sebaliknya, semakin ringan dan bergairah mengisi hidup ini dengan kebaikan terbaik yang bisa dilakukan.
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ : الْمَوْتَ , فَإِنَّهُ لَمْ يَذْكُرْهُ أَحَدٌ فِيْ ضِيْقٍ مِنَ الْعَيْشِ إِلاَّ وَسَّعَهُ عَلَيْهِ , وَلاَ ذَكَرَهُ فِيْ سَعَةٍ إِلاَّ ضَيَّقَهَا عَلَيْهِ
“Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian. Karena sesungguhnya tidaklah seseorang mengingatnya di waktu sempit kehidupannya, kecuali (mengingat kematian) itu melonggarkan kesempitan hidup atas orang itu. Dan tidaklah seseorang mengingatnya di waktu luas (kehidupannya), kecuali (mengingat kematian) itu menyempitkan keluasan hidup atas orang itu.” (HR. Thabrani dan Hakim).
Jadi, mengingat mati adalah tradisi orang-orang sehat dan cerdas. Maka kita pun harus melakukannya agar terhindar dari penyakit dan kebodohan.
Suatu hari ada seseorang datang menjumpai Nabi, lantas bertanya. “Manakah di antara kaum mukminin yang paling cerdik?” Beliau menjawab,”Yang paling banyak mengingat kematian di antara mereka, dan yang paling bagus persiapannya setelah kematian. Mereka itu orang-orang yang cerdik.” (HR Ibnu Majah).
Dengan kata lain, semakin seseorang mengejar dunia untuk gengsi, berbangga-banggaan, maka semakin dekatlah ia dengan sakitnya akal, rasa, dan imajinasi kemudian sangat dekat kematian hati. Akibatnya ia tidak akan lagi mengerti mana halal, mana haram, semua dihantam.
Tetapi, semakin seseorang sering mengingat mati akan semakin hidup hatinya dan cerdas akalnya, sehingga tidak ada yang ia pilih di dalam kehidupan ini, selain menyiapkan bekal dengan amal-amal sholeh. Inilah orang yang di dunia pikiran dan perilakunya sehat, dan kesuksesan di dunia akan berlanjut hingga ke akhirat. Kematian menjadi momentum yang sangat membahagiakan bagi dirinya. Allahu a’lam.*
sumber : https://www.hidayatullah.com/kajian/tazkiyatun-nafs/read/2019/01/24/158891/sehat-dan-sukses-selamanya-dengan-mengingat-mati.html
Komentar
Posting Komentar