Tak sudi melihat tri warna berkibar di kota Makassar, sekelompok pemuda tanggung nekat menyerang markas tentara Belanda.
Pemuda-Pemudi Makassar dalam peringatan dalam peringatan hari kemerdekaan, 17 Agustustus 1949. (Repro Kementerian Penerangan Republik Indonesia: Sulawesia, 1954).
Maulwi Saelan jengkel menyaksikan tingkah tentara Sekutu dan Belanda di Makassar. Serdadu asing yang baru saja memenangkan Perang Dunia II ini menduduki objek vital dalam kota. Mereka bukan saja menguasai Hotel Empres tapi juga menduduki tangsi dan kantor polisi. Namun yang paling menohok, para tentara Sekutu itu membiarkan bendera Belanda berkibar di mana-mana.
“Pemandangan ini tentu sangat tidak menyenangkan karena terasa suasana Indonesia merdeka yang mendominasi Kota Makassar dan seluruh Sulawesi Selatan, terancam berganti,” kenang Maulwi dalam memoar Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa.
Pemuda-pemuda Makassar tak terima. Mereka berpikir, orang-orang Belanda itu harus dikasih pelajaran. “Walaupun dengan menempuh kekerasan dan pengorbanan jiwa,” demikian kata Saelan.
Baca juga: Maulwi Saelan yang Saya Kenal
NICA Cari Perkara
Sejak 21 September 1945, tentara Sekutu mendarat di Makassar di bawah komando Brigadir I. Dougherty. Di antara mereka terdapat 250 tentara Australia yang dipimpin Brigadir Chihon. Mereka datang guna melucuti tentara Jepang sekaligus menjalankan proses kapitulasi. Selain itu, Sekutu juga membawa tentara NICA yang mewakili pemerintah Belanda.
Khusus untuk tentara NICA, mereka punya tujuan mengembalikan kekuasaan Belanda di Sulawesi. Mayor Wagner ialah komandannya.Namun, baru beberapa hari bertugas, Wagner digantikan oleh Letnan Kolonel Dr. C. Lion Cachet.
Di Makassar, kekuatan pro Republik Indonesia dimotori oleh kaum pemuda. Saat itu, barisan pemuda paling kuat terhimpun dalam Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI). Mereka yang menjadi pentolannya antara lain: Manai Sophian, S. Sunari, M. Zajad, Ali Malaka, Aminuddin Muchlis, S. Moon, Intje Abdullah. Pemudi-pemudi Palang Merah Indonesia ikut tergabung dalam PPNI sementara pemuda-pemuda jebolan Heiho juga digalang. PPNI tersebar sebanyak 25 kelompok meliputi seluruh distrik kota.
Baca juga: Sejarah Bandit Sulawesi Selatan
Sementara kelompok yang lebih junior berada di barisan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Nasional. Sekolah tersebut didirikan pada 8 Oktober 1945 guna menampung pelajar-pelajar yang putus sekolah akibat perang semasa pendudukan Jepang. Tenaga pengajar diambil dari kalangan pejuang sendiri. Gubernur Sulawesi, Samuel Ratulangi bertindak selaku kepala sekolahnya.
“Saya sendiri pelajar sekolah itu dan dipilih memimpin kelompok kami untuk melakukan penyerbuan,” tutur Maulwi Saelan.
Di pihak lawan, tentara NICA semakin merajalela. NICA memboyong pegawai-pegawai sipil dan polisi istimewa untuk dikerahkan ke berbagai sektor. Mereka juga membebaskan tentara KNIL dan pegawai Belanda yang tertawan semasa pendudukan Jepang untuk dikaryakan kembali. Di antara pasukan KNIL itu, banyak terdapat orang-orang Ambon bersenjata. Sejak kedatangannya, Mayor Wagner melancarkan propaganda melalui selebaran. Dia memperingatkan supaya penduduk Makassar ikut menjaga ketertiban umum.
Pemuda Angkat Senjata
Kaum Republikan gerah juga dengan aksi pendudukan NICA. Pada 27 Oktober 1945, PPNI mulai melacarkan pemberontakan bersenjata. Mereka merebut segala tempat strategis yang diduduki NICA. Mulai dari Radio Makassar, stasiun radio Matoangin dan Maradekaja, tangsi polisi di Jalan Gowa, hingga kantor CoNICA (Commanding Officer NICA).
Meski bertugas menjaga keamanan sipil, nyatanya tentara Australia malah membalas aksi pemuda. Menurut Maulwi, komandan pasukan Australia, Brigjadir Chihon sikapnya lebih pro Belanda ketimbang Brigjadir Dougherty yang berkesan simpati terhadap perjuangan Indonesia. Ketika markas CoNICA diserbu, seorang pemuda yang sedang memanjat tiang ditembak oleh tentara Australia. Pemuda malang itu gugur seketika karena hendak menurunkan bendera Belanda dengan panji Merah Putih.
Gerakan bersenjata kelompok pemuda pada akhirnya dapat dipatahkan. Belanda menyerang balik kelompok pemuda dengan senjata yang lebih modern. Pada pukul 11 pagi, markas pemuda di Jongaya diserbu dan jatuh ke tangan musuh.
Menurut buku babon Republik Indonesia: Provinsi Sulawesi yang diterbitkan Kementerian Penerangan (1954), korban gugur maupun luka-luka di pihak pemuda cukup banyak. Sebanyak 46 orang pemuda ditangkap, termasuk tokohnya yang bernama Wolter Mongisidi.
Giliran Pelajar Beraksi
Dua hari kemudian (29 Oktober), pelajar-pelajar yang tergabung dalam SMP Nasional pun ikut dikerahkan. Mereka kebagian misi menyerbu Hotel Empress dan menangkapi opsir-opsir NICA yang tinggal disitu. Selain itu, mereka juga ditugaskan untuk mengadakan perintang-perintang jalan guna menghalangi mobilitas pasukan musuh.
Pelajar-pelajar nekat ini bergerak sedari pukul 4 pagi kala orang-orang Belanda masih terlelap di atas ranjang. Ketika serangan mendadak dilancarkan, Dr. Lion Cachet juga berada di Hotel Empress. Mendengar ada kericuhan, Cachet keluar dari kamarnya tapi lupa membawa senjata. Beberapa pelajar mendapati Cachet dan langsung menghadangnya. Karena ketakutan, perwira Belanda itu mengakat tanganya seraya berteriak.
“Ik ben ongewapend, Menner” (Saya tidak bersenjata, tuan),” kata Cachet kepada remaja-remaja tanggung itu sebagaimana dituturkan Maulwi Saelan.
Baca juga: Penyergapan Tentara Belanda di Tanah Karo
Seorang tentara Sekutu asal Pakistan turut menyaksikan ketika serangan ke Hotel Empress berlangsung. Namanya Kapten Ziaul Haq, yang kelak menjadi Presiden Pakistan. Menurut keterangan Omar Sakri, atase militer Pakistan yang berkunjung ke Kodam Wirabuana dilansir Pedoman Rakyat 1 Junia 1982, Ziaul Haq menyatakan kekagumannya atas semangat dan keberanian pemuda pelajar Makassar.
sumber: https://historia.id/militer/articles/pelajar-makassar-bernyali-besar
Komentar
Posting Komentar