Raden Makhdum Ibrahim, or Sunan Bonang, was the eldest son of Sunan Ampel of Surabaya. As a young man he travelled together with Raden Paku (Sunan Giri) to North Sumatra, where he received religious education from Syekh Maulana Ishak. Following his return to Java he settled at Bonang on the north coast. It is said that Sunan Bonang did not marry and left no descendants, preferring instead to devote his life to spreading the religious message. He is also believed to have been the first Imam of the Great Mosque in Demak, which he assisted in constructing. According to one story, Sunan Bonang was responsible for the conversion to Islam of another member of the Wali Songo, Sunan Kalijaga. Not suprising then that he, like his famous student, is highly venerated. An account of the death of Sunan Bonang, apparently in A.D. 1525, records that it had been planned for his remains to be shipped from Bonang to Surabaya, where he was to be buried alongside his father. Due to the rough conditions at sea, however, it was impossible to sail further than Tuban. for which reason his grave is found there today.
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya
adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi
Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila. Ada yang mengatakan
Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi ada pula yang berkata
bahwa Dewi Condrowati adalah putri angkat Adipati Tuban yang sudah
beragama Islam yaitu Ario Tejo.
Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin
agama se Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat
tinggi. Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama
Islam secara tekun dan disiplin. Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan
atau riadha para Wali itu lebih berat dari pada orang awam. Raden Makdum
Ibrahim adalah calon Wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga
mempersiapkan sebaik mungkin.
Disebutkan dari berbagai literature bahwa Raden Makdum Ibrahim dan
Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga
ke Tanah seberang, yaitu Negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan
kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga
belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai.
Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir, Arab dan
Persi atau Iran. Sesudah belajar di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim
dan Raden Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan
pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
Sedang Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah
di Tuban. Dalam berdakwa Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan
kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat
gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang
ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu
lunak maka timbullah suaranya yang merdu ditelinga penduduk setempat.
Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat
musik itu, beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang
tinggi, sehingga beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para
pendengarnya.
Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang, pasti banyak penduduk
yang datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang
ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang
ciptaan Raden Makdum Ibrahim.
Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh
kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan
saja ajaran Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang
yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah
mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.
Tembang Tombo Ati yang terkenal hingga sekarang lagi ini sering
dilantunkan para santri ketika hendak shalat jama’ah, baik di pedesaan
maupun dipesantren. Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak,
baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun Madura. Karena
beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat
memberinya gelar Sunan Bonang. Beliau juga menciptakan karya sastra yang
disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap
sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan
beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di PerpustakaanUniversitas
Leiden, Belanda. ( Nederland )
Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh
jalan ( tasawwuf ) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk.
Ajaran yang biasa disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk,
sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut
Wirid.
Dikisahkan beliau pernah menaklukkan seorang pemimpin perampok dan
anak buahnya hanya mempergunakan tambang dan gending. Dharma dan irama
Mocopot. Begitu gending ditabuh Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu
bergerak, seluruh persendian mereka seperti dilolosi dari tempatnya.
Sehingga gagallah mereka melaksanakan niat jahatnya.
“Ampun ………. hentikanlah bunyi gamelan itu, kami tidak kuat !” Demikian rintih Kebondanu dan anak buahnya.
“Gending yang kami bunyikan sebenarnya tidak berpengaruh buruk terhadap kalian jika saja hati kalian tidak buruk dan jahat.”
“Ya, kami menyerah, kami tobat ! Kami tidak akan melakukan perbuatan
jahat lagi, tapi ………. “ Kebondanu ragu meneruskan ucapannya.
“Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu !” ujar Sunan Bonang.
“Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami yang sudah tak terhitung
lagi banyaknya,” kata Kebondanu dengan ragu. “Kami sudah sering
merampok, membunuh dan melakukan tindak kejahatan lainnya.”
“Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja,” kata Sunan Bonang. “Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengampun dan Penerima tobat.”
“Walau dosa kami setinggi gunung ?” Tanya Kebondanu.
“Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak pasir dilaut.”
Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan menjadi murid Sunan Bonang yang setia. Demikian pula anak buahnya.
Pada suatu ketika juga ada seorang Brahmana sakti dari India yang
berlayar ke Tuban. Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan berdebat
tentang masalah keagamaan dengan Sunan Bonang. Namun ketika ia berlayar
menuju Tuban, perahunya terbalik dihantam badai. Walaupun ia dan para
pengikutnya berhasil menyelamatkan diri kitab-kitab referensi yang
hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah tenggelam
ke dasar laut. Di tepi pantai mereka melihat seorang lelaki berjubah
putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Mereka menghentikan
lelaki itu dan menyapanya. Lelaki berjubah putih itu menghentikan
langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir.
“Saya datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan Bonang.” kata sang Brahmana.
“Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang ?” tanya lelaki itu.
“Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan, kata sang
Brahmana.” Tapi sayang kitab-kitab yang saya bawa telah tenggelam ke
dasar laut.”
Tanpa banyak bicara lelaki itu mencabut tongkatnya yang menancap di
pasir, mendadak tersemburlah air dari lubang tongkat itu, membawa keluar
semua kitab yang dibawa sang Brahmana.
“Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam ke dasar laut ?” Tanya lelaki itu.
Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata
benar miliknya sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari
menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah putih itu.
“Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini ?” tanya sang Brahmana.
“Tuan berada di pantai Tuban !” jawab lelaki itu. Serta merta
Brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri berlutut di hadapan
lelaki itu. Mereka sudah dapat menduga pastilah lelaki berjubah putih
itu adalah Sunan Bonang sendiri.
Siapa lagi orang sakti berilmu tinggi yang berada di kota Tuban
selain Sunan Bonang. Sang Brahmana tidak jadi melaksanakan niatnya
menantang Sunan Bonang untuk adu kesaktian dan mendebat masalah
keagamaan, malah kemudian ia berguru kepada Sunan Bonang dan menjadi
pengikut Sunan Bonang yang setia.
Ada lagi legenda aneh tentang Sunan Bonang.
Sewaktu beliau wafat, jenasahnya hendak di bawa ke Surabaya untuk
dimakamkan di samping Sunan Ampel yaitu ayahandanya. Tetapi kapal yang
digunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak sehingga terpaksa
jenazahnya Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu di sebelah barat
Masjid Jami’ Tuban.
*****
kisah dan ajaran Wali Sanga – karya H.Lawrens Rasyidi – published by ronKramerhttps://darisrajih.wordpress.com/2008/03/15/syekh-maulana-makhdum-ibrahim-sunan-bonang
Komentar
Posting Komentar