DALAM budaya Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar dan Tana
Toraja) ada sebuah istilah atau semacam jargon yang mencerminkan
identititas serta watak orang Sulawesi Selatan, yaitu Siri’ Na Pacce.
Secara lafdzhiyah Siri’ berarti : Rasa Malu (harga diri), sedangkan
Pacce atau dalam bahasa Bugis disebu Pesse yang berarti : Pedih/Pedas
(Keras, Kokoh pendirian). Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan
emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan individu lain
dalam komunitas (solidaritas dan empati).
Kata Siri’, dalam bahasa Makassar atau Bugis, bermakna “malu”.
Sedangkan Pacce (Bugis: Pesse) dapat berarti “tidak tega” atau “kasihan”
atau “iba”. Struktur Siri’ dalam Budaya Bugis atau Makassar mempunyai
empat kategori, yaitu (1) Siri’ Ripakasiri’, (2) Siri’
Mappakasiri’siri’, (3) Siri’ Tappela’ Siri (Bugis: Teddeng Siri’), dan
(4) Siri’ Mate Siri’.
Kemudian, guna melengkapi keempat struktur Siri’ tersebut maka Pacce atau Pesse menduduki satu tempat, sehingga membentuk suatu budaya (karakter) yang dikenal dengan sebutan Siri’ Na Pacce.
Budaya Siri’ Na Pacce merupakan salah satu falsafah budaya Masyarakat
Bugis-Makassar yang harus dijunjung tinggi. Apabila siri’ na pacce
tidak dimiliki seseorang, maka orang tersebut dapat melebihi tingkah
laku binatang, sebab tidak memiliki rasa malu, harga diri, dan
kepedulian sosial. Mereka juga hanya ingin menang sendiri dan
memperturutkan hawa nafsunya. Istilah siri’ na pacce sebagai sistem
nilai budaya sangat abstrak dan sulit untuk didefenisikan karena siri’
na pacce hanya bisa dirasakan oleh penganut budaya itu. Bagi masyarakat
Bugis-Makassar, siri’ mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa
anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia
untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya. Siri’ adalah
rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat
manusia, siri’ adalah sesuatu yang ‘tabu’ bagi masyarakat Bugis-Makassar
dalam berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan, pacce mengajarkan rasa
kesetiakawanan dan kepedulian sosial tanpa mementingkan diri sendiri
dan golongan ini adalah salah satu konsep yang membuat suku
Bugis-Makassar mampu bertahan dan disegani diperantauan, pacce merupakan
sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang
lain, kalau istilah dalam bahasa Indonesia “Ringan sama dijinjing berat
sama dipikul”
Layaknya sebuah tradisi, maka secara turun temurun konsep nilai ini
senantiasa akan menjadi pegangan serta pedoman dalam kehidupan
masyarakat Bugis Makassar. Bilamana pada suatu generasi penafsirannya
meleset, maka akan berdampak ke generasi berikutnya. Jika terjadi
disintegrasi terhadap penafsiran tentang nilai Siri’ ini, maka tentunya
akan berdampak kepada kelanjutan eksistensi falsafah kepada generasi
yang akan datang, inilah yang menjadi salah satu kekhawatiran banyak
pihak termasuk penulis sendiri, sehingga harus diluruskan agar
kedepannya nilai falsafah ini tetap bisa menjadi pedoman, pegangan serta
ciri khas masyarakat Bugis-Makassar.
Dasar falsafah hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan masyarakat
Bugis-Makassar untuk senantiasa hidup baik di negeri sendiri atau negeri
orang lain adalah menjadi manusia yang perkasa dalam menjalani
kehidupan. Setiap manusia keturunan Bugis-Makassar dituntut harus
memiliki keberanian, pantang menyerah menghadapi tantangan ataupun ujian
hidup. Itulah sebabnya maka setiap orang yang mengaku sebagai
masyarakat Bugis-Makassar memiliki orientasi yang mampu menghadapi
apapun.
Hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur masyarakat
Bugis-Makassar yang tersimpul dengan “duai temmallaiseng, tellui
temmasarang” (dua bagian yang tak terpisahkan dan tiga bagian yang tak
terceraikan).
Nilai siri’ dapat dipandang sebagai suatu konsep kultural yang
memberikan implikasi terhadap segenap tingkah laku yang nyata. Tingkah
laku itu dapat diamati sebagai pernyataan ataupun perwujudan kehidupan
masyarakat Bugis-Makassar.
Apabila kita mengamati pernyataan nilai siri’ ini atau lebih
konkritnya mengamati kejadian-kejadiannya berupa tindakan, perbuatan
atau tingkah laku yang katanya dimotivasi oleh siri’, maka akan timbul
kesan bahwa nilai siri’ itu pada bagian terbesar unsurnya dibangun oleh
perasaan sentimental atau sejenisnya. Kemudian penafsiran yang berpijak
kepada melihat kejadian-kejadian yang timbul akibat penafsiran siri’,
misalnya: malu-malu, aib, iri hati, kehormatan dan harga diri, dan
kesusilaan. Cara pandang seperti ini jelas merupakan sebuah cara pandang
yang kurang lengkap terutama apabila hendak mengamatinya dari sudut
konfigurasi kebudayaan. Sebab hal tersebut merupakan sebuah nilai yang
bukan hanya sebuah nilai kebudayaan akan tetapi juga merupakan sebuah
nilai/falsafah hidup manusia.
Ilustrasi.
Kemudian, hakikat kebenaran dari falsafah inilah yang mulai surut dalam setiap tingkah laku maupun tindakan kolektif masyarakat Bugis-Makassar. Sebagai seorang masyarakat Sulawesi Selatan, penulis melihat, disintegrasi semacam ini sudah lama terjadi. Bagaimana rasa malu yang tidak ditempatkan pada tempat semestinya, mendahulukan rasa amarah ketimbang sikap rasional dalam memahami suatu permasalahan. Jika berkaca pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah ini, mulai dari demonstrasi yang selalu berakhir dengan kerusuhan, sampai kepada perilaku bermasyarakat yang mulai berujung kepada konflik. Distintegrasi seperti inilah yang kemudian berpotensi melahirkan ketidakstabilan dalam kehidupan sosial bermasyarakat di masa yang akan datang.
Kemudian, hakikat kebenaran dari falsafah inilah yang mulai surut dalam setiap tingkah laku maupun tindakan kolektif masyarakat Bugis-Makassar. Sebagai seorang masyarakat Sulawesi Selatan, penulis melihat, disintegrasi semacam ini sudah lama terjadi. Bagaimana rasa malu yang tidak ditempatkan pada tempat semestinya, mendahulukan rasa amarah ketimbang sikap rasional dalam memahami suatu permasalahan. Jika berkaca pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah ini, mulai dari demonstrasi yang selalu berakhir dengan kerusuhan, sampai kepada perilaku bermasyarakat yang mulai berujung kepada konflik. Distintegrasi seperti inilah yang kemudian berpotensi melahirkan ketidakstabilan dalam kehidupan sosial bermasyarakat di masa yang akan datang.
Apabila kita ingin mendalami makna siri’ dengan segenap
permasalahannya, antara lain dapat diketahui dari lontara’ La Toa.
Dimana dalam lontara ini berisi pesan-pesan dan nasehat-nasehat yang
merupakn kumpulan petuah untuk dijadikan sebagai suri tauladan. Kata La
Toa sendiri sejatinya memiliki arti petuah-petuah, dimana juga memiliki
hubungan yang erat dengan peranan siri’ dalam pola hidup atau adat
istiadat masyarakat Bugis-Makassar. Misalnya dapat dilihat pada beberapa
point dalam lontara’ tersebut: Siri’ sebagai harga diri ataupun
kehormatan, Mapappakasiri’ artinya menodai kehormatannya, Ritaroang
Siri’ yang artinya ditegakkan kehormatannya, Passampo Siri’ yang artinya
penutup malu, Siri’ sebagai perwujudan sikap tegas demi sebuah
kehormatan hidup.
Kata siri’ dapat juga diartikan sebagai pernyataan sikap yang tidak
serakah dan sebuah prinsip hidup masyarakat Bugis-Makassar.
Ungkapan-ungkapan seperti : siri’ na ranreng (siri’ dipertaruhkan demi
kehormatan), palaloi siri’nu (tegakkan siri’mu), tau de’ siri’na (orang
tak memiliki malu tak memiliki harga diri) merupakan semboyan-semboyan
falsafah hidup masyarakat Bugis-Makassar.
Dari aspek ontologi (wujud) budaya siri’ na pacce mempunyai hubungan
yang sangat kuat dengan pandangan Islam dalam kerangka spiritualitas,
dimana kekuatan jiwa dapat teraktualkan melalui penaklukan jiwa atas
tubuh. Inti budaya siri’ na pacce mencakup seluruh aspek kehidupan
masyarakat Bugis-Makassar, karena siri’ na pacce merupakan jati diri
dari orang-orang Bugis-Makassar. Dengan adanya falsafah dan ideologi
siri’ na pacce maka keterikatan antar sesama dan kesetiakawanan menjadi
lebih kuat, baik dengan sesama suku maupun dengan suku yang lain. Konsep
siri’ na pacce bukan hanya dianut oleh kedua suku ini (Bugis dan
Makassar), tetapi juga dianut oleh suku-suku lain yang mendiami daratan
Sulawesi seperti, suku Mandar dan Tator, hanya kosakata dan
penyebutannya saja yang berbeda, tetapi falsafah ideologinya memilikii
kesamaan dalam berinteraksi dengan sesama.
Ungkapan sikap masyarakat Bugis-Makassar yang termanifestasikan lewat
kata-kata taro ada’ taro gau (satu kata satu perbuatan), merupakan
tekad atau cita-cita dan janji yang telah diucapkan pastilah dipenuhi
dan dibuktikan dalam perbuatan nyata. Hal tersebut juga sejalan dengan
prinsip-prinsip abattireng ripolipukku (asal usul leluhur senantiasa di
junjung tinggi, semuanya ku abadikan demi keagungan leluhurku).
Berdasarkan jenisnya siri’ terbagi yaitu:
Siri’ Nipakasiri’
Adalah Siri’ yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga
diri atau harkat dan martabat keluarga. Siri’ jenis ini adalah sesuatu
yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.
Sebagai contoh dalam hal ini adalah membawa lari seorang gadis (kawin
lari). Maka, pelaku kawin lari, baik laki-laki maupun perempuan, harus
dibunuh, terutama oleh pihak keluarga perempuan (gadis yang dibawa
lari)karena telah membuat malu keluarga.
Contoh lainnya adalah kasus kekerasan, seperti penganiayaan atau
pembunuhan dimana pihak atau keluarga korban yang merasa terlanggar
harga dirinya (Siri’na) wajib untuk menegakkannya kembali, kendati ia
harus membunuh atau terbunuh. Utang darah harus dibalas dengan darah,
utang nyawa harus dibalas dengan nyawa.
Dalam keyakinan orang Bugis/Makassar bahwa orang yang mati terbunuh
karena menegakkan Siri’, matinya adalah mati syahid, atau yang mereka
sebut sebagai Mate Risantangi atau Mate Rigollai, yang artinya bahwa
kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut santan atau gula. Dan,
itulah sejatinya Kesatria.
Tentang ini hal ini, oleh Hakim Pidana (orang-orang Belanda) di zaman
penjajahan dahulu tidak bisa mengerti mengapa orang Bugis/Makassar
begitu bangga dan secara kesatria mengakui di depan persidangan pidana
bahwa dia telah melakukan pembunuhan berencana, meski diketahuinya bahwa
ancaman pidananya sangat berat jika dibandingkan dengan pembunuhan
biasa (pembunuhan yang tidak direncanakan sebagaimana diatur dalam pasal
338 KUHP). Secara logika, memang orang lain tidak dapat mengerti hal
tersebut, kecuali bagi mereka yang telah paham akan makna Siri’ yang
sesungguhnya.
Agar dapat mengetahui tentang bagaimana penting menjaga Siri’ untuk
kategori Siri’ Ripakasiri’, simaklah falsafah berikut ini. Sirikaji
nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo siri’nu matemako
kaniakkangngami angga’na olo-oloka. Artinya, hanya karena Siri’. kita masih tetap hidup (eksis), kalau sudah malu tidak ada maka hidup
ini menjadi hina seperti layaknya binatang, bahkan lebih hina daripada
binatang.
Siri’ Mappakasiri’siri’
Siri’ Tappela’ Siri’ (Makassar) atau Siri’ Teddeng Siri’ (Bugis)
Artinya rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal. Misalnya, ketika seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk membayarnya maka si pihak yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang telah ditentukan, jika si berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah mempermalukan dirinya sendiri.
Artinya rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal. Misalnya, ketika seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk membayarnya maka si pihak yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang telah ditentukan, jika si berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah mempermalukan dirinya sendiri.
Orang Bugis atau orang Makassar yang masih memegang teguh nilai-nilai
Siri’, ketika berutang tidak perlu ditagih. Karena, tanpa ditagih dia
akan datang sendiri untuk membayarnya.
Hal yang terkait dengan Siri’ Mappakasiri’siri’ serta hubungannya
dengan etos kerja yang tinggi adalah cerita-cerita tentang keberhasilan
orang-orang Bugis dan Makassar di perantauan.
Dengan dimotori dan dimotivasi oleh semangat siri’ sebagaimana
ungkapan orang Makassar, “Takunjunga bangun turu’ naku gunciri’ gulingku
kualleangngangi tallanga na towaliya.” Artinya, begitu mata terbuka
(bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke mana kaki akan
melangkah, pasang tekad “Lebih baik tenggelam daripada balik haluan
(pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau, sekali layar
terkembang pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai pulau
harapan.
Selain itu, Siri’ Mappakasiri’siri’ juga dapat mencegah seseorang
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral,
agama, adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat
merugikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Salah satu falsafah Bugis dalam kehidupan bermasyarakat adalah “Mali’ siparampe, malilu sipakainga”, dan “Pada idi’ pada elo’ sipatuo sipatokkong” atau “Pada idi pada elo’ sipatuo sipatottong”. Artinya, ketika seseorang sanak keluarga atau kerabat tertimpa kesusahan atau musibah maka keluarga yang lain ikut membantu. Dan, kalau seseorang cenderung terjerumus ke dalam kubangan nista karena khilaf maka keluarga yang lain wajib untuk memperingatkan dan meluruskannya.
Siri’ Masiri’
Siri’ masiri’ yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk
mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan
dengan sungguh-sungguh dan sekuat tenaga dengan mengerahkan segala daya
upaya demi siri’ itu sendiri. Seperti sebuah penggalan syair sinrili’
“Takunjunga’ bangung turu’.. Nakugunciri’ gulingku.. Kuallengi Tallanga
Natoalia” yang berarti “Layarku telah kukembangkang.. kemudiku telah
kupasang.. aku memilih tenggelam dari pada melangkah surut”. Semboyan
tersebut melambangkan betapa masyarakat Bugis-Makassar memiliki tekad
dan keberanian yang tinggi dalam mengarungi kehidupan ini.
Siri’ Mate Siri’
Siri’ yang satu berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang
Bugis/Makassar, orang yang mate siri’-nya adalah orang yang di dalam
dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini
diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang biasa disebut
sebagai bangkai hidup yang hidup.
Betapa hina dan tercelanya orang seperti ini dalam kehidupan
masyarakat. Aroma busuk akan tercium di mana-mana. Tidak hanya di
lingkungan Istana, di Senayan, bahkan di tempat-tempat ibadah juga bau
busuk akan terasa menyengat. Korupsi, kolusi dan nepotisme, jual beli
putusan, mafia anggaran, mafia pajak serta mafia-mafia lainnya, akan
senantiasa mewarnai pemberitaan media setiap harinya. Nauzubillahi
min-dzalik.
Pacce (Makassar) (Bugis: Pesse)
Pacce atau Pesse adalah suatu tata nilai yang lahir dan dianut oleh
masyarakat Bugis/Makassar. Passe lahir dan dimotivasi oleh nilai budaya
Siri’ (malu). Contoh, apabila seorang anak durhaka kepada orangtuanya
(membuat malu keluarga) maka si anak yang telah membuat malu (siri’)
tersebut dibuang dan dicoret dalam daftar keluarga. Namun, jika suatu
saat, manakala orangtuanya mendengar, apalagi melihat anaknya menderita
dan hidup terlunta-lunta, si anak pun diambilnya kembali. Malu dan tidak
tega melihat anaknya menderita.
Punna tena siri’nu pa’niaki paccenu. Artinya meski anda marah karena
si anak telah membuat malu keluarga, lebih malulah jika melihat anakmu
menderita. Jika Anda tidak malu, bangkitkan rasa iba di hatimu
(Paccenu). Anak adalah amanah Allah, jangan engkau sia-siakan.
Pacce’ dalam pengertian harfiahnya berarti “ pedih “, dalam makna
kulturalnya pacce berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut
prihatin, berhasrat membantu, humanisme universal. Jadi, pacce’ adalah
perasaan (pernyataan) solidaritas yang terbit dari dalam kalbu yang
dpaat merangsang kepada suatu tindakan. Ini merupakan etos (sikap hidup)
orang Bugis-Makassar sebagai pernyataan moralnya. Pacce’ diarahkan
keluar dari dirinya, sedangkan siri’ diarahkan kedalam dirinya. Siri’
dan pacce’ inilah yang mengarahkan tingkah laku masyarakatnya dalam
pergaulan sehari-hari sebagai “ motor “ penggerak dalam memanifestasikan
pola-pola kebudayaan dan sistem sosialnya.
Beradasarkan nilai-nilai yang terkandung budaya siri’ na pacce terbagi atas 3 yaitu:
Nilai Filosofis.
Nilai Filosofis siri’ na pacce adalah gambaran dari pandangan hidup
orang-orang Bugis dan Makassar mengenai berbagai persoalan kehidupan
yang meliputi watak orang Bugis Makassar yang reaktif, militan, optimis,
konsisten, loyal, pemberani dan konstruktif.
Nilai Etis.
Pada nilai-nilai etis siri’ na pacce terdapat nilai-nilai yang
meliputi: teguh pendirian, setia, tahu diri, jujur, bijak, rendah hati,
sopan, cinta dan empati.
Nilai Estetis
Nilai estetis dari siri’ na pacce meliputi nilai estetis dalam non
insani yang terdiri atas benda alam tak bernyawa, benda alam nabati, dan
benda alam hewani, Kemudian, satu hal yang perlu diperhatikan disini
yakni manakala harga diri masyarakat Bugis-Makassar tersebut ternodai,
yang karenanya melahirkan aspek-aspek siri’, maka semestinya bagi yang
terkena siri’ tersebut untuk melakukan upaya penghapusan noda (siri’)
tersebut. Hal tersebut dapat berupa upaya musyawarah atau membicarakan
duduk persoalannya atau jika sudah melewati batas kemanusiaan dan
ketentuan yang ada, barulah dilakukan upaya dengan bentuk kekuatan (baik
secara hukum maupun perorangan), tergantung nilai siri’ yang timbul
dari permasalahan yang ada. Sehingga bagi pihak yang terkena siri’
kemudian bersikap bungkam tanpa ada upaya sama sekali, maka akan
dijuluki sebagai orang yang tak punya rasa malu (tau tena siri’na).
Dengan demikian, dapatlah dikatakan betapa besar pengaruh nilai-nilai
siri’ ini bagi sikap hidup masyarakat Bugis-Makassar dan masyarakat
Sulawesi Selatan secara umum. Sehingga nilai siri’ ini bagi masyarakat
Bugis-Makassar, sebagaimana yang telah diuraikan diatas adalah sebuah
falsafah hidup, dimana secara garis besar dapat ditarik sebuah benang
merah berdasarkan analisa-analisa diatas, bahwa sesungguhnya peranan
siri’ yang merupakan alam bawah sadar masyarakat Bugis-Makassar ini
merupakan nilai falsafah dan sikap yang menjadi perwujudan dari manusia
Bugis-Makassar.
Budaya siri’ na pacce adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh
bangsa ini, untuk menjadi sebuah bangsa yang besar. Untuk itu diperlukan
sosok-sosok muda yang memiliki jiwa dan karakter yang mapan karena
pemuda adalah calon pemimpin dan pemiliki bangsa ini. Mereka harus
memiliki siri’ na pacce dalam diri mereka, dengan adanya budaya siri’ na
pacce anak pemuda bangsa ini akan menjadi lebih peka terhadap segala
macam persoalan yang sedang melanda bangsa ini.
Nilai adalah hal yang sangat dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan
dan dalam konteks hukum, nilai ini merupakan sesuatu yang menjadi
landasan atau acuan dalam penegakan hukum, nilai ini hidup dalam suatu
masyarakat dan menjadi falsafah hidup dalam masyarakat tertentu.
Masyarkat Bugis mempunyai falsafah hidup yang sangat dijunjungnya yaitu
siri’ na pacce’.
Siri’ na pacce’ dalam masyarakat Bugis sangat dijunjung tinggi
sebagai falsafah dalam segala aspek kehidupan, dan hal ini juga berlaku
dalam aspek ketaatan masyakarat terhadap aturan tertentu (hukum), dengan
pemahaman terhadap nilai (siri’ na pacce’) ini sangat mempengaruhi
masyakarat dalam kehidupan hukumnya.
Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat
Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral . Siri’ na Pacce (
Bahasa Makassar ) atau Siri’ na Pesse’ ( Bahasa Bugis ) adalah dua kata
yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar dalam
mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu sakralnya kata itu, sehingga
apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau De’ni gaga Siri’na, maka tak
ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang
Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e (seperti binatang). Petuah Bugis berkata : Siri’mi Narituo (karena malu
kita hidup).
Seorang pemimpin yang memiliki budaya siri’ na pacce dalam dirinya
akan menjadi seorang pemimpin yang memiliki keberanian serta ketegasan,
namun tetap bijaksana dalam memimpin. Seorang pemimpin yang memegang
prinsip ini akan membawa bangsa ini menuju kearah yang lebih baik,
karena mereka memiliki rasa peka terhadap lingkungan, mampu mendengarkan
aspirasi-aspirasi orang-orang yang mereka pimpin karena itu sejalan
dengan konsep negara kita yaitu Demokrasi.
Sumber : disadur dari tulisan :
Abdi eL_Machete : “SIRI’ SEBAGAI SIKAP DAN FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT BUGIS MAKASSAR ” (akademia edu)
Muh. Abdi Goncing : “SIRI’ NA PACCE SEBAGAI FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT BUGIS-MAKASSAR Dalam Perspektif Filsafat Sejarah” (akademia edu).
Muh. Abdi Goncing : “SIRI’ NA PACCE SEBAGAI FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT BUGIS-MAKASSAR Dalam Perspektif Filsafat Sejarah” (akademia edu).
https://andihidayat1505.wordpress.com/2018/06/02/siri-na-pacce-dalam-nilai-dan-falsafah-hidup-orang-bugis-makassar/
Iklan
Komentar
Posting Komentar