Hallo agan-agan kali ini kita akan membahas sedikit sejarah tentang
ibukota Propinsi Sulawesi Selatan yaitu Makassar yang dulu saat masa
penjajahan Belanda bernama Jumpandang dan mengalami perubahan menjadi
Ujung Pandang.
Pada 9 November 2014 kemarin, Kota Makassar merayakan Ulang tahunnya
yang ke 407 tahun. Hmm, terbilang cukup tua juga yah. Akan tetapi
tahukah kita kalau nama Makassar sendiri itu lahir jauh sebelum Hari
jadi kota Makassar. Berikut ulasan mengenai sejarah asal muasal lahirnya
nama ‘MAKASSAR’, dimulai pada kisah hampir setengah abad yang lalu dan
semuanya dirangkum dari berbagai sumber.
Di kisahkan pada tahun 1500-an, Seorang Baginda Raja Tallo ke-VI
Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mallingkaang Daeng Mannyonri KaraEng
Katangka yang merangkap Tuma’bicara Butta ri Gowa (lahir tahun 1573),
bermimpi melihat cahaya bersinar yang muncul dari Tallo selama tiga hari
berturut-turut. Cahaya kemilau nan indah itu memancar ke seluruh Butta
Gowa hingga ke negeri tetangga lainnya. Hingga pada malam ketiga, tepatnya pada malam Jum’at tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H atau tanggal 22 September 1605 M, dibibir
pantai Tallo nampak sebuah perahu kecil sedang merapat. Layarnya terbuat
dari kain sorban dan berkibar kencang. Nampak sesosok lelaki
menambatkan perahunya lalu melakukan gerakan-gerakan aneh yang pada saat
ini dikenal sebagai gerakan Sholat. Cahaya yang terpancar dari tubuh
Ielaki itu menjadikan pemandangan yang menggemparkan penduduk Tallo,
yang sontak ramai membicarakannya hingga sampai ke telinga Baginda
KaraEng Katangka. Di pagi buta itu, Baginda Raja bergegas ke pantai.
Tapi tiba-tiba lelaki itu sudah muncul ‘menghadang’ di gerbang istana.
Berjubah putih dengan sorban berwarna hijau. Wajahnya teduh. Seluruh
tubuhnya memancarkan cahaya.

Karaeng I Mallingkaang Dg. Manyonri
Lelaki itu menjabat tangan Baginda Raja yang tengah kaku lantaran
takjub. Digenggamnya tangan itu lalu menulis kalimat di telapak tangan
Baginda.
“Perlihatkan tulisan ini pada lelaki yang sebentar lagi datang
merapat di pantai,” perintah lelaki itu lalu menghilang begitu saja.
Baginda terperanjat. la meraba-raba matanya untuk memastikan ia tidak sedang bermimpi. Dilihatnya tulisan ditelapak tangannya ternyata jelas adanya. Baginda KaraEng Katangka lalu bergegas ke pantai. Betul saja, seorang lelaki tampak tengah menambat perahu, dan menyambut kedatangan beliau. Singkat cerita, Baginda menceritakan pengalamannya tadi dan menunjukkan tulisan di telapak tangannya pada lelaki itu.
Baginda terperanjat. la meraba-raba matanya untuk memastikan ia tidak sedang bermimpi. Dilihatnya tulisan ditelapak tangannya ternyata jelas adanya. Baginda KaraEng Katangka lalu bergegas ke pantai. Betul saja, seorang lelaki tampak tengah menambat perahu, dan menyambut kedatangan beliau. Singkat cerita, Baginda menceritakan pengalamannya tadi dan menunjukkan tulisan di telapak tangannya pada lelaki itu.
“Berbahagialah Baginda. Tulisan ini adalah dua kalimat syahadat,” kata
lelaki itu. Adapun lelaki yang menuliskannya adalah Nabi Muhammad
Sallallahu Alaihi Wassallam sendiri. Baginda Nabi telah menampakkan diri
di Negeri Baginda.
Peristiwa ini dipercaya sebagai awal mula lahirnya nama “Makassar”,
yakni diambil dari nama “Akkasaraki Nabbiya”, artinya Nabi menampakkan
diri. Adapun lelaki yang mendarat di pantai Tallo itu adalah Abdul Ma’mur Khatib Tunggal yang dikenal sebagai Dato’ ri Bandang, berasal dari Kota Tengah (Minangkabau, Sumatera Barat). Baginda Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Manyonri KaraEng Katangka setelah memeluk Agama Islam kemudian bergelar Sultan Abdullah Awaluddin Awawul Islam KaraEng Tallo Tumenanga ri Agamana. Beliau adalah Raja pertama yang memeluk agama Islam di dataran Sulawesi Selatan.
Lebih jauh, penyusuran asal nama “Makassar” dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:
1. Makna.
Untuk menjadi manusia sempurna perlu “Ampakasaraki”, yaitu menjelmakan (menjasmanikan) apa yang terkandung dalam bathin itu diwujudkan dengan perbuatan. “Mangkasarak” mewujudkan dirinya sebagai manusia sempurna dengan ajaran TAO atau TAU (ilmu keyakinan bathin). Bukan seperti yang dipahami sebagian orang bahwa “Mangkasarak” orang kasar yang mudah tersinggung. Sebenarnya orang yang mudah tersinggung itu adalah orang yang halus perasaannya.
Untuk menjadi manusia sempurna perlu “Ampakasaraki”, yaitu menjelmakan (menjasmanikan) apa yang terkandung dalam bathin itu diwujudkan dengan perbuatan. “Mangkasarak” mewujudkan dirinya sebagai manusia sempurna dengan ajaran TAO atau TAU (ilmu keyakinan bathin). Bukan seperti yang dipahami sebagian orang bahwa “Mangkasarak” orang kasar yang mudah tersinggung. Sebenarnya orang yang mudah tersinggung itu adalah orang yang halus perasaannya.
2. Sejarah.
Sumber-sumber dari Portugis pada permulaan abad ke-16 sebenarnya telah mencatat nama “Makassar”. Pada Abad ke-16 “Makassar” sudah menjadi ibu kota Kerajaan Gowa. Dan pada Abad itu pula, Makassar sebagai ibu kota sudah dikenal oleh bangsa asing. Bahkan dalam syair ke-14 Nagarakertagama karangan Mpu Prapanca (1365) nama Makassar telah tercantum.
Sumber-sumber dari Portugis pada permulaan abad ke-16 sebenarnya telah mencatat nama “Makassar”. Pada Abad ke-16 “Makassar” sudah menjadi ibu kota Kerajaan Gowa. Dan pada Abad itu pula, Makassar sebagai ibu kota sudah dikenal oleh bangsa asing. Bahkan dalam syair ke-14 Nagarakertagama karangan Mpu Prapanca (1365) nama Makassar telah tercantum.

Beberapa literature dari Kitab Negarakartagama yang juga membahas tentang Makassar
3. Bahasa.
Dari segi Etimologi (Daeng Ngewa, 1972:1-2), Makassar berasal dari kata “Mangkasarak” yang terdiri atas dua morfem ikat “mang” dan morfem bebas “kasarak”. Morfem ikat “mang” mengandung arti: a). Memiliki sifat seperti yang terkandung dalam kata dasarnya. b). Menjadi atau menjelmakan diri seperti yang dinyatakan oleh kata dasarnya. Morfem bebas “kasarak” mengandung (arti: a). Terang, nyata, jelas, tegas. b). Nampak dari penjelasan. c). Besar (lawan kecil atau halus). Jadi, kata “Mangkasarak” Mengandung arti memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang (Jujur). Sebagai nama, orang yang memiliki sifat atau karakter “Mangkasarak” berarti orang tersebut besar (mulia), berterus terang (Jujur). Sebagaimana di bibir begitu pula di hati.
Dari segi Etimologi (Daeng Ngewa, 1972:1-2), Makassar berasal dari kata “Mangkasarak” yang terdiri atas dua morfem ikat “mang” dan morfem bebas “kasarak”. Morfem ikat “mang” mengandung arti: a). Memiliki sifat seperti yang terkandung dalam kata dasarnya. b). Menjadi atau menjelmakan diri seperti yang dinyatakan oleh kata dasarnya. Morfem bebas “kasarak” mengandung (arti: a). Terang, nyata, jelas, tegas. b). Nampak dari penjelasan. c). Besar (lawan kecil atau halus). Jadi, kata “Mangkasarak” Mengandung arti memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang (Jujur). Sebagai nama, orang yang memiliki sifat atau karakter “Mangkasarak” berarti orang tersebut besar (mulia), berterus terang (Jujur). Sebagaimana di bibir begitu pula di hati.
John A.F. Schut dalam buku “De Volken van Nederlandsch lndie” jilid I
yang membahas mengenai De Makassaren en Boegineezen, menyatakan:
“Angkuh bagaikan gunung-gunungnya, megah bagaikan alamnya, yang
sungaisungainya di daerah-daerah nan tinggi mengalir cepat, garang tak
tertundukkan, terutama pada musim hujan; air-air terjun tertumpah
mendidih, membusa, bergelora, kerap menyala hingga amarah yang tak
memandang apa-apa dan siapa-siapa. Tetapi sebagaimana juga sungai,
gunung nan garang berakhir tenang semakin ia mendekati pantai. Demikian
pulalah orang Bugis dan Makassar, dalam ketenangan dapat menerima apa
yang baik dan indah”.

Potret orang Bugis – Makassar zaman dulu, Bersahaja.
Dalam ungkapan “Akkana Mangkasarak”, maksudnya berkata terus terang, meski pahit, dengan penuh keberanian dan rasa tanggung jawab. Dengan kata “Mangkasarak” ini dapatlah dikenal bahwa kalau dia diperlakukan baik, ia lebih baik. Kalau diperlakukan dengan halus, dia lebih halus, dan kalau dia dihormati, maka dia akan lebih hormat.
Dalam ungkapan “Akkana Mangkasarak”, maksudnya berkata terus terang, meski pahit, dengan penuh keberanian dan rasa tanggung jawab. Dengan kata “Mangkasarak” ini dapatlah dikenal bahwa kalau dia diperlakukan baik, ia lebih baik. Kalau diperlakukan dengan halus, dia lebih halus, dan kalau dia dihormati, maka dia akan lebih hormat.
sumber: https://andihidayat1505.wordpress.com/2018/06/09/sejarah-singkat-asal-usul-kota-makassar/
Komentar
Posting Komentar