If Maulana Malik Ibrahim community in Java, then Sunan Ampel of Surabaya is recognized as the figure who cultivated and consolidated the influence of his predecessor. Tradition has it that Sunan Ampel was a kind of ‘older brother’, to whom the other walls went for guidance. Indeed, two members of the Wali Songo, Sunan Bonang and Sunan Drajat, were his own sons. It is said further that Sunan Ampel was the spiritual force behind the founding of Java’s first Islamic kingdom in Demak. As to the origins of Sunan Ampel, it is believed that his father Syekh Maulana Ibrahim Asmorokondi,who came from the Middle East or somewhere in Central Asia, married a princess of Campa, from where the young Raden Rachmad (Sunan Ampel) arrived in Java early in the 15th century. He died in A.D. 1479 and was buried at Ngampeldenta, Surabaya.
Di Rusia selatan ada sebuah daerah yang disebut Bukhara. Bukhara ini
terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah yang disebut Bukhara. Bukhara
ini terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah Samarqand dikenal
sebagai daerah Islam yang menelorkan ulama-ulama besar seperti sarjana
hadist terkenal yaitu Imam Bukhari yang mashur sebagai perawi hadits
sahih.
Di Samarqand ini ada seorang ulama besar bernama Syekh jamalluddin
Jumadil Kubra, seorang Ahlussunnah bermahzab Syafi’i, beliau mempunyai
seorang putra bernama Ibrahim. Karena berasal dari Samarqand maka
Ibrahim kemudian mendapat tambahan Samarqandi. Orang jawa sangat sukar
mengucapkan Samarqandi maka mereka hanya menyebutkan sebagai Syekh
Ibrahim Asmarakandi.
Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh
Jamalluddin Jumadil Kubra untuk berda’wah ke negara-negara Asia.
Perintah ini dilaksanakan, dan beliau kemudian diambil menantu oleh raja
Cempa, dijodohkan dengan putri raja Cempa yang bernama Dewi
Candrawulan. Negeri Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di
Muangthai. Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim
Asmarakandi mendapat dua orang putra yaitu Raden Rahmat atau Sayyid Ali
Rahmatullah dan raden Santri atau Sayyid Alim Murtolo.
Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati
diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian Raden Rahmat
itu keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putra bangsawan atau pangeran
kerajaan. Raja Majapahit sangat senang mendapat istri dari negeri Cempa
yang wajahnya tidak kalah menarik dengan Dewi Sari. Sehingga
istri-istri lainnya diceraikan, banyak yang diberikan kepada para
adipatinya yang tersebar di seluruh Nusantara.
Salah satu contoh adalah istri yang bernama Dewi Kian, seorang putri
Cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di Palembang. Ketika Dewi Kian di ceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu
sedang hamil tiga bulan. Ario Damar tidak diperkenankan menggauli putri
Cina itu sampai si jabang bayi terlahir ke dunia. Bayi dari rahim Dewi Kian itulah yang nantinya bernama Raden Hasan
atau lebih terkenal dengan nama Raden Patah, salah seorang murid Sunan
Ampel yang menjadi raja di Demak Bintoro.
Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal mahapatih Gajah Mada dan Prabu
Hayam Wuruk mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena
terjadinya perang saudara, dan para adipati banyak yang tak loyal lagi
kepada Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya Kertabhumi. Pajak dan
upeti kerajaan tak banyak yang sampai ke istana Majapahit. Lebih sering
dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat sang Prabu
bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum
bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta
mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu
diteruskan negara akan menjadi lemah dan jika negara sudah kehilangan
kekuatan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.
Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati
suaminya. Dengan memberanikan diri ia mengajukan pendapat kepada
suaminya.
“Kanda Prabu, agaknya para ponggawa dan rakyat Majapahit sudah tidak
takut lagi kepada Sang Hyang Widhi. Mereka tidak segan dan tidak merasa
malu melakukan tindakan yang tidak terpuji, pesta pora, foya-foya, mabuk
dan judi sudah menjadi kebiasaan mereka bahkan para pangeran dan kaum
bangsawan sudah mulai ikut-ikutan. Sungguh berbahaya bila hal ini
dibiarkan berlarut-larut. Negara bisa rusak karenanya.”
“Ya, hal itulah yang membuatku risau selama ini,” sahut Prabu Brawijaya.
“Lalu apa tindakan Kanda Prabu ?”
“Aku masih bingung,” kata sang Prabu. “Sudah kuusahakan menambah
bikhu dan brahmana untuk mendidik dan memperingatkan mereka tapi
kelakuan mereka masih tetap seperti semula, bahkan guru-guru agama Hindu
dan Budha itu dianggap sepele.”
“Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan budi pekerti,” kata ratu Dwarawati.
“Betulkah ?” tanya sang Prabu.
“Ya, namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra dari kanda Dewi
Candrawulan di Negeri Cempa. Bila kanda berkenan saya akan meminta
Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit
ini.”
“Tentu saja aku akan merasa senang bila Rama Prabu di Cempa bersedia
mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.” Kata Raja
Brawijaya.
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke
negeri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit.
Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh raja Cempa, dan
raja Cempa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan
pengalaman.
Keberangkatan Sayyid Ali Rahmat ke Tanah Jawa tidak sendirian. Ia
ditemani oleh ayah dan kakaknya. Sebagaimana disebutkan di atas, ayah
Sayyid Ali Rahmat adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya
bernama Sayyid Ali Murtadho.
Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat di
Tuban. Tetapi di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana
Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau dimakamkan
didesa tersebut yang masih termasuk ke camatan Palang kabupaten Tuban.
Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berda’wah
keliling ke daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Disana
beliau mendapat sambutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berda’wah di
Gresik mendapat sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di
Gresik. Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit
menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
“Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau
mendidik kaum bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti
mulia ?” tanya sang Prabu.
Dengan sikapnya yang sopan tutur kata halus Sayyid Ali Rahmatullah
menjawab. “Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha
sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka.”
“Bagus !” sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah
sebidang tanah berikut bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau akan
mendidik para bangsawan dan pangeran Majapahit agar berbudi pekerti
mulia.”
“Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu,” jawab Sayyid Ali Rahmatullah.
Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah
menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah
satu putri Majapahit yang bernama Dewi Candrawati. Dengan demikian
Sayyid Ali Rahmatullah adalah salah seorang Pangeran Majapahit, karena
dia adalah menantu raja Majapahit.
Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan
Sayyid Ali Rahmatullah ke sebuah daerah di Surabaya yang disebut sebagai
Ampeldenta.
Selama dalam perjalanan banyak hal-hal aneh di jumpai rombongan itu.
Diantaranya adalah pertemuan Sayyid Ali Rahmatullah dengan seorang gadis
bernama Siti Karimah yang kemudian menjadi isterinya. Dan sepanjang
perjalanan itu beliau juga melakukan da’wah sehingga bertambahlah
anggota rombongan yang mengikuti perjalanannya ke Ampeldenta.
Semenjak Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya maka
beliau adalah anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang
pangeran, para pangeran pada jaman dulu di tandai dengan nama depan
Raden. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat. Dan
karena beliau menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah
tersebut maka kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel.
Sunan artinya yang di junjung tinggi atau panutan masyarakat
setempat. Langkah pertama yang dilakukan Raden Rachmat di Ampeldenta
adalah membangun masjid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi sewaktu
hijrah ke Madinah. Selanjutnya beliau mendirikan pesantren tempat
mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa saja yang
mau datang berguru kapada beliau.
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Mo Limo atau tidak
mau melakukan lima hal tercela yaitu: main judi, minum arak atau
bermabuk-mabukkan, mencuri, madat atau menghisap madu dan madon atau
main perempuan yang bukan isterinya.
Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja
menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka
ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam
maka Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak
untuk memeluk agama Islam ia tidak mau.
Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya
bahkan diseluruh Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh
dipaksa, Raden Rahmatpun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan
dalam beragama.
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat
sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se
Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi
anggota Wali Songo, mereka adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Drajad, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah putra Sunan
Ampel sendiri.
Jasa beliau yang besar adalah pencetus dan perencana lahirnya
kerajaan Islam dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Patah, murid dan
menantunya sendiri. Beliau juga turut membantu mendirikan Masjid Agung
Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu diantara empat tiang
utama masjid Demak hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang
membuatnya yaitu Sunan Ampel.
Sikap Sunan Ampel terhadap adapt istiadat lama sangat hati-hati, hal
ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah
tersebut dalam permusyawaratan para Wali di masjid Agung Demak.
Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa
seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa
keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan
Ampel :
“Apakah tidak mengkwatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan
upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama
Islam ? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah ?”
Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel,
“Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama
yang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya
warna Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus
kearah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai missal, gamelan
dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera
masyarakat. Adapun tentang kekuatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya
mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang
menyempurnakannya.”
Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya
mengandung hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya
yaitu agar agama Islam cepat diterima oleh orang Jawa, dan ini terbukti,
dikarenakan dua Wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama
yang dapat ditolelir Islam maka penduduk Jawa banyak yang
berbondong-bondong masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau
menerima Islam lebih dahulu dan sedikit demi sedikit kemudian mereka
akan diberi pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman mereka.
Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus
disiarkan dengan murni dan konsekwen juga mengandung hikmah kebenaran
yang hakiki, sehingga membuat ummat semakin berhati-hati menjalankan
syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah.
Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawati atau Nyai Ageng Manila Sunan Ampel mendapat beberapa putra di antaranya :
1. Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.
2. Raden Qosim atau Sunan Drajad.
3. Maulana Akhmad atau Sunan Lamongan.
4. Siti Mutmainah
5. Siti Alwiyah
6. Siti Asikah yang diperistri Raden Patah.
1. Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.
2. Raden Qosim atau Sunan Drajad.
3. Maulana Akhmad atau Sunan Lamongan.
4. Siti Mutmainah
5. Siti Alwiyah
6. Siti Asikah yang diperistri Raden Patah.
Adapun dari perkawinannya dengan Nyai Karimah putri Ki Wiryosaroyo beliau dikaruniai dua orang putrid yaitu :
1. Dewi Murtasia yang diperistri Sunan Giri.
2. Dewi Mursimah yang diperistri Sunan Kalijaga.
1. Dewi Murtasia yang diperistri Sunan Giri.
2. Dewi Mursimah yang diperistri Sunan Kalijaga.
Kehebatan para Wali tersebut memang mengagumkan, sebagai bukti adalah
kesiapan mereka dalam menerima adanya perbedaan pendapat. Dalam hal
adat istiadat rakyat Jawa sudah jelas Sunan Ampel berbeda pendapat
dengan Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati. Tetapi mereka
tetap bisa hidup rukun damai tanpa terjadi percekcokan yang menjurus
pada pertikaian. Bahkan Sunan Kalijaga yang terkenal sebagai pelopor
penjaga aliran lama itu menjadi menantu Sunan Ampel.
Putra Sunan Ampel sendiri yaitu Sunan Bonang adalah pendukung
pendapat Sunan Kalijaga. Sunan Drajad atau Raden Qosim yang juga putra
Sunan Ampel pada akhirnya juga memanfaatkan gamelan sebagai media dakwah
yang ampuh untuk mendekati rakyat Jawa agar mau menerima Islam. Itulah
jiwa besar yang dimiliki para Wali. Saling menghargai medan perjuangan
masing-masing anggotanya.
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah
barat Masjid Ampel. Setiap hari banyak orang yang berziarah ke makam
beliau bahkan pada malam harinya juga.
Semoga Allah manaikkan beliau ke derajat yang tinggi, drajad para auliya muqorrobin dan meridhai segala amal beliau.
*****
kisah dan ajaran Wali Sanga – karya H.Lawrens Rasyidi – published by ronKramer
https://darisrajih.wordpress.com/2008/03/15/raden-rachmad-sunan-ampel
Komentar
Posting Komentar