Sunan Drajat, also known as Syarifuddin, or Raden Qosim, was the second son of Sunan Ampel and younger brother of Sunan Bonang. He received religious training from his father in Surabaya, following which he moved to the region of Paciran, settling in the village of Jelag. After about two years he had attracted quite a large following and in A.D. 1502 built a mosque, the official opening of which was attended by the other members of the Wali Songo. The village of Jelag, later to be known as Drajat, was eventually granted to the Sunan and his descendants as a token of respect by the Sultan of Demak. Sunan Drajat is best known for his social activity and charitable works, which he carried out in the Paciran area for almost forty years. He is said to have created the Gending Pangkur, a special melody for the traditional Javanese gamelan orchestra, with which he converted the local populace. Some fragments of these ancient instruments have been preserved and are now on display in a small museum next to the Sunan’s tomb.
1. ASAL USUL
Nama asli Sunan Drajad adalah Raden
Qosim, beliau putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan merupakan
adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang. Raden Qosim yang sudah
mewarisi ilmu dari ayahnya kemudian di perintah untuk berda’wah di
sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban
dan Gresik.
Raden mulai perjalanannya dengan naik perahu dari Gresik sesudah
singgah di tempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah barat itu perahu
beliau tiba-tiba di hantam oleh ombak yang besar sehingga menabrak
karang dan hancur. Hampir saja Raden Qosim kehilangan jiwa, tapi bila
Tuhan belum menentukan ajal seseorang bagaimanapun hebatnya kecelakaan
pasti dia akan selamat, demikian pula halnya dengan Raden Qosim. Secara
kebetulan seekor ikan besar yaitu ikan talang datang kepadanya. Dengan
menunggang punggung ikan tersebut Raden Qosim dapat selamat hingga ke
tepi pantai.
Raden Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau
juga berterima kasih kepada ikan talang yang dengan lantarannya dia
selamat. Untuk itu beliau telah berpesan kepada anak turunannya agar
jangan sampai makan daging ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan
mengakibatkan bencana, yaitu ditimpa penyakit yang tiada obatnya lagi.
Ikan talang itu membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang
termasuk wilayah desa jelag ( sekarang termasuk wilayah desa Banjarwati), kecamatan Paciran. Di tempat itu Raden Qosim disambut masyarakat
setempat dengan antusias, lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden
Qosim adalah putra Sunan Ampel seorang Wali besar dan masih terhitung
kerabat keraton Majapahit.
Di desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan pesantren. Karena caranya
menyiarkan agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang datang
berguru kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim
mendapat ilham supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 kilo
meter, disana beliau mendirikan surau langgar untuk berdakwah. Tiga
tahun kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar membangun
tempat berdakwah yang strategis yaitu ditempat ketinggian yang disebut
Dalem Duwur.
Di bukit yang disebut Dalem Duhur itulah yang sekarang dibangun
Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah barat
Museum tersebut.
Raden Qosim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan
Giri. Artinya, dalam berdakwah menyebarkan agama Islam, beliau menganut
jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus diamalkan dengan
lurus dan benar sesuai dengan ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur baur
dengan adat dan kepercayaan lama.
Meski demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat
dakwah. Di dalam museum yang terletak di sebelah timur makamya terdapat
seperangkat bekas gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi
penghargaan Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.
2. AJARAN SUNAN DRAJAD YANG TERKENAL
Diantara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut :
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kan luwe
Menehono busono marang wong kang mudo
Menehono ngiyub marang wong kang kudanan
Artinya kurang lebih demikian :
Berilah tongkat kepada orang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan.
Adapun maksudnya adalah sebagai berikut :
Berilah petunjuk kepada orang bodoh ( buta )
Sejahterakanlah kehidupan rakyat yang miskin ( kurang makan )
Ajarkanlah budi pekerti ( etika ) kepada orang yang tidak tahu malu
atau belum punya beradaban tinggi.
Berilah perlindungan kepada orang-orang yang menderita atau ditimpa bencana.
Ajarannya ini sangat supel, siapapun dapat mengamalkan sesuai dengan
tingkat dan kemampuan masing-masing. Bahkan pemeluk agama lainpun tidak
berkeberatan untuk mengamalkannya. Di samping terkenal sebagai seorang
Wali yang berjiwa dermawan dan social, beliau juga dikenal sebagai
anggota Wali Songo yang turut serta mendukung dinasti Demak dan ikut
pula mendirikan Masjid Demak. Simbol kebesaran ummat Islam pada waktu
itu. Di bidang kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir, beliau
juga pertama kali yang menciptakan Gending Pangkur.Hingga sekarang
gending tersebut masih disukai rakyat Jawa.
Sunan Drajad, demikian gelar Raden Qosim, diberikan kepadanya karena
beliau bertempat tinggal di sebuah bukit yang tinggi, seakan
melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat atau derajat
para ulama’ muqarrobin. Ulama yang dekat dengan Allah SWT.
Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran
Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun
Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di jaman Wali Sanga.
Khususnya peninggalan beliau di bidang kesenian.
******
kisah dan ajaran Wali Sanga – karya H.Lawrens Rasyidi – published by ronKramer
https://darisrajih.wordpress.com/2008/03/15/raden-qosim-sunan-drajat/#more-251
Komentar
Posting Komentar