Tersebutlah Asy-Syibli, seorang murid Imam Ali Zainal ‘Abidin.
Setelah selesai menunaikan ibadah haji, ia segera menemui Ali untuk
menyampaikan pengalaman hajinya. Terjadilah percakapan di antara mereka.
“Wahai Syibli, bukankah engkau telah selesai menunaikan ibadah haji?” tanya Ali. Ia menjawab, “Benar, wahai Guru.”
“Apakah engkau berhenti di Miqat, lalu menanggalkan semua pakaian yang terjahit, dan kemudian mandi?”
Asy-Syibli menjawab, “Benar.”
“Ketika berhenti di Miqat, apakah engkau bertekad untuk menanggalkan
semua pakaian maksiat dan menggantinya dengan pakaian taat? Ketika
menanggalkan semua pakaian terlarang itu, adakah engkau pun menanggalkan
sifat riya, nifaq, serta segala syubhat? Ketika mandi sebelum memulai
ihram, adakah engkau berniat membersihkan dari segala pelanggaran dan
dosa?”
Asy-Syibli menjawab, “Tidak.”
“Kalau begitu, engkau tidak berhenti di Miqat, tidak menanggalkan pakaian yang terjahit, dan tidak pula membersihkan diri!”
Ali bertanya kembali, “Ketika mandi dan berihram serta mengucapkan
niat, adakah engkau bertekad untuk membersihkan diri dengan cahaya
tobat? Ketika niat berihram, adakah engkau mengharamkan atas dirimu
semua yang diharamkan Allah? Ketika mulai mengikatkan diri dalam ibadah
haji, apakah engkau rela melepaskan semua ikatan selain Allah?”
“Tidak,” jawabnya.
“Kalau begitu, engkau tidak membersihkan diri, tidak berihram, tidak
pula mengikatkan diri dalam haji Bukankah engkau telah memasuki Miqat,
lalu shalat dua rakaat, dan setelah itu engkau mulai bertalbiyah?”
“Ya, benar.”
“Apakah ketika memasuki Miqat engkau meniatkannya sebagai ziarah
menuju keridhaan Allah? Ketika shalat dua rakaat, adakah engkau berniat
mendekatkan diri kepada Allah?”
“Tidak, wahai Guru.”
“Kalau begitu engkau tidak memasuki Miqat, tidak bertalbiyah dan tidak shalat ihram dua rakaat!,” tegas Ali Zainal ‘Abidin.
“Apakah engkau memasuki Masjidil Haram, memandang Ka’bah serta shalat di sana?”
“Benar.”
“Ketika memasuki Masjidil Haram, apakah engkau berniat mengharamkan
dirimu segala macam ghibah? Ketika sampai di Mekkah, apakah engkau
bertekad untuk menjadikan Allah satu-satunya tujuan?”
“Tidak,” jawabnya.
“Sesungguhnya, engkau belum memasuki Masjidil Haram, tidak memandang Ka’bah, serta tidak shalat pula di sana!”
Ali bertanya kembali, “Apakah engkau telah berthawaf dan berniat untuk berjalan serta berlari menuju keridhaan Allah?
“Tidak.”
“Kalau begitu, engkau tidak berthawaf dan tidak pula menyentuh rukun-rukunnya!”
Tanpa bosan Ali kembali bertanya, “Apakah engkau berjabat tangan dengan Hajar Aswad dan shalat di Maqam Ibrahim?”
Dijawabnya, “Benar.”
Mendengar jawaban itu, Ali Zainal ‘Abidin menangis, seraya berucap,
“Oooh, barangsiapa berjabat tangan dengan Hajar Aswad, seakan ia
berjabat tangan dengan Allah. Maka ingatlah, janganlah sekali-kali
engkau menghancurkan kemuliaan yang telah diraih, serta membatalkan
kehormatanmu dengan aneka dosa!”
Cucu Rasulullah SAW ini terus mencecar muridnya. “Saat berdiri di
Maqam Ibrahim, apakah engkau bertekad untuk tetap berada di jalan taat
serta menjauhkan diri dari maksiat? Ketika shalat dua rakat di sana,
apakah engkau bertekad untuk mengikuti jejak Ibrahim serta menentang
semua bisikan setan?”
“Tidak.”
“Kalau begitu, engkau tidak berjabat tangan dengan Hajar Aswad, tidak berdiri di Maqam Ibrahim, tidak pula shalat dua rakaat!”
Lanjutnya, “Apakah ketika melakukan Sa’i, antara Shafa dan Marwah,
engkau menempatkan diri di antara harapan akan rahmat Allah dan rasa
takut menghadapi murkaNya?”
“Tidak,” jawab Asy-Syibli.
“Kalau begitu, engkau tidak melakukan perjalanan antara dua bukit
itu! Ketika pergi ke Mina, apakah engkau bertekad agar orang-orang
merasa aman dari gangguan lidah, hati, serta tanganmu?”
“Tidak.”
Ali menggelengkan kepala, “Kalau begitu, engkau belum ke Mina! Apakah
engkau telah Wukuf di Arafah, mendaki Jabal Rahmah, mengunjungi Wadi
Namirah, serta memanjatkan do’a-do’a di bukit Shakharaat?”
“Benar, seperti itu.”
“Ketika Wukuf di Arafah, apakah engkau menghayati kebesaran Allah,
serta berniat mendalami ilmu yang dapat mengantarkanmu kepadaNya? Apakah
ketika itu engkau merasakan kedekatan yang demikian dekat denganmu?
Ketika mendaki Jabal Rahmah, apakah engkau mendambakan Rahmat Allah bagi
setiap Mukmin? Ketika berada di Wadi Namirah, apakah engkau
berketetapan hati untuk tidak meng-amar-kan yang ma’ruf, sebelum engkau
meng-amar-kannya pada dirimu sendiri? Serta tidak melarang seseorang
melakukan sesuatu sebelum engkau melarang diri sendiri? Ketika berada di
antara bukit-bukit sana, apakah engkau sadar bahwa tempat itu akan
menjadi saksi segala perbuatanmu?”
“Tidak.”
“Kalau begitu, engkau tidak wukuf di Arafah, tidak mendaki Jabal
Rahmah, tidak mengenal Wadi Namirah, tidak pula berdo’a di sana! Apakah
engkau telah melewati kedua bukit Al-‘Alamain, melakukan shalat dua
rakaat sebelumnya, lalu meneruskan perjalanan ke Muzdalifah untuk
memungut batu-batu di sana, lalu melewati Masy’aral Haram?”
“Ya, benar.”
“Ketika shalat dua rakaat, apakah engkau meniatkannya sebagai shalat
syukur, pada malam menjelang sepuluh Dzulhijjah, dengan mengharap
tersingkirnya segala kesulitan serta datangnya segala kemudahan? Ketika
lewat di antara bukit itu dengan sikap lurus tanpa menoleh kanan kiri,
apakah saat itu engkau bertekad untuk tidak bergeser dari Islam; tidak
dengan hatimu, lidahmu, dan semua gerak gerikmu? Ketika berangkat ke
Muzdalifah, apakah engkau berniat membuang jauh segala maksiat serta
bertekad untuk beramal yang diridhaiNya? Ketika melewati Masy’aral
Haram, apakah engkau mengisyaratkan untuk bersyiar seperti orang-orang
takwa kepada Allah?”
“Tidak.”
“Wahai Syibli, sesungguhnya engkau tidak melakukan itu semua!”
Ali Zainal ‘Abidin melanjutkan, “Ketika engkau sampai di Mina, apakah
engkau yakin telah sampai di tujuan dan Tuhanmu telah memenuhi semua
hajatmu? Ketika melempar Jumrah, apakah engkau meniatkan untuk melempar
dan memerangi iblis, musuh besarmu? Ketika mencukur rambut (tahallul),
apakah engkau bertekad untuk mencukur segala kenistaan? Ketika shalat di
Masjid Khaif, apakah engkau bertekad untuk tidak takut, kecuali kepada
Allah dan tidak mengharap rahmat kecuali dariNya semata? Ketika memotong
hewan kurban, apakah engkau bertekad untuk memotong urat ketamakan;
serta mengikuti teladan Ibrahim yang rela mengorbankan apapun demi
Allah? Ketika kembali ke Mekkah dan melakukan Thawaf Ifadhah, apakah
engkau meniatkannya untuk berifadhah dari pusat rahmat Allah, kembali
dan berserah kepadaNya?”
Dengan gemetar, Asy-Syibli menjawab, “Tidak, wahai Guru.”
“Sungguh, engkau tidak mencapai Mina, tidak melempar Jumrah, tidak
bertahallul, tidak menyembelih kurban, tidak manasik, tidak shalat di
Masjid Khaif, tidak Thawaf Ifadhah, tidak pula mendekat kepada Allah!
Kembalilah, kembalilah! Sesungguhnya engkau belum menunaikan hajimu!”
Asy-Syibli menangis tersedu, menyesali ibadah haji yang telah
dilakukannya. Sejak itu, ia giat memperdalam ilmunya, sehingga tahun
berikutnya ia kembali berhaji dengan ma’rifat serta keyakinan penuh.
sumber: https://darisrajih.wordpress.com/2008/03/10/perjalanan-marifatullah
Komentar
Posting Komentar