Syekh Yusuf berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku
bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten,
Gowa, dan Bone. Syekh Yusuf sendiri dapat mengajarkan beberapa tarekat
sesuai dengan ijazahnya. Seperti tarekat Naqsyabandiyah, Syattariyah,
Ba`alawiyah, dan Qadiriyah. Namun dalam pengajarannya, Syekh Yusuf tidak
pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fansuri yang
mengembangkan ajaran wujudiyah dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri dalam
abad ke-17 itu.
Nama lengkapnya Tuanta Salamka ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin
Al-Yaj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer
dengan sebutan Syekh Yusuf. Sejak tahun 1995 namanya tercantum dalam
deretan pahlawan nasional, berdasar ketetapan pemerintah RI.
Kendati putra Nusantara, namanya justru berkibar di Afrika Selatan.
Ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di negara di benua Afrika
itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika
Selatan, bahkan menjadi semacam acara kenegaraan. Bahkan, Nelson
Mandela yang saat itu masih menjabat presiden Afsel, menjulukinya
sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.
Syekh Yusuf lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, tanggal 03 Juli 1626
dengan nama Muhammad Yusuf. Nama itu merupakan pemberian Sultan
Alauddin, raja Gowa, yang merupakan karib keluarga Gallarang
Monconglo’E, keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf
berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi
anak angkat raja.
Syekh Yusuf sejak kecil diajar serta dididik secara Islam. Ia diajar
mengaji Alquran oleh guru bernama Daeng ri Tasammang sampai tamat. Di
usianya ke-15, Syekh Yusuf mencari ilmu di tempat lain, mengunjungi
ulama terkenal di Cikoang yang bernama Syekh Jalaluddin al-Aidit, yang
mendirikan pengajian pada tahun 1640.
Syekh Yusuf meninggalkan negerinya, Gowa, menuju pusat Islam di Mekah
pada tanggal 22 September 1644 dalam usia 18 tahun. Ia sempat singgah
di Banten dan sempat belajar pada seorang guru di Banten. Di sana ia
bersahabat dengan putra mahkota Kerajaan Banten, Pengeran Surya. Saat ia
mengenal ulama masyhur di Aceh, Syekh Nuruddin ar Raniri, melalui
karangan-karangannya, pergilah ia ke Aceh dan menemuinya.
Setelah menerima ijazah tarekat Qadiriyah dari Syekh Nuruddin, Syekh
Yusuf berusaha ke Timur Tengah. Beliau ke Arab Saudi melalui Srilanka.
Di Arab Saudi, mula-mula Syekh Yusuf mengunjungi negeri Yaman,
berguru pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh
al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi. Ia dianugerahi ijazah
tarekat Naqsyabandi dari gurunya ini.
Perjalanan Syekh Yusuf dilanjutkan ke Zubaid, masih di negeri Yaman,
menemui Syekh Maulana Sayed Ali Al-Zahli.. Dari gurunya ini Syekh Yusuf
mendapatkan ijazah tarekat Assa’adah Al-Baalawiyah. Setelah tiba musim
haji, beliau ke Mekah menunaikan ibadah haji.
Dilanjutkan ke Madinah, berguru pada syekh terkenal masa itu yaitu
Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin Al-Kurdi Al-Kaurani. Dari Syekh ini
diterimanya ijazah tarekat Syattariyah. Belum juga puas dengan ilmu yang
didapat, Syekh Yusuf pergi ke negeri Syam (Damaskus) menemui Syekh Abu
Al Barakat Ayyub Al-Khalwati Al-Qurasyi. Gurunya ini memberikan ijazah
tarekat Khalwatiyah & Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati
Hadiatullah setelah dilihat kemajuan amal syariat dan amal Hakikat yang
dialami oleh Syekh Yusuf.
Melihat jenis-jenis alirannya, diperoleh kesan bahwa Syekh Yusuf
memiliki pengetahuan yang tinggi, meluas, dan mendalam. Mungkin bobot
ilmu seperti itu, disebut dalam lontara versi Gowa berupa ungkapan
(dalam bahasa Makassar): tamparang tenaya sandakanna (langit yang tak
dapat diduga), langik tenaya birinna (langit yang tak berpinggir), dan
kappalak tenaya gulinna (kapal yang tak berkemudi).
Cara-cara hidup utama yang ditekankan oleh Syekh Yusuf dalam
pengajarannya kepada murid-muridnya ialah kesucian batin dari segala
perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Dorongan berbuat maksiat
dipengaruhi oleh kecenderungan mengikuti keinginan hawa nafsu
semata-mata, yaitu keinginan memperoleh kemewahan dan kenikmatan dunia.
Hawa nafsu itulah yang menjadi sebab utama dari segala perilaku yang
buruk. Tahap pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid (salik)
adalah mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan
kemewahan duniawi.
Ajaran Syekh Yusuf mengenai proses awal penyucian batin menempuh
cara-cara moderat. Kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan
hawa nafsu harus dimatikan sama sekali. Melainkan hidup ini harus
dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai
melalui tata tertib hidup, disiplin diri dan penguasaan diri atas dasar
orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia.
Hidup, dalam pandangan Syekh Yusuf, bukan hanya untuk menciptakan
keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Namun, kehidupan ini harus
dikandungi cita-cita dan tujuan hidup menuju pencapaian anugerah Tuhan.
Dengan demikian Syekh Yusuf mengajarkan kepada muridnya untuk
menemukan kebebasan dalam menempatkan Allah Yang Mahaesa sebagai pusat
orientasi dan inti dari cita, karena hal ini akan memberi tujuan hidup
itu sendiri.
Terlibat pergerakan naasional
Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, ia pulang ke kampung halamannya, Gowa. Tapi ia sangat kecewa karena saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Di bawah Belanda, maksiat merajalela. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, ia kembali merantau. Tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.
Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, ia pulang ke kampung halamannya, Gowa. Tapi ia sangat kecewa karena saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Di bawah Belanda, maksiat merajalela. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, ia kembali merantau. Tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.
Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama.
Bahkan ia kemudian dinikahkan dengan anak Sultan, Siti Syarifah. Syekh
Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama.
Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400
orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula
Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf
kepada umat Islam Nusantara.
Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih
melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus
perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji
beserta Kompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng
dengan memimpin sebuah pasukan Makassar.Namun karena kekuatan yang tak
sebanding, tahun 1682 Banten menyerah.
Maka mualilah babak baru kehidupan Syekh Yusuf; hidup dalam
pembuangan. Ia mula-mula ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta), tapi
karena pengaruhnya masih membahayakan pemerintah Kolonial, ia dan
keluarga diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684.
Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini ia memulai
perjuangan baru, menyebarkan agama Islam. Dalam waktu singkat
murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, kebanyakan berasal dari India
Selatan. Ia juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai
negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi’an, ulama besar
yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk
menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.
Ia juga bisa leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan murid-muridnya
di negeri ini. Kabar dari dan untuk keluarganya ini disampaikan melalui
jamaah haji yang dalam perjalan pulang atau pergi ke Tanah Suci selalu
singgah ke Srilanka. Ajaran-ajarannya juga disampaikan kepada
murid-muridnya melalui jalur ini.
Hal itu merisaukan Belanda. Mereka menganggap Syekh Yusuf tetap
merupakan ancaman, sebab dia bisa dengan mudah mempengaruhi pengikutnya
untuk tetap memberontak kepada Belanda. Lalu dibuatlah skenario baru;
lokasi pembuangannya diperjauh, ke Afrika Selatan.
Menekuni jalan dakwah Bulan Juli 1693 adalah
kali pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya menginjakkan kaki di
Afrika selatan. Mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De
Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet dekat pantai (tempat ini
kemudian disebut Madagaskar).
Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam
di Afrika Selatan tengah berkembang. Salah satu pelopor penyebaran
Islam di Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan
julukan Tuan Guru (mister teacher).
Tuan Guru lahir di Tidore. Tahun 1780, ia dibuang ke Afrika Selatan
karena aktivitasnya menentang penjajah Belanda. Selama 13 tahun ia
mendekam sebagai tahanan di Pulau Robben, sebelum akhirnya dipindah ke
Cape Town. Kendati hidup sebagai tahanan, aktivitas dakwah pimpinan
perlawanan rakyat di Indonesia Timur ini tak pernah surut.
Jalan yang sama ditempuh Syekh Yusuf. Dalam waktu singkat ia telah
mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak
banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab dia tidak bisa lagibertemu
dengan jamaah haji dari Nusantara. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67
tahun.
Ia tinggal di Tanjung Harapan sampai wafat tanggal 23 Mei 1699 dalam
usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya
dijadikan bangunan peringatan. Sultan Banten dan Raja Gowa meminta
kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak
diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil,
Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya
tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di Lakiung keesokan harinya.
Syekh Yusuf di Sri Lanka
Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam,
sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India
Selatan. Salah satu ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi’an, termasuk
mereka yang berguru pada Syekh Yusuf.
Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih
dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga
akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh,
Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.
Syekh Yusuf di Afrika Selatan
Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap berdakwah, dan memiliki banyak
pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya
menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson
Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai ‘Salah
Seorang Putra Afrika Terbaik’.
Sebagai seorang ulama syariat, sufi dan khalifah tarikat dan seorang
musuh besar Kompeni Belanda, Syekh Yusuf dianggap sebagai `duri dalam
daging` oleh pemerintah Kompeni di Hindia Timur. Ia diasingkan ke
Srilanka, kemudian dipindahkan ke Afrika Selatan, dan wafat di
pengasingan Cape Town (Afrika Selatan) pada tahun 1699. Pada zamannya
(abad ke-17), ia dikenal pada empat tempat, yaitu Banten dan Sulawesi
Selatan (Indonesia), Srilanka, dan Afrika Selatan yang berjuang
mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan
perbedaan kulit.
Murid-murid Syekh Yusuf yang menganut tarekat Khalwatiyah terdapat di
Banten, Srilanka, Cape Town, dan beberapa negara di sekitarnya.
Mayoritas orang-orang Makassar dan Bugis di Sulawesi Selatan masih
mengamalkan ajarannya sampai sekarang ini.
sumber: https://darisrajih.wordpress.com/2008/03/10/syekh-yusuf-al-makassari-al-bantani/
Komentar
Posting Komentar