Riwayat Syeikh Yusuf Al-Maqassari


Syeikh Yusuf lahir tahun 1626 di Goa, Sulawesi Selatan. Ayahnya, Abdullah, bukan bangsawan, tetapi ibunya, Aminah, keluarga Sultan Ala al-Din. Dia dididik menurut tradisi Islam, diajari bahasa Arab, fikih, tauhid. Pada usia 15 tahun dia belajar di Cikoang pada seorang sufi, ahli tasawuf, mistik, guru agama, dan dai yang berkelana. Saya tahu dari sejarawan Belanda, Van Leur, betapa agama Islam dibawa ke Indonesia pada mulanya oleh pedagang-pedagang Islam yang sekaligus adalah sufi. Kembali dari Cikoang Syeikh Yusuf menikah dengan seorang putri Sultan Goa, lalu pada usia 18 tahun dia naik haji ke Mekkah sekalian memperdalam studi tentang Islam. 

Di Makassar dia naik sebuah kapal Melayu dan berlayar menuju Banten yang merupakan pusat Islam penting di Nusantara. Di sana dia bersahabat dengan putra mahkota yang kelak memerintah sebagai Sultan Ageng Tirtayasa (1651-83), penguasa agung terakhir dari Kesultanan Banten, juga kerajaan terakhir dari Nusantara yang dengan kapal-kapalnya melaksanakan perdagangan jarak jauh. 

Mengikuti rute perdagangan antar-Nusantara zaman itu Syeikh Yusuf melanjutkan perjalanan ke Aceh, lalu ke Gujarat, India, tempat dia bertemu dengan Sufi Nuruddin Ar-Raniri, penasihat sultan perempuan Safyatuddin dari Aceh, kemudian ke Yaman, akhirnya ke Mekkah dan Madinah, bahkan sampai ke Damascus (Suriah) dan Istanbul (Turki) yang disebut dalam tambo-tambo Melayu sebagai “Negeri Rum”. Bila dipikir sangat lamanya waktu perjalanan dengan kapal layar atau dengan kafilah unta zaman itu, maka sungguh mengagumkan kekuatan fisik dan mental Syeikh Yusuf untuk berkelana sambil belajar tasawuf bertahun-tahun dalam tradisi seorang sufi. Sungguh menyenangkan di Mekkah dia memperoleh ijazah dari tarekat (mystical order) Khalwatiyyah, diakui sebagai ilmuwan Islam yang berwibawa, dipandang sebagai guru agama oleh orang-orang Melayu-Indonesia yang datang naik haji ke tanah Haramyn. Dia menikah dengan putri Imam Shafi’i di Mekkah yang meninggal dunia waktu melahirkan bayi. Sebelum pulang ke Indonesia, dia kawin lagi dengan seorang perempuan asal Sulawesi di Jeddah. 

SYEIKH Yusuf tidak kembali ke Goa di mana agama sudah dilecehkan, orang berjudi, mengadu ayam, meminum arak, menghidupkan lagi animisme tanpa ditindak secara tuntas oleh Sultan. Alih-alih dia menetap di Banten dan menjadi penasihat agama utama Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan ini sangat anti-VOC Belanda. Ia berselisih dengan putranya yang dikenal sebagai Sultan Haji. Timbul perang saudara, Sultan Haji minta bantuan VOC yang mengirim tentara Kompeni untuk menangkap Sultan Ageng dan menyekapnya di Batavia di mana dia meninggal tahun 1692. 

Syeikh Yusuf dengan 4.000 tentara Bugis memihak Sultan Ageng, turut bergerilya dengannya, juga ditangkap oleh Belanda. Pada bulan September 1682, Syeikh Yusuf bersama dua istrinya, beberapa anak, 12 murid, dan sejumlah perempuan pembantu dibuang ke Ceylon, kini Sri Lanka. Di Sri Lanka dia menulis karya-karya keagamaan dalam bahasa Arab, Melayu, dan Bugis. Dia aktif menyusun sebuah jaringan Islam yang luas di kalangan para haji yang singgah di Sri Lanka, di kalangan para penguasa, dan raja-raja di Nusantara. Haji-haji itu membawa karya-karya Syeikh Yusuf ke Indonesia, dan karena itu bisa dibaca di negeri kita sampai sekarang. 

Mengingat aktivitas Syeikh Yusuf tadi, VOC Belanda khawatir dampaknya dalam bidang agama dan politik di Nusantara. Keadaan bisa bergolak terus. VOC lalu mengambil keputusan memindahkan Syeikh Yusuf ke Kaapstad di Afrika Selatan. Dalam usia 68 tahun, Syeikh Yusuf beserta rombongan pengikutnya terdiri dari 49 orang tiba di Tanjung Harapan tanggal 2 April 1694 dengan menumpang kapal Voetboog. Di tengah perjalanan badai besar menghantam sehingga membuat nakhoda Belanda, Van Beuren, ketakutan kapalnya akan tenggelam, tapi berkat wibawa dan karisma Syeikh Yusuf dia bisa tenang dan selamat sampai di Kaapstad. Akibat pengalaman tersebut, sang kapten memeluk agama Islam dan sampai sekarang keturunannya yang semua Muslim masih ada di Afrika Selatan. 

Syeikh Yusuf ditempatkan di Zandvliet, desa pertanian di muara Eerste Rivier, dengan tujuan supaya tidak bisa berhubungan dengan orang-orang Indonesia yang telah datang lebih dahulu. Lokasi itu di Cape Town sekarang dikenal sebagai Macassar. Bersama ke-12 pengikutnya, yang dinamakan imam-imam, Syeikh Yusuf memusatkan kegiatan pada menyebarkan agama Islam di kalangan budak belian dan orang buangan politik, juga di kalangan orang-orang Afrika hitam yang telah dibebaskan dan disebut Vryezwarten. 

MENYAMPAIKAN syiar Islam, memelihara dan mempertahankan agama Islam di kalangan golongan Muslim merupakan perhatian dan aktivitas Syeikh Yusuf di Afrika Selatan. Sebagai sufi, dia mengajarkan tarekat Qadiniyyah, Shattariyyah, dan Rifaiyyah di kalangan Muslim Afrika Selatan. Dia meninggal dunia tanggal 22 Mei 1699 dan dimakamkan di Faure, Cape Town. Makamnya terkenal sebagai Karamah yang berarti ‘keajaiban, mukjizat’. Sultan Gowa meminta kepada VOC supaya jenazah Syeikh Yusuf dibawa ke Tanah Airnya. Dia tiba di Goa 5 April 1705 dan dimakamkan kembali di Lakiung. Seperti makamnya di Faure, makamnya di Makkasar juga banyak diziarahi orang. Fakta bahwa Syeikh Yusuf memiliki dua makam menimbulkan spekulasi. Sejarawan De Haan percaya Belanda mengirimkan kerangka Syeikh Yusuf ke Makassar dan karena itu makamnya di Faure telah kosong. Di pihak lain, tulis Prof Azyumardi Azra dalam makalahnya, orang-orang Muslim di Cape percaya hanyalah sisa sebuah jari tunggal dari Syeikh Yusuf yang dibawa kembali. Spekulasi ini mungkin ada benarnya mengingat sebuah legenda di Goa mengenai jenazah Syeikh Yusuf yang dimakamkan kembali. Menurut legenda, pada mulanya hanya sejemput abu yang mungkin sisa-sisa jarinya yang dibawa dari Afrika Selatan. Tapi abu itu bertambah terus sampai mengambil bentuk seluruh badan penuh Syeikh Yusuf tatkala tiba di Goa. Dr Nabilah Lubis berkata kepada saya, soalnya adalah apakah yang tiba di Goa, kerangka atau keranda? 

Syeikh Yusuf adalah seorang sufi. Pada awal tahun 1960-an ketika membaca soal mistik di Jawa dalam disertasi Dr Schmidt yang diajukan di Universitas Geneva saya mendapat keterangan tasawuf mana yang tidak diterima oleh Islam. Yaitu yang mengandung panteisme, yang menganggap diri sendiri adalah Tuhan, ana’l Haq, itu ditolak. Azyumardi Azra menulis Syeikh Yusuf menolak konsep wahdah al-wujud. Dalam analisis terakhir: man is man and God is God. Karena HAMKA menulis buku Tasawuf Indonesia saya bertanya kepadanya apakah dia sufi, dan pada awal tahun 1960-an Buya menjawab dalam bahasa Minang: Ha indak, ambo ma ngaji-ngaji sajo. HAMKA menyangkal dirinya seorang sufi. 

Memang susah menjelaskan tentang sufi apabila orang tidak menjalankannya dengan bergabung dalam sebuah tarikat yang dipimpin oleh syeikh. Sebagai orang awam, tentu terlebih-lebih saya tidak punya bakat dan persediaan untuk memahami sufi dan ajarannya. Kalangan yang mengetahui berkata sufi-ism adalah sama dengan akhlak yang baik. 

Siapa yang berusaha hidup dengan akhlak baik, tidak mengundurkan diri dari masyarakat ramai, tetap aktif dalam urusan dunia, mengindahkan sepenuhnya suruhan dan larangan Tuhan, dia itu sesungguhnya mirip sufi. Bagaimanapun juga, Syeikh Yusuf al-Makassari, Pahlawan Nasional, adalah seorang sufi.

Image result for makassar tempo doeloe

sumber: https://darisrajih.wordpress.com/2008/03/30/riwayat-syeikh-yusuf-al-maqassari

Komentar