00:00
00:00
93.
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan
terhadap Allah atau yang berkata: “Telah diwahyukan kepada saya”,
padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang
berkata: “Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.”
Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang
zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul
dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu”
Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena
kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan
(karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya. (Al An
Aam 93)
Oleh Mas Wid
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim …
Sakratul
maut merupakan sebuah peristiwa luar biasa berat yang dihadapi oleh
setiap manusia. Biasanya, keadaan sakratul maut yang dihadapi oleh
seseorang ditentukan oleh amal perbuatannya selama hidup di dunia.
Bagi
orang-orang yang hidupnya penuh dengan maksiat, dapat dipastikan orang
tersebut akan menghadapi sakratul maut dengan berat dan menyakitkan.
Tetapi, bagi orang yang selama hidupnya taat beribadah kepada Allah swt,
insya Allah sakaratul maut yang dihadapinya lebih ringan.
Cerita
ini merupakan kisah nyata yang saya dapatkan dari seorang kawan saya
yang bekerja di rumah sakit di Jawa Timur, Ia bernama Abdul Ghofur. Di
rumah sakit tersebut Ghofur bekerja sebagai pembimbing rohani yang
bertugas memberikan bimbingan agama Islam kepada para pasien. Salah satu tugasnya adalah menemani dan membimbing orang-orang yang sedang mengalami sakratul maut.
Menurut,
ceritanya ini merupakan pengalaman unik satu-satunya yang pernah ia
temui selama dua tahun bertugas membimbing orang-orang sakit dan
orang-orang yang sedang mengalami sakratul maut. Ghofur meminta kepada
penulis untuk mengganti nama pasien dan merahasiakan nama daerah
kejadian.
Pada
suatu pagi di tahun 1999 yang lalu, seperti biasa, Ghofur pergi kerumah
sakit tempatnya bekerja. Rupanya, hari itu datang seorang pasien baru,
yang bernama Romi. Pasien tersebut menderita penyakit Leukimia yang
sudah parah.
Menurut
keluarganya, sebelum dibawa kerumah sakit Romi sudah satu bulan dirawat
di rumahnya. Karena semangkin hari sakit yang dideritanya semakin
parah, para tetangga memberikannya saran kepada keluarganya agar
secepatnya membawa Romi ke rumah sakit.
Sampai
dirumah sakit, Romi langsung dirawat di ruang ICU, tubuhnya yang besar
tampak pucat dan lemah, tetapi sorot matanya seolah tidak mau diam.
Dihidungnya terpasang pipa oksigen, dan tangannya terpasang pipa infus.
Seperti
para pasien lainnya, beberapa jam setelah Ia masuk rumah sakit dan
mendapatkan perawatan secukupnya dari para dokter, Romi mendapat
bimbingan agama Islam dari rumah sakit itu. Kebetulan Ghofur lah yang
mendapatkan tugas membimbing laki-laki yang bertubuh besar itu.
Ketika
pertama kali Ghofur mendatangi Romi. Romi sudah menunjukan sikap yang
kurang bersahabat, tidak seperti pasien lain yang selalu merasa senang
didatangi petugas rumah sakit.
Ghofur
sempat merasa sedikit takut melihat wajah pasien yang tidak sedikitpun
memberikan senyum kepadanya. Apa lagi ketika Ghofur melihat sekujur
tubuh lelaki itu dipenuhi dengan berbagai gambar tato. Sisa-sisa bekas
tato yang keras dan besarpun masih sedikit tampak pada tubuh itu, seolah
memberi isyarat siapa laki-laki itu sebenarnya.
Setelah mengucapkan salam dan memperkenalkan diri, Ghofur pun mulai memberikan bimbingan agama Islam kepada Romi.
“Sebagai
sesama muslim saya hanya mengingatkan, banyak-banyaklah berdo’a, sebab
semua penyakit itu datangnya dari Allah, sehingga hanya Allahlah yang
mampu mencabut kembali. Jangan lupa pula beristigfar. Kita sebagai
manusia tentu tidak luput dari segala dosa dan kesalahan. Mudah-mudahan
saja dengan istigfar Allah mau mengampuni dosa-dosa yang pernah kita
perbuat,” ucap Ghofur mencoba memulai memberikan bimbingan keagamaannya.
“Sudah mas? Kamu itu emangnya siapa ? Saudara saya bukan, tetanggapun bukan, berani benar menasehati saya!” ujar Romi kesal.
Ghofur
terkejut mendengar sambutan yang tidak bersahabat dari pasien baru itu,
ia tidak menyangka seorang pasien yang terkulai lemah tanpa daya masih
menunjukan kesombongannya di hadapan orang lain, terlebih dihadapan
orang yang berniat membantu memberikan bimbingan keagamaan kepadanya.
“Saya
hanya hamba Allah yang kebetulan di tugaskan memberikan bimbingan
keagamaan kepada sertiap pasien yang beragama Islam. Saya hanya
mneginginkan setiap pasien merasa tentram dan nyaman hatinya meskipun
sedang sakit,” Jawab Ghofur merendah.
“Mana
ada orang sakit yang tenteram dan nyaman, kalau orang macam begitu ‘sok
memberikan nasehat seperti itu. Kalau kamu mau berkhotbah di masjid,
jangan bawa-banwa khotbah kesini!”. Ujar Romi dengan marahnya.
Ghofur
tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia hanya dapat bersabar sambil tidak
berhenti-hentinya mengucapkan istighfar dalam hati.
“Baiklah
kalau anda merasa terganggu dengan kehadiran saya, saya minta maaf.
Saya hanya bisa mendo’akan semoga anda lekas sembuh”, ucap Ghofur
mengakhiri percakapan diantara mereka. Ghofurpun berlalu meninggalkan
lelaki yang tampak masih kesal itu.
Rupanya
sakit yang diderita oleh Romi terbilang sudah sangat parah, sehingga
peluang untuk sembuh sangat kecil. Bahkan, satu minggu setelah
kedatangannya di rumah sakit, sakit Romi akhirnya tidak bisa ditolong
lagi. Pada siang yang panas itu, Romi harus berjuang menghadapi pedih dan sakitnya sakratul maut.
Beberapa
perawat (suster) dan keluarga Romi ikut membantu menemani Romi
menghadapi sakratul maut. Tidak ketinggalan, Ghofur juga di tugaskan
membimbing lelaki itu mengajarkan kalimat-kalimat talkin, agar sakratul
maut yang dihadapinya bisa lebih mudah. “Laa ilaaha illallah, laa ilaaha
illallah …,” bisik Ghofur berulang-ulang ditelinga Romi. Para perawat
dan keluarga Romi ikut membimbing Romi mengucapkan talkin.
Romi
Tak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya mengerang menahan sakit dengan
membuka mulut lebar-lebar, seolah menjerit kesakitan. Begitupula matanya
membelalak terbuka lebar, seperti orang yang sangat ketakutan.
“Nyebut-nyebut,
Rom. Nyebut!” Ujar ibunya meminta anaknya menyebut kalimat-kalimat
talkin. “Laa ilaaha illallah, laa ilaaha illallah …” Ghofur terus
mmebisikan talkin di telinga Romi.
Meskipun
orang disekeliling Romi terus berusaha mengajarinya mengucapkan talkin,
tetapi Romi tetap saja tidak mampu mengucapkannya. Dari mulutnya hanya
terdengar erangan-erangan berat menahan rasa sakit yang amat sangat.
Waktu
terus berlalu, setelah beberapa jam menahan pedihnya sakratul maut,
akhirnya Romi menghebuskan nafas terakhirnya, dengan erangan panjang
yang sangat memiriskan hati orang-orang yang melihat dan mendengarnya.
“hhhrrrrrrggggggghhhhh
….!” Suara erangan panjang dari suara Romi. “Alhamdulillah …” Ucap
Ghofur dan para perawat menunjukan rasa syukur atas berakhirnya
penderitaan yang dialami Romi dalam menghadapi sakratul maut.
Ghofur
segera mengusap wajah Romi untuk menutup matanya yang masih terbelalak
lebar. Para perawatpun mulai sibuk membuka pipa oksigen yang terpasang
di hidungnya dan pipa infus yang terpasang di tangannya. Semua orang
yang hadir di ruangan itu yakin kalau Romi memang sudah meninggal.
Setelah
semua peralatan yang semula terpasang di tubuh Romi di lepas para
perawat segera meninggalkan ruangan. Sementara itu Ghofur segera menutup
jasad Romi dengan kain putih, menunggu ambulan yang akan membawanya
setelah keluarga Romi mengurusi semua biaya perawatan Romi di rumah
sakit tersebut.
Kira-kira
sepulu menit setelah melepas nafas terakhirnya, tiba-tiba tubuh Romi
yang tertutp kain putih itu bergerak-gerak kembali. Ghofur dan keluarga
Romi yang kebetulan masih berada di ruang itu terkejut bukan kepalang.
Ghafur
setelah mendatangi tubuh yang dikiranya sudah mati itu. Ia membuka kain
putih penutup tubuh Romi yang kesakitan menahan pedihnya sakratul maut
pertama tadi. Ghafur terheran-heran, sebab ia yakin tadi Romi
benar-benar sudah meninggal.
Pengalamannya
selama ini dalam membimbing orang sekarat telah membuatnya hapal benar,
bagaimana keadaan orang yang melepaskan nafas terakhirnya dan mati.
Tetapi kini keajaiban telah terjadi di depan matanya.
Ghafur
segerah memanggil para perawat dengan menekan tombol yang ada di
dinding ruang itu. “Dia hidup lagi,” Kata Ghafur kepada para perawat
yang tergesa-gesa masuk ruangan.
Para
perawat segera memasangkan kembali pipa infus dan oksigen ketangan dan
kemulut Romi. Ghafur kembali membimbing Romi dengan membisikan kalimat
Talkin ke telinga lelaki yang kesakitan itu.
“Laa
illaha illallah, laa ilaaha illallah …” bisik Ghafur berulang-ulang.
Keluarga Romipun ikut membantu membimbing mengucapkan kalimat-kalimat
talkin. Akan tetapi, Romi tetap saja tidak mampu mengucapkannya. Ia
hanya terus mengerang, menahan rasa pedih yang sungguh menyakitkan. Mata
dan mulutnya terbuka lebar.
Ibu
Romi tidak dapat menahan tangisnya menyaksilan anaknya menderita
kesakitan menghadapi sakratul maut. Wanita itu menatap anaknya dengan
tatapan sayu sambil sekali-kali menyeka air mata yang terus merembes di
sudut matanya.
“Hhhhrrrgggrgrggggghhhhh
…” Orang yang hadir di ruangan itu merasa lega melihat Romi mengakhiri
penderitaan sakratul mautnya. Ghofur dan para perawat memeriksa dengan
teliti tubuh Romi untuk memastikan keadaan Romi yang sebenarnya.
Ternyata
secara medis Romi memang sudah tidak bernyawa. Tetapi para perawat
tidak mau mencabut dulu pipa infus dan oksigen yang menempel di tubuh
Romi, karena khawatir kalau-kalau kejadian seperti tadi terulang lagi.
Akhirnya
jasad Romi dibiarkan beberapa saat di tempat tidurnya. Kurang lebih
sepuluh menit kemudian, jasad itu bergerak-gerak kembali, seolah ada ruh
baru yang dimasukan kembali ke jasad yang sudah meninggal itu.
Orang-orang
yang hadir di ruangan itu segera mengerumuni jasad Romi lagi, mereka
kembali membimbing Romi yang kesakitan. Setelah lebih dari dua jam,
Jasad Romi baru bisa mengembuskan nafasnya yang terakhir.
Ghofur
dan para perawat kembali memeriksa kondisi jasad Romi, Setelah
memastikan jasad itu sudah meninggal, mereka membiarkan lagi jasad itu
tergeletak di atas tempat tidurnya. Mereka tetap khawatir kalau-kalau
jasad itu bergerak kembali.
Ternyata
dugaan mereka benar. Setelah sepuluh menit dibiarkan, lagi-lagi jasad
Romi bergerak dan mulutnya mengerang kesakitan. Persis kejadian
sebelumnya, orang-orang disekitar ruangan itu berusaha membimbing Romi,
tapi Romi tetap saja menahan kesakitan.
Dua jam kemudian Romi benar-benar menghembuskan nafasnya yang terakhir, setelah empat kali merasakan pedihnya sakratul maut.
Jasad
Romipun dibiarkan di tempat tidurnya, mereka khawatir kalau-kalau jasad
Romi kembali bergerak. Tetapi setelah berjam-jam dibiarkan dan tidak
bergerak kembali, para perawat segera mencabut pipa infus dan oksigen
dari tangan dan mulut Romi.
Ghofur
yang sudah berpengalaman menangani orang-orang yang sedang sakratul
maut, yakin kalau kejadian yang baru saja disaksikan merupakan kehendak
Allah atas perbuatan yang dilakukan Romi selama masa hidupnya.
Ghofur
tahu, biasanya keadaan sakratul maut seseorang menjadi cermin dari
perbuatan semasa hidup. Karena itu Ghofur ingin sekali mengetahui
bagaimana kehidupan Romi semasa hidupnya.
Sebelum
kelaurga Romi membawa jasad Romi pulang ke rumahnya, Ghofur sempat
mendatangi keluarga Romi. Kepada mereka Ghofur terus terang bertanya apa
yang telah dilakuakan oleh Romi sehinga ia harus mengalami penderitaan
yang bergitu berat dalam menghadapi sakratul maut.
Kepada
Ghofur akhirnya salah seorang keluarga Romi menceritakan bahwa anaknya
selama hidupnya penuh dengan perbuatan maksiat. Setiap hari anaknya
mencari uang dengan cara memaksa orang-orang di pasar untuk memberikan
uang kepadanya.
Hampir
semua orang dipasar takut kepadanya. Selain itu juga anaknya suka
berjudi dan mabuk-mabukan. Setiap malam, anaknya menghabiskan waktunya
di meja judi ilegal dibelakang pasar, dan pulang ke rumah dalam keadaan
mabuk berat.
Dari
cerita yang diuangkapakan oleh keluarga Romi itulah kini Ghofur tahu
apa yang selama hidupnya dikerjakan oleh Romi. Maka tidak heran jika
ketika menghadapi sakratul maut, ia merasakan kepedihan yang amat
sangat, kerena harus merasakan ruhnya di cabut sebanyak empat kali.
Semoga kisah ini memberikan iktibar atau pelajaran bagi kita semua. aamiin …
sumber: http://www.fadhilza.com/2014/06/kisah-hikmah/sebuah-kisah-nyata-4-kali-mengalami-siksa-sakaratul-maut.html
Komentar
Posting Komentar