Kisah hikmah saat menunaikan ibadah haji
yang penuh renungan ini terjadi pada salah satu keluarga asal Mesir.
Pada suatu ketika, tersebutlah seorang anak yang berbakti kepada orang
tuanya, Hasan (bukan nama sebenarnya), mengajak ibunya untuk menunaikan ibadah Haji.
Sarah (juga bukan nama sebenarnya), sang Ibu, tentu senang
dengan ajakan anaknya itu. Sebagai Muslim yang mampu secara materi,
mereka memang berkewajiban menunaikan ibadah Haji.
Segala perlengkapan sudah disiapkan. Singkatnya ibu dan anak ini akhirnya berangkat ke tanah suci. Kondisi keduanya sehat wal afiat, tak kurang satu apapun. Akhirnya merekapun tiba di tanah suci dan merekapun melakukan thawaf dengan hati dan niat ikhlas menyeru panggilan Allah dan untuk menunaikan ibadah Haji ”Labaik allahuma labaik, aku datang memenuhi seruan-Mu ya Allah“
Hasan menggandeng ibunya dan berbisik, “Ummi undzur ila Ka’bah (Bu, lihatlah Ka’bah).”
Hasan menunjuk kepada bangunan empat persegi berwarna hitam itu. Ibunya
yang berjalan di sisi anaknya tak beraksi, ia terdiam. Perempuan itu
sama sekali tidak melihat apa yang ditunjukkan oleh anaknya.
Hasan kembali membisiki ibunya. Ia tampak bingung melihat raut
wajah ibunya. Wajah ibunya pun tampak kebingungan. Ibunya tak mengerti
mengapa ia tak bisa melihat apapun selain kegelapan. Beberapa kali ia
mengusap-usap matanya, tetapi kembali yang tampak hanyalah kegelapan.
Padahal, tak ada masalah dengan kesehatan matanya. Beberapa menit yang
lalu ia masih melihat segalanya dengan jelas, tapi mengapa memasuki
Masjidil Haram segalanya menjadi gelap gulita.
Selama tujuh kali Haji Anak yang sholeh itu bersimpuh di hadapan
Allah. Ia shalat memohon ampunan-Nya. Hati Hasan begitu sedih. Siapapun
yang datang ke Baitullah, pasti akan mengharapkan rahmat-Nya.
Akan terasa hampa menjadi tamu Allah, jika tanpa menyaksikan segala
kebesaran-Nya, tanpa merasakan kuasa-Nya dan juga rahmat-Nya.
Hasan tidak berkecil hati, mungkin dengan ibadah dan taubat yang
sungguh-sungguh, Ibundanya akan dapat merasakan anugerah-Nya, dengan
menatap Ka’bah, kelak. Anak yang sholeh itu berniat akan kembali membawa
ibunya berhaji tahun depan. Tapi ternyata nasib baik belum berpihak
kepadanya.
Tahun berikutnya kejadian serupa terulang lagi. Ibunya kembali
dibutakan didekat Ka’bah, sehingga tak dapat menyaksikan bangunan yang
merupakan simbol persatuan umat Islam itu. Wanita itu tidak bisa melihat
Ka’bah.
Hasan tidak patah arang. Ia kembali membawa ibunya ke tanah suci di tahun berikutnya untuk melaksanakan ibadah Haji lagi. Anehnya, ibunya tetap saja tak dapat melihat Ka’bah. Setiap berada
di Masjidil Haram, yang tampak dimatanya hanyalah gelap dan gulita.
Begitulah keganjilan yang terjadi pada diri Sarah, ibunya. Kejadian itu
pun berulang sampai tujuh kali menunaikan ibadah haji.
Hasan tak habis pikir, ia tak mengerti, apa yang menyebabkan ibunya
menjadi buta di depan Ka’bah. Padahal, setiap berada jauh dari Ka’bah,
penglihatannya selalu normal. Ia bertanya-tanya, apakah ibunya punya
kesalahan sehingga mendapat azab dari Allah SWT? Apa yang telah
diperbuat ibunya, sehingga mendapat musibah seperti itu? Segala
pertanyaan berkecamuk dalam dirinya. Akhirnya diputuskannya untuk
mencari seorang alim ulama, yang dapat membantu permasalahannya.
Beberapa saat kemudian ia mendengar ada seorang ulama yang terkenal karena kesholehannya dan kebaikannya di Abu Dhabi (Uni Emirat). Tanpa kesulitan berarti, Hasan akhirnya bisa bertemu dengan ulama yang dimaksud.
Ia pun mengutarakan masalah kepada ulama yang shaleh ini. Ulama itu
mendengarkan dengan seksama, kemudian meminta agar Ibu Hasan mau
menelponnya. Anak yang berbakti ini pun pulang. Setibanya ditanah
kelahirannya, ia meminta ibunya untuk menghubungi ulama di Abu Dhabi
tersebut. Beruntung, sang Ibu mau memenuhi permintaan anaknya. Ia pun
mau menelpon ulama itu, dan menceritakan kembali peristiwa yang
dialaminya di tanah suci. Ulama itu kemudian meminta Sarah untuk
berintrospeksi, mengingat kembali, mungkin ada perbuatan atau peristiwa
yang terjadi padanya dimasa lalu, sehingga ia tidak mendapat rahmat
Allah. Sarah diminta untuk bersikap terbuka, mengatakan dengan jujur,
apa yang telah dilakukannya.
“Anda harus berterus terang kepada saya, karena masalah Anda bukan masalah sepele,” kata ulama itu pada Sarah. Sarah terdiam sejenak. Kemudian ia meminta waktu untuk
memikirkannya. Tujuh hari berlalu, akan tetapi ulama itu tidak mendapat
kabar dari Sarah. Pada minggu kedua setelah percakapan pertama mereka,
akhirnya Sarah menelpon.
“Ustad, waktu masih muda, saya bekerja sebagai perawat di rumah sakit,” cerita Sarah akhirnya.
“Oh, bagus… Pekerjaan perawat adalah pekerjaan mulia,” potong ulama itu.
“Tapi saya mencari uang sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara, tidak peduli, apakah cara saya itu halal atau haram,” ungkapnya terus terang. Ulama itu terperangah. Ia tidak menyangka wanita itu akan berkata demikian.
“Disana…” sambung Sarah, “Saya sering kali menukar bayi,
karena tidak semua ibu senang dengan bayi yang telah dilahirkan. Kalau
ada yang menginginkan anak laki-laki, padahal bayi yang dilahirkannya
perempuan, dengan imbalan uang, saya tukar bayi-bayi itu sesuai dengan
keinginan mereka.”
Ulama tersebut amat terkejut mendengar penjelasan Sarah.
“Astagfirullah…” betapa tega wanita itu menyakiti hati para
ibu yang diberi amanah Allah untuk melahirkan anak. Bayangkan, betapa
banyak keluarga yang telah dirusaknya, sehingga tidak jelas nasabnya.
Apakah Sarah tidak tahu, bahwa dalam Islam menjaga nasab atau keturunan sangat penting. Jika seorang bayi ditukar, tentu nasabnya menjadi tidak jelas.
Padahal, nasab ini sangat menentukan dala perkawinan, terutama dalam
masalah mahram atau muhrim, yaitu orang-orang yang tidak boleh dinikahi.
“Cuma itu yang saya lakukan,” ucap Sarah.
“Cuma itu?” tanya ulama terperangah. “Tahukah anda bahwa perbuatan Anda itu dosa yang luar biasa, betapa banyak keluarga yang sudah Anda hancurkan!” ucap ulama tersebut dengan nada tinggi.
“Lalu apa lagi yang Anda kerjakan?” tanya ulama itu lagi sedikit kesal.
“Di rumah sakit, saya juga melakukan tugas memandikan orang mati.”
“Oh bagus, itu juga pekerjaan mulia,” kata ulama.
“Ya, tapi saya memandikan orang mati karena ada kerja sama dengan tukang sihir.”
“Maksudnya?” tanya ulama tidak mengerti.
“Setiap saya bermaksud menyengsarakan orang, baik membuatnya
mati atau sakit, segala perkakas sihir itu harus sesuai dengan
syaratnya, yaitu dipendam di dalam tanah. Akan tetapi, saya tidak
menguburnya didalam tanah, melainkan saya masukkan benda-benda itu ke
dalam mulut orang yang mati.”
“Suatu kali, pernah seorang alim meninggal dunia. Seperti biasa,
saya memasukkan berbagai barang-barang tenung seperti jarum, benang dan
lain-lain ke dalam mulutnya. Entah mengapa benda-benda itu seperti
terpental, tidak mau masuk, walaupun saya sudah menekannya dalam-dalam.
Benda-benda itu selalu kembali keluar. Saya coba lagi begitu seterusnya
berulang-ulang. Akhirnya, emosi saya memuncak, saya masukkan benda itu
dan saya jahit mulutnya. Cuma itu dosa yang saya lakukan.”
Mendengar penuturan Sarah yang datar dan tanpa rasa dosa, ulama itu berteriak marah.
“Cuma itu yang kamu lakukan ? Masya Allah…! Saya tidak bisa bantu Anda. Saya angkat tangan”.
Ulama itu amat sangat terkejutnya mengetahui perbuatan Sarah. Tidak
pernah terbayang dalam hidupnya ada seorang manusia, apalagi ia adalah
wanita, yang memiliki nurani begitu tega, begitu keji. Tidak pernah
terjadi dalam hidupnya, ada wanita yang melakukan perbuatan sekeji itu.
Akhirnya ulama itu berkata, “Anda harus memohon ampun kepada Allah, karena hanya Dialah yang bisa mengampuni dosa Anda.”
Setelah beberapa lama, sekitar tujuh hari kemudian ulama tidak
mendengar kabar selanjutnya dari Sarah. Akhirnya ia mencari tahu dengan
menghubunginya melalui telepon. Ia berharap Sarah telah bertobat atas
segala yang telah diperbuatnya. Ia berharap Allah akan mengampuni dosa
Sarah, sehingga Rahmat Allah datang kepadanya. Karena tak juga
memperoleh kabar, ulama itu menghubungi keluarga Hasan di Mesir.
Kebetulan yang menerima telepon adalah Hasan sendiri. Ulama menanyakan
kabar Sarah, ternyata kabar duka yang diterima ulama itu.
“Ummi sudah meninggal dua hari setelah menelpon Ustad,” ujar Hasan.
Ulama itu terkejut mendengar kabar tersebut.
“Bagaimana ibumu meninggal, Hasan?” tanya ulama itu.
Hasan akhirnya bercerita, Setelah menelpon sang ulama, dua hari
kemudian ibunya jatuh sakit dan meninggal dunia. Yang mengejutkan adalah
peristiwa penguburan Sarah. Ketika tanah sudah digali, untuk kemudian
dimasukkan jenazah atas izin Allah, tanah itu rapat kembali, tertutup
dan mengeras. Para penggali mencari lokasi lain untuk digali. Peristiwa
itu terulang kembali. Tanah yang sudah digali kembali menyempit dan
tertutup rapat. Peristiwa itu berlangsung begitu cepat, sehingga tidak
seorangpun pengantar jenazah yang menyadari bahwa tanah itu kembali
rapat. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Para pengantar yang
menyaksikan peristiwa itu merasa ngeri dan merasakan sesuatu yang aneh
terjadi. Mereka yakin, kejadian tersebut pastilah berkaitan dengan
perbuatan si mayit.
Waktu terus berlalu, para penggali kubur putus asa dan kecapaian
karena pekerjaan mereka tak juga usai. Siang-pun berlalu, petang
menjelang, bahkan sampai hampir maghrib, tidak ada satu-pun lubang yang
berhasil digali. Mereka akhirnya pasrah, dan beranjak pulang. Jenazah
itu akhirnya dibiarkan saja tergeletak di hamparan tanah kering
kerontang.
Sebagai anak yang begitu sayang dan hormat kepada ibunya, Hasan
tidak tega meninggalkan jenazah orang tuanya ditempat itu tanpa dikubur.
Kalaupun dibawa pulang, rasanya tidak mungkin. Hasan termenung di tanah
perkuburan seorang diri.
Dengan izin Allah, tiba-tiba berdiri seorang laki-laki yang
berpakaian hitam panjang, seperti pakaian khusus orang Mesir. Lelaki itu
tidak tampak wajahnya, karena terhalang tutup kepalanya yang menjorok
ke depan. Laki-laki itu mendekati Hasan kemudian berkata padanya,”Biar aku tangani jenazah ibumu, pulanglah!” kata orang itu.
Hasan lega mendengar bantuan orang tersebut, Ia berharap laki-laki
itu akan menunggu jenazah ibunya. Syukur-syukur mau menggali lubang
untuk kemudian mengebumikan ibunya.
“Aku minta supaya kau jangan menengok ke belakang, sampai tiba di rumahmu,” pesan lelaki itu.
Hasan mengangguk, kemudian ia meninggalkan pemakaman. Belum sempat
ia di luar lokasi pemakaman, terbersit keinginannya untuk mengetahui apa
yang terjadi dengan jenazah ibunya.
Sedetik kemudian ia menengok ke belakang. Betapa pucat wajah Hasan,
melihat jenazah ibunya sudah dililit api, kemudian api itu menyelimuti
seluruh tubuh ibunya. Belum habis rasa herannya, sedetik kemudian dari
arah yang berlawanan, api menerpa wajah Hasan. Hasan ketakutan. Dengan
langkah seribu, ia pun bergegas meninggalkan tempat itu.
Demikian yang diceritakan Hasan kepada ulama itu. Hasan juga
mengaku, bahwa separuh wajahnya yang tertampar api itu kini berbekas
kehitaman karena terbakar. Ulama itu mendengarkan dengan seksama semua
cerita yang diungkapkan Hasan. Ia menyarankan, agar Hasan segera
beribadah dengan khusyuk dan meminta ampun atas segala perbuatan atau
dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh ibunya. Akan tetapi, ulama itu
tidak menceritakan kepada Hasan, apa yang telah diceritakan oleh ibunya
kepada ulama itu.
Ulama itu meyakinkan Hasan, bahwa apabila anak yang soleh itu
memohon ampun dengan sungguh-sungguh, maka bekas luka di pipinya dengan
izin Allah akan hilang. Benar saja, tak berapa lama kemudian Hasan
kembali mengabari ulama itu, bahwa lukanya yang dulu amat terasa sakit
dan panas luar biasa, semakin hari bekas kehitaman hilang. Tanpa tahu
apa yang telah dilakukan ibunya selama hidup, Hasan tetap mendoakan
ibunya. Ia berharap, apapun perbuatan dosa yang telah dilakukan oleh
ibunya, akan diampuni oleh Allah SWT.
Sumber : https://kisah-yang-penuh-hikmah.blogspot.co.id/2015/03/ibadah-haji-7-kali-tidak-bisa-memandang.html
Komentar
Posting Komentar