Banyak tulisan, film, dan kisah dokumenter seputar operasi militer perburuan Osama bin Laden
telah dibuat. Tapi buku ini ditulis oleh salah satu pelaku tim khusus
yang menyerbu tempat persembunyian pemimpin Al Qaeda itu di Abbottabad, Pakistan, pada dini hari 2 Mei 2011.
Demi kerahasiaan, nama-nama dan sejumlah detail peristiwa disamarkan, termasuk nama asli penulis.
Dicukil dari buku No Easy Day: The Autobiography of a Navy SEAL, tulisan Mark Owen & Kevin Maurer, oleh Mayong S. Laksono, yang diterbitkan di Majalah Intisari edisi Juni 2013 dengan judul Operasi Senyap Memburu Osama Bin Laden
--
Komandan
membuka pintu geser helikopter Black Hawk. Udara masuk menciptakan
guncangan, dan suara mesin memekakkan telinga. Tak ada kata bisa
didengarkan kecuali isyarat jari dari komandan yang sebagian wajahnya
tertutup helm dan kacamata malam.
Baca Juga : Osama bin Laden, Dalang Serangan 9/11 yang Berhasil Ditemukan dan Dibunuh CIA Berkat Teknologi Canggih Ini
Teman-teman
saya, para anggota pasukan khusus, sedikit beringsut dari duduknya.
Bukan kursi asli helikopter itu, melainkan lantai dan bangku-bangku
kemping ukuran kecil demi mengurangi beban muatan. Kami melihat ke bawah, berharap untuk memahami suasana Kota Abbottabad. Tapi malam kelewat pekat. Satu
setengah jam sebelumnya, kami diangkut dari markas kami di Jalalabad,
Afghanistan, dengan dua helikopter MH-60 Black Hawk dan terbang di malam
tanpa bulan. Dalam 30 menit sampai di perbatasan Pakistan, dan
satu jam kemudian menuju target yang citra satelitnya telah kami
pelajari selama beberapa minggu.
Baca Juga : Mengenang 11 September yang Mengerikan, Runtuhnya Menara Kembar, dan Keterkaitan Osama bin Laden
Tugas
dengan nama sandi Operation Neptune Spear itu dilaksanakan oleh 24
orang dalam tim penyerbu utama. Terbagi menjadi dua regu, Chalk One dan
Chalk Two, yang masing-masing menggunakan satu Black Hawk.
Kami
berasal dari Navy SEAL Team Six atau nama resminya Naval Special Warfare
Development Group atau DEVGRU, unit kontraterorisme paling elit di
militer AS. Sebagian besar anggota telah saling kenal, malah sudah lebih
dari 10 tahun bersama-sama dalam aneka tugas.
Di Irak,
Afghanistan, Somalia untuk membebaskan kapten kapal kargo Maersk Alabama
Richard Philips yang disandera perompak Somalia pada 2009, dan ke
Pakistan pun pernah. Kami saling percaya.
Lima menit sebelumnya,
seisi heli begitu gaduh. Kami membuka helm, mengecek radio, juga
pemeriksaan terakhir senjata dan perlengkapan tempur lain. Saya
mengenakan setelan dan rompi seberat 30 kg yang setiap gramnya dihitung
cermat agar sesuai dengan misi.
Kami adalah pasukan terlatih, masing-masing memiliki kualifikasi khusus dan terbaik di skuadron asal.
Sekarang
heli sangat bising oleh bunyi mesin dan angin kibasan rotor. Kabin
gelap, cahaya hanya berasal dari instrumen di kokpit. Karena sempit,
kami sulit bergerak, bahkan untuk menjulurkan kaki. Tapi kami sangat
siap dengan tugas di depan mata ini.
Sampai di atas kompleks
rumah yang dituju, kami melihat lokasi pendaratan yang hanya seluas area
parkir. Kami bersiap melemparkan tali buat meluncur ketika terdengar
perintah komandan lewat radio, “Kita berputar. Kita berputar!”
Waktu
bertambah, penghuni rumah jadi punya waktu untuk bersiap-siap. Padahal
misi ini dipersiapkan dengan menghabiskan ratusan, bahkan ribuan, jam
pelatihan. Yang utama dalam operasi ini adalah unsur kejutan, tapi kalau
pendaratan gagal di kesempatan pertama, kejutan tidak ada lagi. Kami
harus menyiapkan Plan B, Plan C, dst.
Heli
berguncang-guncang membanting penumpang ke segala arah. Ini terbilang
biasa. Bahkan tadi kami sempat berkelakar, kalaupun heli jatuh, itu
pasti yang mengangkut Chalk Two, bukan kami, karena sebagian besar dari
kami sudah kenyang dengan kecelakaan helikopter.
Tapi upaya
pendaratan benar-benar sulit. Dengan susah payah saya melepaskan lilitan
tali yang tadi batal kami gunakan. Saya mendekat ke pintu, namun
tiba-tiba heli berguncang lagi sampai rotor belakangnya menghantam atap
bangunan. Heli kehilangan keseimbangan dan meluncur ke tanah
dalam posisi miring. Pandangan saya memudar, tapi saya siap dengan
benturan besar.
Obsesi sejak umur 13 tahun
Baca Juga : Sempat Ditanya Rencana Terorisme di Masa Depan, Ini Jawaban Osama bin Laden Saat Masih Hidup
Bagi
saya, satuan elite angkatan laut AS itu sudah menghantui sejak kecil.
Saya mengumpulkan banyak buku, komik, dan pelbagai kliping, menyimpan
banyak video tentang operasi mereka, atau menonton film-film mereka.
Saya
ingat, ketika umur 13 teman sekolah saya banyak yang terkagum-kagum
atas pengetahuan saya mengenai Navy SEAL. Satuan-satuannya, idiom-idiom
teknisnya, senjatanya, pesawat dan helikopternya, pola latihannya, dsb.
Sejak
saya kecil ayah sudah mengenalkan senjata kepada saya. Kami pergi
berburu, dan ayah selalu mengajarkan soal kehati-hatian memegang
senjata. “Kamu harus memperlakukan senjata dengan respek karena kamu
tahu apa yang bisa diakibatkannya,” kata ayah.
Ketika masuk ke
akademi, saya mendapati banyak teman yang juga terobsesi kepada satuan
elit itu. Kami adalah orang-orang yang gigih, mengejar tantangan hingga
batas kemampuan, siap menerima tempaan fisik sampai batas rasa sakit.
Kami juga benci kekalahan.
Tahun
1989, setamat dari sebuah kolese di Kalifornia, saya menjalani latihan
dasar penyerangan lewat laut (Basic Underwater Demolition/SEAL, atau
BUD/S). Begitu kerasnya latihan pertempuran sambil menyelam itu, hingga
banyak peserta yang rontok.
Saya perlu lima tahun menjalani misi dan pelatihan, bolak-balik ke medan operasi dan training ground, sebelum masuk ke SEAL. Itu belum ke DEVGRU yang mensyaratkan kualifikasi lebih tinggi. Tubuh
harus fit sepanjang waktu, menjalani operasi senyap ke belakang garis
pertahanan lawan, memerangi gerilyawan, terjun dari ketinggian dengan
oksigen tipis, atau sebaliknya, di bawah terik matahari gurun Timur
Tengah.
Untuk masuk ke tim khusus Team Six, sekadar lolos
seleksi sama artinya dengan gagal. Sedangkan menjadi nomor dua adalah
kekalahan pertama. Tak ada hasil minimum, tak ada toleransi pada
kesalahan.
Oh
ya, meski namanya Team Six, sesungguhnya unit kontraterorisme AL hanya
memiliki dua tim. Sebutan Team Six hanya untuk mengelabui Uni Soviet di
masa Perang Dingin dulu, supaya mengesankan Amerika punya banyak pasukan
khusus.
Sejak 1987, pasukan yang dibentuk oleh Richard Marcinko
itu berganti nama menjadi DEVGRU. Pasukan khusus terdiri atas 75 anggota
yang diambil dari SEAL dan satuan peledak AL.
Ini merupakan
upaya perbaikan setelah kegagalan Operasi Eagle Claw di masa Presiden
Jimmy Carter, yang memerintahkan misi pembebasan 52 orang sandera di
Kedubes AS di Teheran, Iran (1980).
Dalam operasinya, DEVGRU sering bekerja sama dengan unit-unit khusus
dari angkatan lain seperti Delta Force milik Angkatan Darat. Padahal
sebelum Tragedi 11 September, Delta Force dan DEVGRU bersaing.
“Kita akan menangkap UBL”
Sejak
Tragedi 11 September, satuan-satuan tempur di luar negeri diintensifkan
untuk memerangi terorisme. Kami tak hanya menggempur kekuatan-kekuatan
Taliban di Afghanistan dan sebagian Pakistan, intelijen pun
meningkatkan pelacakan terhadap Osama bin Laden.
Sampai tahun
2007, saya sudah menjalani lima misi di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Misi keenam adalah Provinsi Khost di Afghanistan yang berbatasan dengan
Pakistan untuk memburu anggota Al Qaeda dan Taliban. Juga Osama.
Sebuah
serangan pada tahun itu gagal, karena informasi intelijen yang katanya
“100%” ternyata tidak tepat. Kami harus bekerja lebih keras.
Baca Juga : Sering Pura-pura Mati, Cucu Osama Bin Laden Berusia 12 Tahun Ini Tewas Akibat Serangan Udara
Memasuki
tahun 2011, Tanduk Afrika bergolak. Mesir ganti pemerintahan, Libya
dilanda revolusi. Di Asia, Suriah juga menjadi titik panas, sementara
Afghanistan juga tak bisa dilepaskan. Irak pun tetap bergejolak, banyak
kepentingan Amerika terancam.
Saya mestinya libur musim semi
ketika sebuah panggilan dari Mabes AL di Virginia Beach membatalkannya.
Di sebuah ruangan yang disebut Sensitive Compartmented Information
Facility, atau SCIF (diucapkan “skif ”), saya bertemu beberapa teman
lama seperti Walt, Charlie, dan Tom, instruktur saya di Green Team
dulu.
Hampir 30 orang semuanya. Sedikit penjelasan dari pimpinan,
kemudian diakhiri dengan perintah agar kami segera memulai latihan di
sebuah tempat di Karolina Utara.
Sebagian besar dari kami
terbiasa dengan tugas mendadak. Tapi latihan dengan ketidakjelasan,
rasanya baru kali itu. Tak ada bahan persiapan – senjata, peralatan,
bahan peledak. “Berapa lama latihan nanti?” seseorang bertanya.
“Tidak jelas. Yang pasti dimulai hari Senin,” jawab orang lain.
Saya
baru mau bertanya ketika Tom melihat saya dan menggelengkan kepala.
Saya pun membatalkan niat. “Kita akan sama-sama tahu hari Senin,” kata
Tom.
Setiap orang memiliki dugaannya. Ada yang mengira akan ke Libya, ke Suriah, bahkan ke Iran. “Kita akan menangkap UBL,” kata Charlie. Ia pun menduga-duga.
Karena
tak ada standar internasional untuk terjemahan bahasa Arab ke Inggris,
kami menggunakan ejaan ala FBI dan CIA untuk Osama, yaitu Usama bin
Laden, disingkat UBL. Dan pada kesempatan kumpul pertama di hari Senin,
dugaan Charlie terbukti.
“Di mana intelijen menemukannya?” saya bertanya.
“Pakistan.”
Di
ruangan sepi, kecuali beberapa orang sipil anggota CIA yang bekerja
tanpa suara, kami berkumpul menghadap peta Pakistan. Di sebelahnya ada
peta kota bernama Abbottabad, juga beberapa foto sebuah area perumahan
yang setiap bagiannya sudah diberi kode-kode huruf.
Banyak
pula cetakan dan transkrip pembicaraan telepon serta peralatan
pembantu. Proyektor, laptop yang menampilkan banyak data tambahan, juga
tumpukan data intelijen. Saya masih belum yakin bahwa keberadaan Bin
Laden bisa diketahui Amerika.
Sebagai anggota satuan
berkualifikasi khusus, kami semua berharap dilibatkan dalam operasi
pengejaran UBL. Tapi ketika kesempatan itu tiba, saya tetap tak percaya.
Mike
menunjukkan susunan anggota tim. Ada 28 nama di sana, termasuk seorang
teknisi bom, seorang penerjemah bernama Ali yang menguasai bahasa Arab
dan Pashtun, dan seekor anjing pemburu bernama Cairo.
“Kamu akan
berada di Chalk One, sebagian anggota bertanggung jawab menangani wisma
tamu C1 di selatan,” kata Mike kepada saya. “dan sebagian menyerang ke
A1.”
Kadang-kadang
Osama tinggal di C1, bangunan terpisah, kadang pula tidur di bangunan
utama yang merupakan bagian yang kami beri kode A1. Di sana terdapat dua
istri Osama, anak-anak, sejumlah pengawal, dan mungkin kurir beserta
keluarganya. Perempuan dan anak-anak memang sering dijadikan perisai perlindungan, dan kami cukup terbiasa dengan cara itu.
Di
Chalk One saya bersama Charlie dan Walt, juga Pelatih Mike yang di
darat bertugas mengatur alur serangan dan mengendalikan waktu. Di
tim kami juga ada Will, anggota yang bisa berbahasa Arab, yang sekarang
masih di Jalalabad (J-bad). Tim lain, Chalk Two, akan turun di sisi
utara untuk mengamankan bagian luar. Lima pasukan berjaga, dua penembak
dan anjing pelacak akan mengejar siapa pun yang mungkin melarikan diri.
Dua
anggota lagi dan penerjemah Ali berjaga di bagian timur laut untuk
mencegat kalau ada orang mau mendekat. Tak lupa kami juga memiliki dua
orang penembak tepat yang berjaga di pintu heli Chalk One.
Kami berlatih berdasarkan mockup kompleks
yang terletak di Jalan Kakul, perumahan di dekat akademi militer
Pakistan di Abbottabad, utara Islamabad, itu. Nama kota itu diambil dari
pendirinya, seorang mayor berkebangsaan Inggris James Abbott.
Dalam
brifing intelijen dijelaskan, Osama memiliki dua orang kurir yang rutin
datang ke kompleks itu. Sebuah area seluas 4.000-an meter persegi yang
dikelilingi tembok setinggi 3-5 m. Tembok bagian selatan dibuat lebih
tinggi untuk menghalangi orang luar melongok ke halaman.
Bangunan
lain juga sengaja dibuat untuk menutupi jendela atau pintu bangunan
utama. Yang mengundang kecurigaan, properti buatan tahun 2005 seharga
AS$1 juta itu tak memiliki jaringan telepon atau sambungan internet.
Penghuninya
selalu membakar sampah dan jarang berinteraksi dengan tetangga. Mereka
tahu ada beberapa orang di dalamnya, tapi satu-satunya nama yang dikenal
adalah Ahmed al-Kuwaiti. Hasil pengembangan kasus 11 September
dan interogasi terhadap orang-orang yang dicurigai menunjukkan bahwa
Al-Kuwaiti adalah kurir Bin Laden meski bukan anggota Al-Qaeda.
sumber: http://intisari.grid.id/read/03945672/drama-penangkapan-osama-bin-laden-operasi-senyap-memburu-bos-jaringan-teror-al-qaeda?page=all
Komentar
Posting Komentar