Judul : Andi Makkasau Menakar Harga 40.000 Jiwa
Penulis : Sabriah Hasan
Penerbit : Pemkot Pare-Pare dan Penerbit Ombak, 2010
Halaman : xxi + 177 Halaman
Kesulitan menghadapi perlawanan rakyat Sulawesi Selatan, Belanda terpaksa menurunkan korps pasukan elitnya. Bagian kelima buku ini membahas tentang kedatangan pasukan elit Belanda pimpinan Kapten Raymond Westerling. Ia melakukan operasi pembersihan dengan cara cara biadab. Bahkan penuturan beberapa saksi yang pernah melihatnya, Westerling lebih mirip seorang psikopat yang tidak punya nurani dan menembak tanpa alasan ketimbang seorang pasukan elit yang terhormat. Ia membunuhi banyak orang orang yang tak bersalah. Oleh Letnan Jenderal Spoor dan Mayor Jenderal Buurman van Breeden, Westerling telah diberi wewenang untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil kalngkah langkah yang dipandang perlu (hal.100).
Baca pula resensi yang lain :
sumber: https://www.diskusilepas.id/2015/05/andi-makkasau-patriot-dari-suppa.html
Penulis : Sabriah Hasan
Penerbit : Pemkot Pare-Pare dan Penerbit Ombak, 2010
Halaman : xxi + 177 Halaman
Buku yang berjudul "Andi Makkasau, Menakar Harga 40.000 Jiwa" ini
mengisahkan tentang kepatriotan Andi Makkasau, Datu Suppa Toa.
Bersetting di era sebelum kemerdekaan, berlanjut pada revolusi
mempertahankan kemerdekaan di daerah Ajatappareng secara umum.
Di bagian pertama, berkisah tentang latar belakang sejarah persentuhan
dengan bangsa Eropa. Kemudian, pergolakan ditahun 1824 akibat
perpindahan kekuasaan kolonial dari Inggris ke Belanda yang ditolak oleh
penguasa lokal termasuk Suppa. Hingga politik pasifikasi tahun 1905
yang memaksa Raja-Raja se Sulawesi Selatan terpaksa menandatangani Korte
Veklaring.
Latar belakang Andi Makkasau hingga diangkat menjadi Datu Suppa dibahas
di bagian kedua. Pergerakan bawah tanah hingga terang terangan yang
mendukung kemerdekaan Indonesia berujung pemecatan sebagai Datu Suppa
ditahun 1938. Lepasnya tanggung jawab sebagai Datu Suppa, membuat Andi
Makkasau lebih leluasa bergerak sebagai aktivis. Kemerdekaan Indonesia
disikapi dengan pembentukan organisasi Penunjang Republik Indonesia
(PRI).
Pasca Kemerdekaan dan Kedatangan tentara sekutu menjadi pembahasan
berikutnya di bagian ketiga. Dimulai dengan Konfrensi Jongayya (15
Oktober 1945) disusul Konfrensi Pare-Pare (1 Desember 1945) yang
dihadiri para aristokrat Sulawesi Selatan yang menolak kedatangan
Belanda. Disusul dengan Konfrensi Malino yang diprakasai NICA (15-25
Juli 1945) yang berisi pembentukan NIT. Suasana makin memanas
Di bagian keempat, gejolak perlawanan semakin menggeliat. Sebagai
realisasi Konfrensi Pare Pare, para pemuda mendaftarkan diri untuk
dikirim ke Yogya mempertahankan kemerdekaan. Atas prakarsa Abdul Qahhar
Muzakkar dan Andi Mattalatta setelah menghadap Jenderal Sudirman, maka
dibentuklah TRI-Persiapan Sulawesi (hal.88). Selain itu, mulai
bermunculan laskar laskar rakyat, salah satunya yang dibentuk Andi
Makkasau. Dengan segala keterbatasan, Andi Makkasau bersama laskarnya
bertempur dan bergerilya.
Kesulitan menghadapi perlawanan rakyat Sulawesi Selatan, Belanda terpaksa menurunkan korps pasukan elitnya. Bagian kelima buku ini membahas tentang kedatangan pasukan elit Belanda pimpinan Kapten Raymond Westerling. Ia melakukan operasi pembersihan dengan cara cara biadab. Bahkan penuturan beberapa saksi yang pernah melihatnya, Westerling lebih mirip seorang psikopat yang tidak punya nurani dan menembak tanpa alasan ketimbang seorang pasukan elit yang terhormat. Ia membunuhi banyak orang orang yang tak bersalah. Oleh Letnan Jenderal Spoor dan Mayor Jenderal Buurman van Breeden, Westerling telah diberi wewenang untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil kalngkah langkah yang dipandang perlu (hal.100).
Melihat tindakan Westerling tersebut, Andi Makkasau memilih untuk tidak
meninggalkan rakyatnya. Bahkan dibujuk beberapa kerabat dan pemuda
pejuang untuk meninggalkan Pare Pare dan melanjutkan gerilya. Akan
tetapi beliau tetap bersikeras untuk tidak pergi. Di bagian keenam,
mengisahkan tentang ditangkapnya Andi Makkasau oleh tentara Belanda.
Beliau bertiga dengan Kapten Tahir Dg. Tompo dan Andi Mangkau dalam
keadaan terikat. Disiksa berjam jam oleh pasukan elit Belanda, ketiga
patriot ini pantang menyerah. Permintaan terakhir beliau adalah bertemu
istri dan anak yang baru berusia 9 bulan untuk berpamitan. Harga sebuah
prinsip dan keyakinan yang begitu mahal. Yaitu berpisah dengan keluarga
tercinta. Terakhir beliau ditenggelamkan di Marabombang dengan keadaan
tangan terikat dan diberi batu pemberat. Innalillahi wa Innailahi
rajiun. Telah gugur pejuang kusuma bangsa demi mempertahankan
kemerdekaan. Kolonel TRIP Andi Makkasau sebelumnya pernah berpesan dalam
bahasa Bugis "Mabbaja lalengma iyya', iko maneppa molai laleng barue" (saya hanya merintis jalan, kalian semua lah yang akan melewati jalan baru tersebut).
Baca pula resensi yang lain :
sumber: https://www.diskusilepas.id/2015/05/andi-makkasau-patriot-dari-suppa.html
Komentar
Posting Komentar