Seorang sastrawan Inggris, Southy,
menuliskan tentang pasukan Islam yang menyerbu daratan Eropa setelah
menguasai Andalusia, dia berkata:
“Banyaknya pasukan tidak terhitung
jumlahnya, ada yang dari suku Arab Barbar, Romawi, Persia, Qibti,
Tartar,…semua berkumpul di bawah satu panji, disatukan oleh panglima
yang agung. Kekuatannya tangguh, semangatnya bergelora seperti api dan
rasa persaudaraannya begitu mengagumkan, tak membeda-bedakan sesama
manusia.
Dalam jiwa pemimpin dan yang dipimpin
tertanam tekad yang bulat untuk berjuang. Mereka optimis akan
kekuatannya yang tak terkalahkan, dan yakin bahwa pasukannya tak akan
menemukan kesulitan. Optimis bahwa setiap langkah akan diikuti oleh
kemenangan. Mereka terus maju dan maju hingga dunia Barat takluk pada
dunia Timur, tertunduk menghormati nama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Orang-orang dari kutub yang penuh dengan
pegunungan es yang dingin membeku datang jauh-jauh untuk melaksanakan
haji. Melintasi sahara dengan kaki talanjang dengan penuh iman, berjalan
di gurun pasir yang panas di Arab, berdiri di atas terjalnya bebatuan
di Makkah.”
Memang, apa yang Anda katakan tidak jauh
dari kenyataan. Khayalannya pun tidak meleset. Prajurit yang dipimpin
oleh para mujahidin itu memang ingin membebaskan nenek moyang Anda dari
kegelapan jahiliyah, seperti yang Anda sebutkan.
Ikut serta dalam pasukan tersebut
orang-orang Arab yang perkasa. Allah telah membangkitkan mereka dan
membimbing mereka untuk mendatangi kalian dari Syam, Hijaz, Najd, Yaman
dan pelosok-pelosok jazirah Arab, menggulung segala sesuatu laksana
badai. Mereka disertai pula oleh orang-orang Barbar yang bangga akan
keislamannya, yang turun dari pegunungan Atlas, menyapu bagaikan air
bah. Juga orang-orang Persia, yang telah terlepas dari belenggu
paganisme kaisar-kaisarnya dan masuk ke dalam agama tauhid, jalan yang
lurus. Tak ketinggalan pula orang-orang Romawi, pembelot menurutmu,
memang mereka membelot dari kezhaliman dan kegelapan menuju cahaya
terangnya langit dan bumi dan menerima hidayah menuju agama yang suci.
Kemudian orang-orang Qibti, yang bebas dari perbudakan dan belenggu
yang mencekik leher, beralih kepada kehidupan yang bebas merderka di
bawah panji Islam, kembali suci seperti saat dilahirkan ibunya.
Tepat sekali, memang pasukan pimpinan
Abdurrahman Al-Ghafiqi maupun para penghulunnya datang untuk melepaskan
nenek moyang kalian dari belenggu jahiliyah. Di antara mereka ada yang
berkulit putih, hitam, Arab, dan Ajam (non-Arab). Tapi mereka bersatu
dalam Islam. Nikmat Allah menjadikan mereka bersaudara. Semangat mereka
seperti yang engkau sebutkan adalah untuk memasukkan orang-orang Eropa
ke dalam agama Allah sebagaimana orang-orang di belahan bumi bagian
Timur dan Afrika. Sehingga umat manusia seluruhnya tunduk kepada Allah,
pencipta alam semesta.
Dengannya cahaya Islam akan menyinari
dataran dan lembah kalian, mataharinya memancar di setiap rumah kalian
dan keadilan tegak di antara rakyat dan penguasa kalian. Mereka bertekad
mengorbankan nyawa mereka yang berharga untuk membimbing kalian ke
jalan Allah dan menyelamatkan kalian dari api neraka.
Sekarang marilah kita ikuti akhir perjalanan pasukan Islam dan panglimanya yang agung, Abdurrahman Al-Ghafiqi.
Kabar tewasnya Utsman bin Abi Nus’ah dan
nasib putrinya yang jelita, Minin, mengejutkan Duke Octania. Dia sadar
bahwa genderang perang telah ditabuh. Cepat atau lambat singa Islam,
Abdurrahman Al-Ghafiqi akan menyerbu kapan saja, tak peduli siang atau
malam.
Kaisar Duke Octania segera mempersiapkan
diri untuk mempertahankan setiap jengkal wilayahnya. Hanya saja
bayang-bayang buruk selalu menghantuinya. Dia khawatir akan menjadi
tawanan kaum muslimin seperti putrinya yang kini dikirim ke Syam. Dia
takut kepalanya akan dipenggal kemudian ditaruh di atas talam dan diarak
keliling kota seperti Loderik, raja Andalusia dahulu.
Dugaan Duke Octania tepat, tiba-tiba
Abdurrahman Al-Ghafiqi benar-benar datang bersama pasukan yang luar
biasa besarnya, menyerbu dari Spanyol utara bagai gelombang pasang dan
turun ke wilayah Prancis selatan dari pegunungan Pyerenees laksana air
bah. Prajuritnya mencapai 100 ribu orang dan setiap batalyonnya
didampingi oleh prajurit-prajurit pilihan yang bertubuh tinggi besar.
Prajurit Islam masuk melalui kota Arles
yang terletak di tepi sungai Rhone. Pertimbangannya adalah karena kota
ini terikat perjanjian damai dengan muslimin dan telah menyetujui
kewajiban membayar jizyah. Namun ternyata, setelah gubernur As-Samah bin
Malik Al-Khaulani gugur di Toulouse dan kekuatan muslimin melemah,
mereka melanggar perjanjian dan menolak membayar jizyah.
Kedatangan Abdurrahman Al-Ghafiqi dan
pasukannya di perbatasan Azil, disambut oleh pasukan besar yang
disiapkan oleh Duke Octania untuk menghambat gerak maju pasukan Islam.
Dua kekuatan berhadapan. Perang besar tak terelakkan lagi.
Pasukan pertama yang dikerahkan
Abdurrahman Al-Ghafiqi adalah pasukan khusus yang lebih mencintai mati
daripada kecintaan musuh terhadap kehidupan. Mereka berhasil
menggoyahkan dan memporak-porankan barisan musuh. Pertempuran terus
merambat ke dalam kota. Pedang-pedang berkelebat membabat kiri-kanan.
Pasukan Islam mendapatkan hasil ghanimah di luar perhitungan.
Namun sayang, Duke Octania berhasil
meloloskan diri dari medan beserta sisa-sisa pasukannya. Sehingga dia
masih menyimpang potensi bersiap-siap menyongsong pertempuran
selanjutnya, sebab dia sadar bahwa pertempuran di Arles baru awal dari
suatu perang yang panjang.
Bersama pasukannya, Abdurrahman
Al-Ghafiqi menyeberangi sungai Garonne. Kemenangan demi kemenangan
mereka raih. Satu demi satu kota-kota Octania dapat direbut melalui
pasukan kavelerinya, seperti daun-daun yang berguguran diterpa angin.
Ghanimah makin menumpuk hingga mencapai jumlah yang belum pernah
dijumpai sebelumnya.
Duke Octania berusaha membendung pasukan
Islam untuk kedua kalinya dengan mempersiapkan suatu pertempuran besar.
Namun kali ini pun pasukan Islam mampu mengatasinya. Mereka menghajar
dan meluluh lantakkan pasukannya. Duke Octania kembali lolos
meninggalkan pasukannya yang kocar-kacir. Banyak yang gugur, tidak
sedikit yang tertawan dan ada pula yang lari dari medan perang.
Target serangan berikutnya adalah
Bordeaux, kota terbesar di Prancis pada waktu itu sekaligus merupakan
ibukota Octania. Perang untuk memperebutkan Bordeaux tak kalah serunya
dengan peperangan yang telah lalu. Sistem pertahanannya tentu lebih
kokoh. Tapi dengan perjuangan yang tak kenal lelah, kota besar ini dapat
direbut oleh pasukan Islam seperti kota-kota lainnya. Para panglima
musuh gugur sebagaimana teman-teman yang telah mandahului mereka.
Banyak sekali harta ghanimah yang
diperoleh dalam perang ini. Tapi yang lebih penting adalah jatuhnya
Bordoeaux merupakan kunci pembuka kota-kota penting di Prancis lainnya,
seperti Lyon, Besancon dan Sens sehingga posisi pasukan Islam saat itu
tinggal seratus mil saja dari Prancis.
Dunia Eropa tersentak mendapati bahwa
Prancis Selatan telah takluk di tangan Abdurrahman Al-Ghafiqi dalam
waktu beberapa bulan saja. Maka dunia Barat terbuka akan bahaya besar
yang menghadang mereka.
Anjuran partisipasi menggaung di seluruh
penjuru Eropa. Setiap orang, mampu atau tidak, diharapkan
partisipasinya untuk membendung arus timur yang deras itu. Bila tak
mampu membendung dengan pedang, hendaknya menahan dengan dadanya. Bila
senjata habis hendaknya jalanan ditutup dengan tubuh mereka. Eropa
bangkit menyambut seruan itu. Orang-orang berdatangan dari dari segala
penjuru dengan membawa apa saja yang bisa digunakan, batu-batu, kayu,
duri dan pedang. Mereka bersatu padu di bawah komanda Karel Martel.
Dalam waktu yang bersamaan, pasukan
muslim telah tiba di Tours, kota Prancis padat penduduknya dan menyimpan
bangunan-bangunan tua yang indah. Kota ini bangga dengan gereja-gereja
besarnya yang terindah di seluruh Eropa dan berisi penuh kekayaan yang
tak ternilai harganya. Prajurit Islam mengepung melingkar layaknya
kekang kuda yang melingkari leher kuda. Mereka siap berkorban nyawa
untuk merebut kota ini. Dan benar, Tours jatuh di depan mata dan
pendengaran Karel Martel.
Akhir bulan Sya’ban 104 H Abdurrahman
Al-Ghafiqi bersama pasukannya yang gagah perkasa memasuki kota Poiters.
Mereka disambut oleh pasukan besar Eropa yang dipimpin oleh Karel
Martel. Perang dahsyat antara kedua pasukan itu tidak hanya tercatat
dalam sejarah Islam dan Barat saja, melainkan juga dalam sejarah umat
manusia. Pertempuran itu dikenal dengan nama Balath syuhada, karena
banyaknya prajurit Islam yang syahid.
Ketika pasukan Islam benar-benar dalam
puncak kejayaan yang gemilang. Namun sayang, punggung-punggung mereka
terlalu berat memikul hasil ghanimah yang melimpah ruah. Abdurrahman
Al-Ghafiqi menyaksikan itu dengan sedih dan khawatir. Beliau
mengkhawatirkan kondisi pasukan. Bagaimana bisa tenang sementara hati
dan pikiran para prajuritnya mulai beralih kepada harta benda itu? Di
saat-saat menentukan justru jiwa mereka terbagi, sebelah mata memandang
musuh dan sebelah lagi melirik harta-harta ghanimah.
Ingin sekali Abdurrahman Al-Ghafiqi
menganjurkan pasukannya untuk melepaskan diri dari ghanimah yang
bertumpuk-tumpuk itu. Tapi mereka sangsi apakah mereka bisa menerima
keputusan itu dengan senang hati. Maka tak ada jalan lain kecuali beliau
harus mengumpulkan seluruh ghanimah di dalam tenda-tenda yang
difungsikan sebagai gudang. Lalu diletakkan di belakang markas sebelum
perang berkorbar.
Dua pasukan yang sama besarnya mengambil
posisi berhadapan. Beberapa hari suasana terasa tegang. Diam dan penuh
selidik, seperti dua gunung besar. Masing-masing mengukur kekuatan lawan
dan berpikir seribu kali untuk memilih saat yang tepat untuk menyerang.
Waktu demi waktu berlalu, Abdurrahman
Al-Ghafiqi melihat semangat pasukannya mulai menyala. Sepertinya
kemampuan mereka dapat diandalkan dan optimis untuk menang. Maka beliau
memutuskan agar pasukan Islam lebih dahulu menyerang.
Abdurrahman Al-Ghafiqi mulai menerobos
pertahanan Barat dengan pasukannya laksana singa yang menerjang dengan
ganas. Pihak Barat bertahan seperti benteng yang kokoh. Pertempuran
berkecamuk sehari penuh dan belum terlihat tanda-tanda kemenangan pada
salah satu pihak. Seandainya tak terhalang oleh gelapnya malam, niscaya
mereka tak akan berhenti bertempur.
Memasuki hari kedua, pertempuran kembali
berkobar. Pasukan Islam menyerang dengan gagah berani dan tekad yang
kuat, namun pertahanan Barat belum pula tergoyahkan.
Perang berlangsung hingga tujuh hari
berturut-turut dengan dahsyat. Pada hari kedelapan, sedikit demi sedikit
barisan musuh mulai terkoyak. Harapan menangpun mulai terbayang.
Laksana semburat cahaya fajar di pagi hari. Namun dalam waktu yang sama,
sekelompok prajurit Barat menyerang tempat penyimpanan harta ghanimah
dan menguasai hampir seluruhnya dengan mudah. Melihat hal itu, pasukan
Islam mulai goyah. Sebagian besar dari mereka mundur ke belakang untuk
menyelamatkan harta ghanimah tersebut hingga merusak pertahanan barisan
depan.
Dengan gigih panglima besar Abdurrahman
Al-Ghafiqi berusaha mencegah para prajuritnya surut ke belakang, sambil
terus menahan arus serangan dari depan dan menutupi celah-celah yang
lemah. Dia bergerak cepat kesana kemari dengan kudanya yang perkasa. Di
saat itulah sebatang panah mengenai tubuhnya sehingga dia terjatuh dari
kuda seperti seekor elang yang terjatuh dari puncak gunung. Maka
terwujudlah syahid di medan perang yang didambakannya.
Akan halnya dengan pasukan Islam,
melihat panglimanya gugur, mereka semakin berantakan, sedangkan musuh
kian bersemangat merangsak ke depan. Tak ada yang mampu menghentikan
keganasan mereka selain malam yang mulai merayap.
Pagi harinya Karel Martel mendapati
pasukan Islam sudah mundur dari medan perang Poiters. Namun dia tidak
berani mengejar. Padahal seandainya dia mengejarnya pastilah dia akan
berhasil menghancurkan pasukan muslimin. Dia mengira bahwa gerakan
mundur pasukan Islam disengaja untuk memancing mereka ke luar medan
terbuka. Ia mengira itu merupakan strategi baru muslimin yang
direncanakan malam sebelumnya. Maka Karel Martel memilih untuk tetap di
tempat dan merasa cukup dengan membendung kekuatan yang membahayakan
itu, lalu menikmati kemenangan yang diraihnya.
Balath Syuhada menjadi peristiwa
monumental dalam sejarah. Di hari itu kaum muslimin telah menyia-nyiakan
kesempatan emas yang terbuka lebar, bahkan kehilangan seorang pemimpin
besar dan pahlawan yang tangguh bernama Abdurrahman Al-Ghafiqi.
Peristiwa itu laksana ulangan tragedi Uhud yang memilukan.
Begitulah, semuanya telah menjadi sunnatullah terhadap hamba-hamba-Nya, tak ada yang kuasa merubah atau menggantinya.
Kabar kekalahan di Balath Syuhada
menjadi tamparan yang menggoncangkan kaum muslimin di segenap pelosok.
Duka dan pilu melanda setiap desa dan kota, memasuki setiap rumah Islam.
Luka itu hingga kini masih terasa pedihnya, dan akan tetap diingat
selagi masih ada seorang muslim yang ada di permukaan bumi ini.
Tapi
jangan Anda sangka tragedi itu hanya menyedihkan kaum muslimin saja.
Orang-orang Barat yang berakal sehat pun merasakan demikian. Bagi
mereka, kemenangan nenek moyang mereka atas kaum musimin di Poitiers
merupakan musibah besar bagi umat manusia, khususnya merugikan Eropa
dalam mencapai kemajuan.
Sebagai bukti dari pencapaian golongan
ini, marilah kita simak komentar tentang kekalahan kaum muslimin di
Balath Syuhada, oleh pemimpin redaksi majalah “Review Parlementer” yaitu
Henry de Syambon, “Kalau saja bukan karena kemenangan pasukan Karel
Martel atas pasukan Islam di Prancis, tentu negara kita tidak perlu
tenggelam dalam kegelapan kebodohan pada abad pertengahan.
Tidak akan
seburuk itu. Dan kita juga tidak perlu mengalami pembantaian
besar-besaran yang didasari oleh fanatisme sekte-sekte agama. Benar.
Seandainya tidak karena kemenangan Barat pada waktu itu, Spanyol akan
bisa hidup dalam kearifan Islam yang murni, selamat dari kekejaman
badan-badan intelijen dan tidak terlambat menerima arus kejamuan sampai
delapan abad. Meski ada perbedaan rasa dan pandangan tentang kemenangan
itu, yang jelas kita benar-benar berhutang budi pada kaum muslimin akan
kemajuan ilmu, seni dan budaya luhur yang mereka bawa. Kita harus
mengakui bahwa kaum muslimin adalah teladan tentang kemanusiaan yang
sempurna di saat kita dahulu masih menjadi manusia Barbar yang ganas.”
Sumber: Buku “Mereka Adalah Para Tabi’in”, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Pustaka At-Tibyan
Artikel: www.KisahIslam.net
Komentar
Posting Komentar